Jumat, 16 September 2011

Kebangkitan Industri dan Krisis Global

Oleh Zaky Al Hamzah

Industri manufaktur nasional baru saja menikmati 'pesta' setelah pertumbuhannya pada semester pertama 2011 berada di atas pertumbuhan nasional. Sektor ini pantas berbahagia karena ini merupakan kali pertama sejak krisis moneter 1997-1998.

Mengutip data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), industri manufaktur nasional tumbuh 6,61 persen pada semester I 2011, melampaui laju perekonomian nasional 6,5 persen di periode sama.

Indeks pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang di kuartal II 2011 naik 4,79 persen dari kuartal II 2010. Mesin listrik dan perlengkapannya tumbuh paling tinggi 19,96 persen, disusul logam dasar yang naik 18,3 persen, kimia (14,6 persen), kulit dan alas kaki (14,3 persen), kertas (11,47 persen), pengolahan tembakau (11,06 persen), makanan dan minuman (8,7 persen), dan tekstil (7,25 persen).

Industri pengolahan nonmigas tumbuh sebesar 6,61 persen atau lebih tinggi dibandingkan periode sama 2010, hanya 5,12 persen. Sampai triwulan II 2011, struktur perekonomian Indonesia tetap didominasi sektor industri pengolahan sebesar 24,30 persen. Poin ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan (15,6 persen) serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran (13,7 persen).

Kontribusi sektor industri pada triwulan II 2011 ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I 2011. Sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan I 2011 menyumbang 21,1 persen.

Banyak faktor pendukung. Faktor internal, industri manufaktur ini memiliki modal pertumbuhan 2,2 persen pada 2009 menjadi di atas lima persen pada 2010. Hal itu didorong stabilisasi kondisi politik, pemberian insentif, hingga mendorong investor asing berani masuk, di antaranya Hankook Corp di industri ban, Pohang Steel Corp (baja), Kuwait Petroleum (petrokimia), dan Indorama Group (tekstil). Belum termasuk investor di pasar saham. 

Faktor eksternal, kondisi Indonesia diuntungkan pelemahan manufaktur Jepang, seperti sektor otomotif, elektronik, dan alat berat. Pabrikan otomotif di Negeri Sakura dikabarkan akan merelokasi basis produksinya ke Indonesia. Cina pun demikian. Karena bergantung Jepang, sektor manufakturnya juga tertahan.

Faktor lain lonjakan pertumbuhan manufaktur karena derasnya peralihan arus modal ke sektor manufaktur sepanjang semester I 2011.

Namun, pemerintah tak boleh lengah, apalagi menurunkan agresivitasnya saat AS dan negara-negara di Eropa dirundung krisis. Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Sandiaga S Uno mengingatkan pemerintah agar terus mengembangkan sektor riil sebagai solusi mendorong pertumbuhan industri manufaktur.

"Industri ini sangat strategis dalam penyerapan tenaga kerja," ujar Sandiaga yang juga co-founder Recapital Advisors dan Saratoga Capital ini. Semakin berkembangnya sektor riil, otomatis menjawab dua permasalahan bangsa, pengangguran dan kemiskinan.

Ia mengusulkan, pemerintah menerbitkan regulasi dan memberikan fasilitas maksimal demi pertumbuhan industri ini. Selain regulasi dan fasilitas, masalah ketersediaan infrastruktur yang memadai dan inefisiensi birokrasi harus tuntas.

Menteri Perindustrian MS Hidayat membenarkan, masih banyak pekerjaanpekerjaan rumah yang belum tuntas. Mulai peningkatan daya saing untuk menguasai pasar dalam negeri hingga mengikis ekonomi biaya tinggi.

Laporan The Global Competitiveness Report 2011-2012 yang diterbitkan World Economic Forum, peringkat daya saing Indonesia turun dari urutan 44 pada 2010 menjadi 46 pada 2011 dari 142 negara.

Ke depan, kata dia, pertumbuhan industri manufaktur nasional akan bertumpu pada enam kelompok industri prioritas. Yaitu, industri padat karya, industri kecil dan menengah, industri barang modal, industri berbasis sumber daya alam, industri pertumbuhan tinggi, dan industri prioritas khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar