Oleh Michael Casey, Associated Press
Jika temperatur meningkat seperti yang diperkirakan, kondisi yang semakin panas akan merugikan wilayah itu sekitar $50 miliar (sekitar Rp480 triliun) pada sektor pariwisata dan memperburuk persediaan pangan karena banyak negara di wilayah tersebut (terutama negara-negara di Teluk Persia) sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
Kegagalan panen juga akan meningkat, sementara hasilnya akan menurun dan pendapatan rumah tangga akan jatuh. Laporan Bank Dunia itu dipresentasikan dalam perundingan iklim PBB di Doha, Qatar, tempat hampir 200 delegasi untuk pertama kalinya berada di Timur Tengah membahas pemotongan emisi dalam upaya untuk memastikan temperatur global tidak naik lebih dari 2 derajat Celsius melebihi masa praindustri.
Suhu telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celsius, menurut laporan terbaru IPCC.
"Perubahan iklim adalah realitas bagi penduduk di negara-negara Arab," tutur Inger Andersen, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dalam sebuah pernyataan.
"Ini memengaruhi semua orang, terutama orang miskin yang paling tidak mampu beradaptasi, dan karena iklim menjadi semakin ekstrem, begitu juga dengan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat dan kesejahteraan. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengambil tindakan, baik di tingkat nasional maupun regional, dalam rangka meningkatkan ketahanan iklim, " kata Andersen.
Di antara masalah yang paling kritis di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah semakin memburuknya kekurangan air. Wilayah itu memiliki jumlah air segar paling rendah di dunia. Dengan perubahan iklim, kekeringan di wilayah itu diperkirakan akan semakin ekstrem. Lintasan air diperkirakan akan menurun 10 persen pada 2050 sementara permintaan air diperkirakan akan meningkat 60 persen pada 2045.
Bank Dunia mengatakan wilayah itu (yang pada musim panas dapat mencapai 50 derajat Celcius) harus bersiap menghadapi dunia yang lebih panas.
Laporan itu mendesak negara-negara untuk memastikan kebijakan nasional mereka "tahan iklim," dimulai dengan "mengumpulkan data iklim untuk memperkuat layanan dasar." Laporan itu juga menyerukan peningkatan akses pada layanan seperti pendidikan, kesehatan dan sanitasi, serta penguatan jaminan pengaman sosial untuk mengompensasi mata pencaharian yang tiba-tiba hilang dan skema pelatihan untuk "memberikan warga keterampilan dan sumber daya untuk melewati tantangan iklim."
Negara-negara perlu meningkatkan infrastruktur mereka terkait perubahan iklim, termasuk peningkatan sistem drainase untuk mengatasi banjir yang semakin memburuk dan langkah-langkah seperti membuat dinding laut untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut.
"Mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim akan memerlukan tindakan pada beberapa tingkat," tutur Rachel Kyte, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Perkembangan Berkelanjutan. "Kepemimpinan politik sekarang memilki peran penting dalam mendorong perubahan iklim sebagai prioritas nasional dan daerah."
Laporan itu menyimpulkan, perubahan iklim sudah terjadi di berbagai bagian Timur Tengah dan Afrika Utara.
Selama lebih dari 30 tahun terakhir, bencana iklim berdampak pada 50 juta orang di dunia Arab, menyebabkan kerugian biaya sekitar $12 miliar (sekitar Rp115 triliun) secara langsung.
Contoh bencana iklim antara lain banjir Sungai Nil pada 2006, yang menewaskan 600 orang, serta lima tahun kekeringan di Sungai Yordan yang berakhir pada 2008. Dari 19 rekor temperatur terpanas yang tercatat pada 2010, hampir seperempatnya berasal dari dunia Arab, termasuk Kuwait yang suhunya mencapai 52,6 derajat Celsius pada 2010 dan 53,5 derajat Celsius pada 2011.
Pada 2010, Laut Arab mengalami rekor badai siklon terbesar kedua, dengan kekuatan angin 230 kilometer per jam yang menewaskan 44 orang dan menyebabkan kerugian $700 juta (sekitar Rp6,7 triliun) karena kerusakan di Oman.
Doha, Qatar
(AP) – Timur Tengah dan Afrika Utara akan mengalami dampak buruk akibat
perubahan iklim dalam beberapa dekade ke depan, menurut laporan Bank
Dunia pada Rabu, yang mengatakan wilayah itu akan memiliki curah hujan
lebih sedikit, temperatur lebih tinggi dan peningkatan ketinggian air
laut.
Jika temperatur meningkat seperti yang diperkirakan, kondisi yang semakin panas akan merugikan wilayah itu sekitar $50 miliar (sekitar Rp480 triliun) pada sektor pariwisata dan memperburuk persediaan pangan karena banyak negara di wilayah tersebut (terutama negara-negara di Teluk Persia) sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan penduduknya.
Kegagalan panen juga akan meningkat, sementara hasilnya akan menurun dan pendapatan rumah tangga akan jatuh. Laporan Bank Dunia itu dipresentasikan dalam perundingan iklim PBB di Doha, Qatar, tempat hampir 200 delegasi untuk pertama kalinya berada di Timur Tengah membahas pemotongan emisi dalam upaya untuk memastikan temperatur global tidak naik lebih dari 2 derajat Celsius melebihi masa praindustri.
Suhu telah meningkat sekitar 0,8 derajat Celsius, menurut laporan terbaru IPCC.
"Perubahan iklim adalah realitas bagi penduduk di negara-negara Arab," tutur Inger Andersen, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dalam sebuah pernyataan.
"Ini memengaruhi semua orang, terutama orang miskin yang paling tidak mampu beradaptasi, dan karena iklim menjadi semakin ekstrem, begitu juga dengan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat dan kesejahteraan. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengambil tindakan, baik di tingkat nasional maupun regional, dalam rangka meningkatkan ketahanan iklim, " kata Andersen.
Di antara masalah yang paling kritis di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah semakin memburuknya kekurangan air. Wilayah itu memiliki jumlah air segar paling rendah di dunia. Dengan perubahan iklim, kekeringan di wilayah itu diperkirakan akan semakin ekstrem. Lintasan air diperkirakan akan menurun 10 persen pada 2050 sementara permintaan air diperkirakan akan meningkat 60 persen pada 2045.
Bank Dunia mengatakan wilayah itu (yang pada musim panas dapat mencapai 50 derajat Celcius) harus bersiap menghadapi dunia yang lebih panas.
Laporan itu mendesak negara-negara untuk memastikan kebijakan nasional mereka "tahan iklim," dimulai dengan "mengumpulkan data iklim untuk memperkuat layanan dasar." Laporan itu juga menyerukan peningkatan akses pada layanan seperti pendidikan, kesehatan dan sanitasi, serta penguatan jaminan pengaman sosial untuk mengompensasi mata pencaharian yang tiba-tiba hilang dan skema pelatihan untuk "memberikan warga keterampilan dan sumber daya untuk melewati tantangan iklim."
Negara-negara perlu meningkatkan infrastruktur mereka terkait perubahan iklim, termasuk peningkatan sistem drainase untuk mengatasi banjir yang semakin memburuk dan langkah-langkah seperti membuat dinding laut untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut.
"Mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim akan memerlukan tindakan pada beberapa tingkat," tutur Rachel Kyte, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Perkembangan Berkelanjutan. "Kepemimpinan politik sekarang memilki peran penting dalam mendorong perubahan iklim sebagai prioritas nasional dan daerah."
Laporan itu menyimpulkan, perubahan iklim sudah terjadi di berbagai bagian Timur Tengah dan Afrika Utara.
Selama lebih dari 30 tahun terakhir, bencana iklim berdampak pada 50 juta orang di dunia Arab, menyebabkan kerugian biaya sekitar $12 miliar (sekitar Rp115 triliun) secara langsung.
Contoh bencana iklim antara lain banjir Sungai Nil pada 2006, yang menewaskan 600 orang, serta lima tahun kekeringan di Sungai Yordan yang berakhir pada 2008. Dari 19 rekor temperatur terpanas yang tercatat pada 2010, hampir seperempatnya berasal dari dunia Arab, termasuk Kuwait yang suhunya mencapai 52,6 derajat Celsius pada 2010 dan 53,5 derajat Celsius pada 2011.
Pada 2010, Laut Arab mengalami rekor badai siklon terbesar kedua, dengan kekuatan angin 230 kilometer per jam yang menewaskan 44 orang dan menyebabkan kerugian $700 juta (sekitar Rp6,7 triliun) karena kerusakan di Oman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar