Selasa, 05 Juli 2011

Menata Kembali Sektor Perbankan

Dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya pascakrisis 2008, sektor perbankan diterpa banyak berita tidak sedap.
Kasus bailout Bank Century yang sampai sekarang belum tuntas semuanya, merupakan salah satu puncak gurita masalah yang mengikat sektor perbankan. Di luar soal itu, sektor perbankan dituding sebagai penyebab tidak optimalnya kinerja pembangunan ekonomi nasional, karena tingginya tingkat suku bunga (kredit), net interest margin (NIM) yang besar (paling tinggi di Asia Tenggara), tingkat penyaluran kredit yang relatif rendah (loan to deposit ratio/LDR), sampai kepada kasus pembobolan dana nasabah dengan memanfaatkan layanan private banking (kasus MD) dan kematian nasabah kartu kredit Citibank oleh pihak debt collector.  Ragam persoalan itu tentu berkebalikan dengan kinerja sektor perbankan sendiri, yang dari waktu ke waktu justru membukukan keuntungan yang luar biasa.

Aneka Masalah Perbankan
Jika perekonomian ditarik agak ke belakang pascakrisis 2008, maka salah satu yang menjadi prioritas saat itu adalah mengembalikan perekonomian ke jalur pertumbuhan ekonomi. Indonesia saat itu sebetulnya lumayan beruntung, di mana saat negara-negara lain membukukan pertumbuhan negatif (baik negara maju maupun berkembang), pada 2009 Indonesia masih memperoleh pertumbuhan ekonomi 4,5%. Pertumbuhan itu salah satu yang tertinggi, di samping pertumbuhan ekonomi di China, India, dan Vietnam.

Salah satu penyebab terselamatkannya ekonomi nasional saat itu adalah kontribusi konsumsi domestik yang relatif besar terhadap perekonomian. Sementara itu, donasi investasi, ekspor (impor), dan belanja pemerintah tidak terlalu besar. Sungguh pun begitu, jika pertumbuhan ekonomi hendak didongkrak lebih tinggi lagi (khususnya pascakrisis ekonomi 2008), tidak mungkin hanya
mengandalkan konsumsi rumah tangga. Di sinilah dibutuhkan dorongan dari investasi dan ekspor (impor).

Tepat pada titik itulah, salah satu sektor yang diharapkan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi adalah sektor perbankan. Sayangnya, disaat perekonomian membutuhkan topangan dari sektor keuangan tersebut, sektor perbankan justru memperlihatkan kinerja yang kurang bagus. Meskipun bank sentral (Bank Indonesia) sudah menurunkan BI rate ke tingkat yang rendah (6,5%), namun tingkat suku (kredit) perbankan masih sangat tinggi.

Data-data menunjukkan bahwa tingkat bunga perbankan nasional jauh lebih tinggi ketimbang negara tetangga (misalnya, pada 2009 suku bunga kredit Indonesia 14,5%, Malaysia 5,08%, Thailand 5,96%, Korsel 5,00%, dan China 5,31%). Celakanya, pada saat yang sama, perbankan juga mengambil kentungan yang sangat besar  lewat net interest margin yang berada di kisaran 5-6% pada 2009 (Malaysia 3,03%, Filipina 3,92%, Vietnam 3,43%, dan Singapura 1,79%). Dengan karakteristik ini, LDR perbankan menjadi rendah, tapi keuntungan bank tinggi. Jadi, disaat sektor ekonomi lain megap-megap dalam mempertahankan kinerja ekonomi, sektor perbankan justru menikmati laba yang hebat.

Berikutnya, perbankan juga tidak mendorong pertumbuhan sektor riil/tradeable sector  (khususnya sektor industri dan pertanian). Pada periode 2005-2009, sektor tradeable hanya tumbuh rata-rata 3,33%, sedangkan sektor non-tradeable tumbuh 8,80%. Secara lebih rinci, pertumbuhan rata-rata sektor tradeable dalam kurun waktu tersebut adalah: sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (3,70%); pertambangan (2,38%); dan industri pengolahan (3,92%).

Padahal, sektor tradeable selama ini menjadi pilar penting perekonomian nasional, khususnya dalam penyerapan tenaga kerja. Dalam posisi ini seharusnya sektor perbankan lebih ramah dalam menyalurkan kredit kepada kedua sektor tersebut. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, proporsi kredit yang disalurkan ke kedua sektor itu justru kian menurun (sekarang kredit ke sektor tradeable kurang dari 25%). Sehingga, tidak heran apabila jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor informal dari waktu ke waktu terus meningkat karena sektor pertanian dan industri tidak tumbuh bagus.  

Masalah lain yang tidak banyak diungkap adalah peranan bank asing di Indonesia.  Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang ramah dalam menerima kehadiran bank asing di Tanah Air, entah dengan alasan apa. Sebaliknya, ketika bank nasional (swasta maupun Badan Usaha Milik Negara/BUMN) hendak membuka cabang ke luar negeri, sulitnya bukan main, misalnya di Malaysia dan China. Semua negara memiliki pertimbangan sendiri untuk mempersulit atau mempermudah kehadiran bank asing di negaranya.

Dalam konteks Indonesia, kehadiran bank asing itu mestinya dilihat dalam perspektif apakah kehadirannya membawa kebaikan atau justru menimbulkan masalah. Secara teknis, bank asing itu diharapkan bisa memperkuat perekonomian nasional, antara lain melalui penyaluran kredit. Tetapi, jika dilihat data-data yang berkaitan dengan aspek ini, komitmen bank asing terhadap penyaluran kredit masih rendah, misalnya jika dibandingkan dengan bank swasta atau BUMN. Pada 2010 lalu, pertumbuhan kredit bank asing hanya 12,99%, bandingkan dengan Bank Umum yang mencapai 22,80% dan Bank Persero 17,96%.

Pekerjaan Rumah Bank Sentral
Lebih lanjut, kasus pembobolan bank asing lewat modus private baking (yang melibatkan MD) dan kematian nasabah kartu kredit akibat ulah debt collector juga menerbitkan kecemasan yang lain, bahwa sesungguhnya sistem dan etika (code of conduct) yang dilakukan bank asing tidak sehebat yang dibayangkan.

Tentu saya tidak ingin mengatakan semua bank asing memiliki perilaku dan sistem seperti itu, tapi hal ini perlu disampaikan sekadar memberi informasi yang seimbang bahwa lembaga yang mapan dan memiliki reputasi yang hebat sekalipun tidak kalis dari kemungkinan-kemungkinan praktek buruk semacam itu. Pada titik ini, review menyeluruh terhadap untung-rugi kehadiran bank asing laik dilakukan oleh bank sentral untuk memastikan keberadaannya tidak merugikan perekonomian nasional. Kasus-kasus yang terjadi belakangan di bank asing, ditambah keengganannya menyalurkan kredit, merupakan bagian kecil saja dari aspek yang mesti dianalisis. Selebihnya, masih terdapat aspek lain yang perlu ditelisik secara lebih mendalam.

Aspek lainnya yang patut diteliti adalah soal efisiensi sektor perbankan. Salah satu instrumen untuk mengukur efisiensi sektor perbankan adalah dengan melihat BOPO (biaya operasional dibandingkan dengan pendapatan operasional). Sampai akhir 2010, BOPO perbankan berada pada level 86,14%.  Tentu saja angka itu sangat tinggi, terlebih apabila disandingkan dengan BOPO perbankan di negara lain.

Perbankan di Malaysia BOPO-nya saat ini berada pada level 40%, sehingga bisa dikatakan efisiensinya dua kali lipat dibanding Indonesia. Hal ini tentu saja ironis, karena  perbankan memperoleh laba yang besar di atas praktek inefisiensi. Artinya, profit tersebut diraih dengan jalan mengorbankan kepentingan pihak lain, salah satunya mengenakan tinggi suku bunga (kredit)  dan NIM yang tinggi (yang merugikan masyarakat). Oleh karena itu, bank sentral mesti mengidentifikasi penyebab inefisiensi sektor perbankan tersebut agar ke depan bisa dicarikan formula penyelesaian yang lebih terarah.

Terakhir, sektor perbankan (domestik maupun asing) seharusnya terus berupaya mendukung munculnya pengusaha-pengusaha baru yang selama ini belum dijamah oleh akses lembaga keuangan. Selama ini kritik tajam yang diarahkan kepada sektor perbankan adalah kenyamanan mereka dalam memberikan kredit hanya kepada investor-investor mapan. Akibatnya, kredit untuk investasi kalah jauh ketimbang kredit modal kerja (KMK) atau konsumsi (proporsi kredit investasi pada 2010 sebesar 9,06%, KMK 37,50%, dan kredit konsumsi 53,45%).

Realitas ini merupakan indikasi betapa perbankan kurang mendukung penciptaan wirausahawan baru yang sebetulnya tumbuh subur di masyarakat. Dalam situasi seperti sekarang, setiap pelaku ekonomi (termasuk sektor perbankan) dituntut kontribusinya dalam mendorong kualitas pembangunan ekonomi, bukan hanya menjadi “pencari rente” yang membuat perekonomian nasional tidak kunjung mengalami perbaikan.

Dengan begitu, sebetulnya ada dua hal penting yang perlu dilakukan bank sentral dalam membenahi sektor perbankan. Pertama, pada level makro, bank sentral perlu memberi arahan kepada sektor perbankan untuk mendukung prioritas pembangunan ekonomi nasional. Saat ini sektor pertanian, industri, infrastruktur, energi, dan lain-lain sangat mengharapkan dukungan finansial bagi pengembangannya. Oleh karena itu, gerak sektor perbankan di masa depan harus berjalan satu lini dengan prioritas tersebut.

Kedua, bank sentral perlu menekan perbankan agar lebih efisien. Di sini harus dicari terlebih dulu dari mana sumber inefisiensi itu berasal: apakah gaji atau bonus yang tidak wajar, hadiah yang tidak masuk akal, atau hal yang lain. Ketiga, secara mikro perlu dibuat regulasi yang lebih rinci untuk memastikan perilaku-perilaku moral hazard, seperti kasus MD dan debt collector, tidak terjadi lagi. Sistem pengawasan bank sentral perlu diperkuat lagi dan dilakukan secara intensif agar sistem pengawasan internal setiap bank benar-benar berjalan seperti yang seharusnya. Pelaku perbankan harus menerima seluruh keketatan regulasi ini semata agar keberadaannya tetap dipercaya oleh publik dan memiliki faedah bagi perbaikan perekonomian nasional.

Ahmad Erani Yustika
Guru Besar Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef

Tidak ada komentar:

Posting Komentar