Oleh:
Makmun Syadullah
Peneliti
Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Tulisan
ini adalah pendapat pribadi
Sumber:
Media Keuangan Edisi Juli 2011
Polemik pembelian tujuh persen saham
divestasi PT Newmont Nusa
Tenggara (PT NNT) masih terus
berlangsung. Disatu sisi Menteri
Keuangan tetap pada pendiriannya untuk
membeli sisa saham
divestasi, sedangkan di sisi lain
Komisi XI DPR bersikukuh bahwa
untuk membeli saham divestasi tersebut
harus mendapatkan
persetujuannya. Permasalahannya adalah
siapakah sebaiknya
yang membeli sisa saham divestasi
apakah Pemerintah Pusat atau
Menghadapi polemik di atas, sebaiknya DPR bijaksana dalam
menyikapinya. DPR sebagai wakil rakyat tidak sepantasnya membela klompok-kelompok
tertentu, akan tetapi akan lebih bijak apabila mempertimbangkan kepentingan
nasional. Perlu disampaikan bahwa sebelumnya Pemerintah Pusat telah memberikan
kesempatan kepada Pemda NTB untuk membeli saham divestasi PT NNT sebesar 24%.
Namun fakta menunjukkan bahwa hak pembelian saham tersebut diserahkan kepada
pihak swasta, yang selanjutnya saham tersebut dijadikan agunan kepada pihak
asing untuk pembiayaan pembeliannya.
Terdapat dugaan bahwa divestasi saham tahun 2006–2009 sebesar
24% terindikasi terjadi kerugian negara hingga mencapai Rp356,8 miliar.
Divestasi saham 24% hingga saat ini masih menuai polemic dalam masyarakat NTB,
bahkan beberapa anggota DPRD Sumbawa dan DPRD Sumbawa Barat mengadukan
persoalan divestasi ini melalui gugatan class action melalui Pengadilan
Negeri Sumbawa Besar. Selain itu tuntutan pertangungjawaban kepada Gubernur
NTB, Bupati Sumbawa Barat dan Bupati Sumbawa atas dividen yang seharusnya
diterima oleh daerah juga semakin menguat.
Persaingan yang kuat untuk mendapatkan mitra divestasi terjadi
antara Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dengan Gubernur NTB, berakhir
dengan disepakatinya titik temu kepentingan tiga daerah ini dengan membentuk PT
Daerah Maju Bersaing (PT DMB).
Selanjutnya PT DMB bersepakat menggandeng PT Multicapital (PT
MC) dengan kesepakatan daerah akan memperoleh saham “Golden Share” yang
pengertiannya daerah tidak akan dibebani cicilan atau hutang apapun atas saham
tersebut. Sebelum bersepakat dengan PT Multicapital, diduga terdapat kolusi
dalam merebut saham divestasi dengan melibatkan PT Bumi Resource.
Pasca putusan majelis arbitrase UNCITRAL tanggal 31 Maret 2009
dalam perkara antara Pemerintah Indonesia melawan PT NNT, PT DMB dengan PT MC
menandatangani Nota Kesepakatan tentang kerjasama pembelian saham divestasi PT
NNT. Dalam perjanjian
bernomor
002/DMB/VII/2009 dan 005/MC/7/2009 tanggal 11 Juli 2009 diatur tentang komposisi
saham yang dimiliki oleh PT MC sebanyak 75% dan 25% untuk daerah. Nota
kesepakatan ini berlaku sejak 11 Juli 2009 hingga 25 Juli 2009. Namun anehnya
meskipun secara tegas pengaturan komposisi saham 75:25, dividen yang diterima
oleh daerah tidak lebih dari US$4 juta. Padahal Sampai dengan akhir Desember
2011, PT MC telah menerima sedikitnya US$172,8 juta.
Persoalan dividen
inilah yang sampai saat ini belum bisa dipertanggungjawabkan oleh Gubernur NTB,
Bupati Sumbawa dan Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Sesuai dengan
kesepakatan tiga kepala daerah, dengan komposisi dividen yang akan diterima
oleh Pemda NTB sebesar 40%, Pemda KSB 40% dan Pemda Sumbawa 20% dari total 25
dividen yang dibagikan PT MC. Hingga Januari 2011, Pemda NTB dan KSB baru
menerima dividen sebesar Rp12,8 miliar dan Pemda Sumbawa sebesar Rp6,4 miliar
atau sekitar US$4 juta sebelum dipotong pajak.
Faktor lain yang
menjadi pertimbangan agar sebaiknya saham divestasi PT NNT yang tersisa tidak
diberikan adalah kondisi keuangan Pemda NTB, Pemda Sumbawa Barat dan Pemda
Sumbawa. Ketiga Pemda ini kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk
mengambil
alih saham divestasi,
karena lebih dari 50% pendapatan Pemda masih menggantungkan sumber keuangannya dari
Pemerintah Pusat. Kondisi keuangan Pemda ini tentunya berpotensi pembelian
saham divestasi akan
dialihkan kembali ke pihak swasta.
Sejalan dengan
prinsip-prinsip tersebut di atas, keputusan Pemerintah untuk membeli saham
divestasi PT NNT melalui PIP jauh lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya,
karena dilakukan semata-mata demi kepentingan nasional dan kemanfaatan dengan
tujuan untuk dapat dinikmati oleh bangsa dan negara. Investasi pemerintah pusat
pada PT NNT diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan Negara dari dividen,
pajak dan royalti.
Di sisi lain,
Pemerintah memiliki PIP yang berfungsi sebagai Sovereign Wealth Fund. PIP
merupakan representasi Pemerintah Pusat yang struktur organisasinya berada di
bawah Kementerian Keuangan. Sebagai agent of development, PIP mempunyai
tugas dan anggungjawab atas pelaksanaan investasi Pemerintah berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
Dengan demikian, PIP merupakan lembaga yang paling tepat untuk melakukan
pembelian saham divestasi tersebut.
Keikutsertaan
Pemerintah dalam pengelolaan PT NNT akan lebih memastikan pemasukan negara
melalui pembayaran royalti atas tembaga sesuai dengan PP Nomor 45 Tahun 2003.
Setiap tahunnya PT NNT membayar pajak dan royalti langsung kepada pemerintah Indonesia.
Sementara itu bagi Pemda NTB tidak akan dirugikan, karena sebagian besar
royalti (80%) akan dikembalikan oleh Pemerintah Pusat.
Pembelian saham
divestasi PT NNT oleh Pemerintah Pusat tidak akan mengganggu alokasi anggaran
Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat telah memiliki dana
pembelian 7% saham divestasi tanpa mengorbankan alokasi anggaran yang ada dan
tidak bergantung pada pihak lain. Hal tersebut mengingat PIP merupakan
representasi Pemerintah Pusat dan struktur organisasi PIP di bawah langsung
Kementerian Keuangan. Sekiranya DPR berpikir makro yakni mempertimbangkan
kepentingan nasional, maka tidak perlu mempersulit niat baik pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar