Rabu, 28 September 2011

RI Komitmen Kurangi Emisi

JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pengurangan emisi ini bisa mencapai 41 persen bila negara-negara maju bersedia memberikan bantuan kepada Indonesia.


Sebagai bukti keseriusan ini, Presiden mengatakan pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mewujudkan target tersebut. Dia menyebutkan Indonesia telah meneken kesepakatan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Perusakan Hutan (REDD+) dengan Norwegia pada tahun lalu. Pemerintah juga membuat kebijakan moratorium penerbitan izin baru eksploitasi hutan primer selama dua tahun.

Dua pekan lalu Presiden bahkan menandatangani keputusan yang memuat lebih dari 70 program lingkungan yang didanai sendiri oleh pemerintah. ''Ini menunjukkan komitmen kami untuk mengurangi emisi rumah kaca sebanyak 26 persen pada 2020,'' ujar Presiden saat membuka "Konferensi Internasional tentang Masa Depan Alternatif untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan, Hutan, Bahan Bakar, dan REDD+", Selasa (27/9), di Jakarta.

Presiden juga menyatakan pemerintah meninjau dan merevisi praktik penggunaan lahan sehingga aktivitas ekonomi tidak bertentangan dengan peles tarian hutan dan pengurangan emisi gas karbon. Untuk mereali sasikan REDD+, Presiden mengeluar kan keputusan No 25 Tahun 2011 tentang pembentukan satuan tugas REDD+.

Satgas ini dikepalai Kuntoro Mangkusubroto yang juga menjabat ketua Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).

Menurut Presiden, pemerintah telah menyiapkan 40 lokasi percontohan REDD+ di Tanah Air dengan Kalimantan Tengah sebagai proyek percontohannya. Langkah ini dianggap Presiden sebagai perintis upaya kreatif mengatasi perubahan iklim global. Presiden mengakui Indonesia juga masih menghadapi berbagai kasus pemba lakan liar, kebakaran hutan, dan pembabatan hutan untuk lahan per kebunan oleh masyarakat lokal.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengungkapkan, Norwegia puas melihat realisasi perjanjian REDD+ di Indonesia. Ke men terian Kehutanan hanya me lak sana kan isi kesepakatan, seperti me nyediakan lahan, menyi apkan peta indika tif, dan kegiatan lapangan lainnya. Sementara soal pengawasan, pelaporan, verifikasi, dan pendanaan dari Norwegia menjadi urusan Satgas REDD+.

Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (CIFOR) Frances Seymour mengatakan, berbagai macam kebutuhan terhadap lahan hutan di Indonesia sering memicu perdebatan. Dia mencontohkan kebijakan moratorium yang ber singgungan dengan kegiatan pertanian, energi, industri pulp dan kertas, hingga pertambangan. Kebijakan Presiden dinila i memberikan dimensi baru untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia.

Hasil riset CIFOR di 25 negara memperlihatkan, penduduk yang tinggal di sekitar hutan mendapatkan hampir seperempat penghasilan dari berbagai produk hutan. Menurut Seymour, pengurangan emisi hanya bisa terpenuhi jika sebagian besar area hutan terus dikelola sebagai hutan.

Menteri Lingkungan dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim memuji realisasi perjanjian REDD+ oleh Pemerintah Indonesia. Dia mengapresia si pembuatan peta indikatif morato rium hutan, pembentukan Satgas REDD+, dan proyek percontohan di Kalimantan Tengah. ‘’Selama dua tahun banyak perkem bangan positif di Indonesia untuk mewujudkan REDD+,’’ ujarnya.

Norwegia menjanjikan bantuan senilai satu miliar dolar AS untuk program REDD+ yang terbagi dalam tiga tahapan. Bantuan sebesar 200 juta dolar AS dikucurkan untuk tahap pertama yang dimulai 2010 dan tahap kedua sejak Januari 2011 sampai 2014. Sisanya, bantuan 800 juta dolar AS diberikan pada tahap ke tiga pasca-2014. c07/m ikhsan shiddieqy ed: budi raharjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar