Jumat, 27 Januari 2012

Pemerintah Tetap Bawa Opsi Pembatasan BBM ke Dewan

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/21425/Pemerintah-Tetap-Bawa-Opsi-Pembatasan-BBM-ke-Dewan

JAKARTA (IFT) – Pemerintah tetap akan membawa opsi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dalam rakat kerja dengan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, Senin pekan depan. Pemerintah tetap mengusulkan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi secara bertahap mulai 1 April 2012.


Jero Wacik, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, mengatakan pemerintah tidak berinisiatif menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi karena landasan hukum, yakni Undang-Undang Nomor 22 tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012  yang menyebutkan harga eceran bahan bakar minyak bersubsidi tidak naik.

Namun, menurut dia, Kementerian Energi akan mengkaji kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium dan solar sebesar Rp 500-Rp 1.500 per liter apabila Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan kenaikan harga lebih baik daripada membatasi penggunaan premium dan solar bersubsidi oleh kendaraan berpelat nomor hitam.

Pemerintah akan melihat opsi yang berkembang di Dewan dan masyarakat. Jika nanti diskusi dengan Dewan mengarah pada kenaikan harga, pemerintah harus mempertimbangkan opsi tersebut. “Kami juga tidak bisa memaksakan kalau itu yang dikehendaki rakyat. Namun, keputusannya nanti tetap bergantung pada Presiden," ujarnya, Kamis.

Jero mengingatkan kalaupun nanti harga bahan bakar minyak bersubsidi dinaikkan, pemerintah masih tetap menyubsidi, karena biaya produksi (keekonomian) bahan bakar minyak bersubsidi sekitar Rp 8.200 per liter. “Kalau harganya dinaikkan misalnya jadi Rp 6.000 per liter, berarti pemerintah masih menyubsidi," ujarnya.

Widjajono Partowidagdo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menambahkan jika nanti harga premium atau solar naik, harga untuk angkutan umum bisa saja tetap pada harga Rp 4.500 per liter. Namun, tidak menutup kemungkinan harga bahan bakar minyak  untuk transportasi umum juga naik.”Mungkin tidak sebesar kenaikan harga mobil pribadi," ujarnya.


Opsi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi untuk transportasi umum, menurut Widjajono, karena adanya usulan dari sejumlah pihak, seperti organisasi angkutan yang menyatakan kenaikan harga bahan bakar minyak bisa memicu kenaikan tarif. Menurut organisasi angkutan, lanjut Widjajono, kenaikan juga diperlukan karena dari sisi onderdil atau suku cadang otomotif juga telah naik. “Karena pengaruhnya tidak sebesar kenaikan bahan bakar minyak, perusahaan angkutan umum tidak bisa menaikkan tarif,” ujarnya.

Satya W Yudha, anggota Komisi VII Dewan, mengatakan kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi tetap penting untuk dilakukan, namun program itu harus dilaksanakan secara realistis. "Yang dimaksud realistis itu, yaitu dengan tidak langsung membenturkan rakyat ke pertamax. Tapi ke premium non-subsidi yang harganya lebih mahal dari premium, namun tetap lebih murah dibanding pertamax," ujarnya.

Satya menegaskan hingga kini Dewan masih menunggu usulan resmi dari Kementerian Energi terkait kelanjutan program pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi tersebut. Begitupun dengan opsi kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi tetap dibuka jika pemerintah mengajukan usulan tersebut ke Komisi VII.

"Untuk kenaikan harga itu, pemerintah yang usulkan. Kalau sudah diusulkan kami akan mengkaji revisi UU Anggaran 2012. Jadi bolanya tetap ada di pemerintah," katanya.

Kurtubi, pengamat perminyakan dari Universitas Indonesia, menilai keputusan pemerintah untuk tetap mengusulkan pelaksanaan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi sebagai kebijakan yang tidak tepat karena akan tetap membuat bangsa ini bergantung pada minyak impor. "Karena pembatasan itu hakikatnya pindah dari minyak ke minyak," kata dia.

Pelaksanaan kebijakan teresbut juga dinilai membutuhkan biaya yang cukup besar untuk membangun fasilitas pendukung, pengawasan yang rumit serta identik dengan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi secara terselubung. " Masyarakat secara tidak langsung dipaksa untuk membeli pertamax yang harganya dua kali lipat lebih mahal dibanding premium," ujarnya.

Menurut dia, kebijakan paling rasional yang harus diambil pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak pada Anggaran adalah dengan menaikkan harga premium sekitar Rp 1.000-Rp 1.500 per liter. Kurtubi menilai kenaikan harga ini jauh lebih ringan dibandingkan dengan kebijakan pembatasan bahan bakar minyak bersubsidi yang memaksa rakyat beralih ke pertamax maupun bahan bakar gas (BBG).  (*)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar