Jumat, 30 September 2011

Bank Nasional Jamin Likuiditas Valas

JAKARTA -- Perbankan nasional siap mengelola devisa milik eksportir jika Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang devisa hasil ekspor (DHE) telah resmi diberlakukan. Kalangan perbankan merasa telah memiliki beragam produk yang sanggup melayani transaksi perdagangan eksportir dengan likuiditas yang memadai.

Direktur Retail dan Microbanking Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya tak perlu membuat produk derivatif untuk menarik minat eksportir agar tetap menyimpan hasil devisanya di Bank Mandiri. "Kita tidak butuh itu, hanya normal spot dan forward," ujar Budi di Jakarta, Rabu (28/9).

Budi meyakini, kebijakan BI itu akan memperkuat pangsa pasar bank BUMN ini. Lagi pula, transaksi ekspor-impor yang menjadi bisnis Bank Mandiri sudah cukup besar. Bank Mandiri hanya perlu memperbesar volume perdagangan dolar AS.

Corporate Secretary Bank Rakyat Indonesia Muhamad Ali mengatakan, likuiditas yang dimiliki BRI sangat baik sehingga tak akan menjadi kendala bagi eksportir. Kualitas layanan produk juga dinilainya bisa membuat nyaman eksportir untuk memarkir devisanya di BRI. Bank yang konsen pada usaha kecil dan menengah ini sudah mempersiapkan diri untuk mengantisipasi aliran masuk devisa hasil ekspor.

Untuk lebih menarik minat eksportir, kata Ali, BRI tak perlu masuk ke permainan derivatif. Dengan begitu, risiko yang dihadapi BRI juga tak terlalu besar. PBI yang mengatur devisa hasil ekspor dan pinjaman luar negeri ini diharapkannya dapat meningkatkan dana pihak ketiga valas BRI hingga 15 persen. Fee based income juga bisa digenjot 10 sampai 15 persen dari total target kenaikan sebesar 25-26 persen hingga akhir 2012.

Menurut Ali, PBI itu akan membuat struktur dana valas di perbankan dalam negeri lebih baik dan membuat devisa menjadi terkontrol. "Pendapatan pajak juga semakin naik dan pencatatan lalu lintas devisa juga lebih baik," papar Ali.

Bank sentral berencana mengeluarkan PBI DHE dan pinjaman luar negeri pada 1 Oktober nanti dengan masa transisi sampai 31 Desember 2011. Bank wajib menempatkan DHE di bank di dalam negeri. Namun, BI tak membatasi jangka waktu penyimpanan devisa itu. BI menaksir devisa milik eksportir yang disimpan di bank luar negeri bisa mencapai 31,5 miliar dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution sebelumnya mengungkapkan, selama 2012 BI masih memberi jangka waktu maksimal enam bulan untuk memasukkan DHE dari saat eksportir melakukan ekspor dengan mengisi pemberitahuan ekspor barang (PEB), dan maksimal tiga bulan setelah mengisi PEB pada 2013. Sanksi bagi eksportir yang tidak menaati PBI ini akan berlaku efektif 2 Januari 2012.

Ekonom senior Aviliani optimistis perbankan nasional sudah siap menyambut aturan devisa hasil ekspor. "Kalau masalah perbankan saya rasa sudah jelas, mereka mau tak mau pasti siap," ujar Aviliani.

Menurutnya, produk derivatif yang belum banyak dimiliki perbankan di dalam negeri bukan jadi alasan bank kesulitan menampung devisa. Masalah ini bisa diselesaikan melalui mekanisme kerja sama antara bank dan BI sehingga ada kontrol devisa. Lagi pula produk derivatif ini sangat riskan.

Ini menyebabkan bank hati-hati memberi kredit valas karena tingkat risiko yang menjadi perhitungan. Aviliani juga membantah pendapat yang mengatakan kebanyakan rekanan di luar negeri belum nyaman dengan bank nasional. Ia justru menilai, bank nasional yang sebenarnya belum memiliki kepercayaan tinggi terhadap partner dagang mereka di luar negeri.

Terlebih, kata Aviliani, kalau ini dikaitkan dengan kondisi bank-bank di luar negeri yang sekarang amat riskan. Banyak bank asing yang tidak prudent dan terancam bangkrut. "Bank di luar banyak yang harus belajar dari bank kita."

Aviliani menjelaskan, alasan bank-bank asing yang kini sedang goyah. Ia menilai, bank luar negeri condong menyalurkan kreditnya ke sektor konsumer yang agunannya tak terlalu kuat. Akibatnya, bank tidak prudent.

Menurut Aviliani, PBI tentang devisa hasil ekspor yang sedang digarap BI justru berisiko terganjal pengusaha atau eksportir. Dia khawatir pengusaha enggan memberikan laporan detail mengenai bisnis mereka sehingga membuat aturan ini tidak berjalan optimal. "Banyak pengusaha yang tidak mau memberikan laporan," ungkapnya.

Karena itu, Aviliani menyarankan bank sentral untuk menjalin koordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Kerja sama ini untuk mempermudah BI melihat detail data bisnis yang dilakukan eksportir. Langkah ini sekaligus untuk mengecek apakah data yang dilaporkan pengusaha fiktif atau tidak. ed: budi raharjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar