Dalam RAPBN 2011 pemerintah merencanakan menaikkan tarif daftar listrik (TDL) sebesar 15% sejak awal Januari 2011. Beberapa hari yang lalu kita mendengar bahwa komisi VII DPR menolak rencana tersebut.
Pemerintah dalam hal ini kementerian ESDM tampaknya melunak. Pemerintah sendiri sebenarnya sejak awal cukup gamang untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Terbukti dari perbedaan pendapat yang cukup mencolok di media antara satu pejabat dan pejabat lain di Pemerintah.
Menteri Keuangan Agus Martowardoyo tetap pada pendiriannya agar TDL dinaikkan sesuai rencana sehingga tidak ada tambahan beban subsidi yang harus dibayarkan oleh APBN.
Kenaikan TDL sejatinya adalah kebijakan yang tepat untuk menyehatkan APBN dan sekaligus merasionalkan tarif listrik serta memberikan insentif pada investasi listrik IPP (independent power producer).
Namun, karena penghematan dananya cukup signifikan dan tidak disediakan anggaran pengganti, maka apabila kebijakan tersebut ditolak oleh DPR, maka APBN 2011 memiliki risiko tambahan defisit APBN. Apabila ditolak, pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan memotong belanja kementerian dan lembaga.
Sejak awal banyak yang sudah menyangsikan bahwa pemerintah bisa mengegolkan rencana tersebut di depan DPR. Dan sayangnya pemerintah juga tidak mempersiapkan skenario lain apabila rencana tersebut kandas di Senayan.
Tidak tersedianya fiscal space atau dana pengganti yang memadai sungguh menyulitkan. Pemerintah juga cenderung konservatif untuk menambah defisit APBN. Volume BBM bersubsidi dari hasil kesepakatan menteri ESDM dengan Komisi VII justru mengalami peningkatan. Ada juga wacana agar rencana Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk pupuk dibatalkan.
Pemotongan anggaran
Banyak yang setuju dengan Menkeu Agus bahwa belanja pegawai dan barang di berbagai kementerian dan lembaga (KL) pemerintah masih bisa dihemat.
Belanja perjalanan dinas, belanja informasi teknologi, panitia-panitia, seminar, perkantoran, pelatihan dan rapat kerja masih terlalu besar. Kita juga melihat bahwa belanja barang masih lebih tinggi dibandingkan belanja modal.
Namun, usulan pemotongan anggaran tersebut juga tidak akan mudah untuk didukung oleh DPR, karena pembahasan kementerian dengan semua komisi mengenai belanja KL sudah dan sedang berlangsung.
Spirit pembahasan di komisi adalah menambah anggaran, tidak untuk mengurangi anggaran, termasuk di kementerian keuangan sendiri. Jumlah yang bisa dipotong pun juga belum tentu dapat menutup tambahan subsidi listrik yang dibutuhkan akibat batalnya kenaikan TDL.
Atas dasar tersebut, kepada pemerintah dan DPR, kami mengusulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, kenaikan TDL sebaiknya tetap dilakukan dengan besaran dan waktu yang mempertimbangkan momentum pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri.
Tingkat TDL yang berada di bawah biaya pokok penjualan (BPP) PLN membuat subsidi dan inefisiensi ekonomi terus terjadi. Upaya penurunan BPP melalui tambahan energi primer dari batu bara dan gas dengan adanya jaminan kebutuhan domestik (DMO) harus menjadi prioritas utama sehingga tekanan kenaikan TDL akan berkurang.
Kenaikan TDL rata-rata 5-10% mulai April 2011 cukup rasional dengan konsekuensi masih harus disediakan tambahan subsidi minimal Rp. 5-7 triliun. Kenaikan tersebut juga memberikan sinyal positif bagi investasi IPP untuk membangun listrik dengan dana swasta.
Kedua, volume BBM bersubsidi harus tetap dipertahankan sesuai dengan rencana. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi khususnya untuk kendaraan pribadi yang dibatalkan tahun ini perlu dipersiapkan untuk dilaksanakan pada awal 2011 secara luas dengan sosialisasi yang baik. Kenaikan HET pupuk tetap harus dilaksanakan dengan maksud penghematan anggaran dan rasionalisasi harga pupuk.
Ketiga, menambah defisit APBN dengan pembiayaan melalui penerbitan SBN. Defisit 1,7% dari PDB masih tergolong konservatif untuk ukuran beban utang dan perbandingan dengan negara lainnya. Upaya tersebut tidak untuk menambah pinjaman program bilateral atau multilateral, tetapi melalui penerbitan SBN.
Seperti kita tahu bahwa fungsi SBN tidak hanya membiayai defisit APBN, tetapi dapat membuat pasar SBN menjadi lebih likuid dan aktif diperdagangkan serta menjadi alternatif portofolio bagi investor, khususnya investor dalam negeri.
Penerbitan SBN masih dapat ditambah terutama dari SBN (surat berharga negara) dan SBSN (surat berharga syariah negara), khususnya dikelompok investor ritel dan domestik.
Potensi pasar SBN dari domestik, baik bank maupun bukan bank serta ritel (ORI) masih terbuka. Seri penerbitan SBSN ritel (SUKRI) yang masih sedikit, masih terbuka untuk ditambah. Maka tambahan penerbitan SBN sebesar 0,1% dari PDB atau sekitar Rp 7 triliun masih realistis.
Konsistensi adalah taruhan
Tentu masih ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk menutup tambahan subsidi listrik akibat batalnya kenaikan TDL. Tetapi sungguh sayang apabila upaya optimalisasi dan penghematan APBN tersebut hanya dipakai untuk membayar subsidi yang kurang produktif.
Konsistensi pemerintah sangat dituntut untuk kembali ke tujuan awal yakni penyehatan perekonomian. Kenaikan TDL adalah salah satu caranya. Jika ada konsumen, khususnya kelompok dunia usaha yang jadi korban karena kenaikan TDL, dapat dialokasikan subsidi langsung ataupun kompensasi yang lain dari APBN.
Keberlangsungan APBN sangatlah penting untuk menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Kredibilitas APBN 2011 terletak pada pendirian dan kemauan politik pemerintah untuk merumuskannya bersama-sama dengan DPR untuk menyusun APBN yang sehat dan berlanjut.
Sekali lagi konsistensi pemerintah pada peta jalan (roadmap) sektor ketenagalistrikan jangka menengah mulai dari tahap perencanaan, pembahasan, dan perumusan dengan DPR, hingga eksekusi kebijakan harus ditegakkan, sesulit apa pun. Konsistensi kebijakan adalah pertaruhan masa depan bagi kredibilitas sebuah pemerintahan.
Oleh Anggito Abimanyu
Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Pemerintah dalam hal ini kementerian ESDM tampaknya melunak. Pemerintah sendiri sebenarnya sejak awal cukup gamang untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Terbukti dari perbedaan pendapat yang cukup mencolok di media antara satu pejabat dan pejabat lain di Pemerintah.
Menteri Keuangan Agus Martowardoyo tetap pada pendiriannya agar TDL dinaikkan sesuai rencana sehingga tidak ada tambahan beban subsidi yang harus dibayarkan oleh APBN.
Kenaikan TDL sejatinya adalah kebijakan yang tepat untuk menyehatkan APBN dan sekaligus merasionalkan tarif listrik serta memberikan insentif pada investasi listrik IPP (independent power producer).
Namun, karena penghematan dananya cukup signifikan dan tidak disediakan anggaran pengganti, maka apabila kebijakan tersebut ditolak oleh DPR, maka APBN 2011 memiliki risiko tambahan defisit APBN. Apabila ditolak, pemerintah cenderung mengambil jalan pintas dengan memotong belanja kementerian dan lembaga.
Sejak awal banyak yang sudah menyangsikan bahwa pemerintah bisa mengegolkan rencana tersebut di depan DPR. Dan sayangnya pemerintah juga tidak mempersiapkan skenario lain apabila rencana tersebut kandas di Senayan.
Tidak tersedianya fiscal space atau dana pengganti yang memadai sungguh menyulitkan. Pemerintah juga cenderung konservatif untuk menambah defisit APBN. Volume BBM bersubsidi dari hasil kesepakatan menteri ESDM dengan Komisi VII justru mengalami peningkatan. Ada juga wacana agar rencana Kenaikan harga eceran tertinggi (HET) untuk pupuk dibatalkan.
Pemotongan anggaran
Banyak yang setuju dengan Menkeu Agus bahwa belanja pegawai dan barang di berbagai kementerian dan lembaga (KL) pemerintah masih bisa dihemat.
Belanja perjalanan dinas, belanja informasi teknologi, panitia-panitia, seminar, perkantoran, pelatihan dan rapat kerja masih terlalu besar. Kita juga melihat bahwa belanja barang masih lebih tinggi dibandingkan belanja modal.
Namun, usulan pemotongan anggaran tersebut juga tidak akan mudah untuk didukung oleh DPR, karena pembahasan kementerian dengan semua komisi mengenai belanja KL sudah dan sedang berlangsung.
Spirit pembahasan di komisi adalah menambah anggaran, tidak untuk mengurangi anggaran, termasuk di kementerian keuangan sendiri. Jumlah yang bisa dipotong pun juga belum tentu dapat menutup tambahan subsidi listrik yang dibutuhkan akibat batalnya kenaikan TDL.
Atas dasar tersebut, kepada pemerintah dan DPR, kami mengusulkan beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, kenaikan TDL sebaiknya tetap dilakukan dengan besaran dan waktu yang mempertimbangkan momentum pertumbuhan ekonomi dan daya saing industri.
Tingkat TDL yang berada di bawah biaya pokok penjualan (BPP) PLN membuat subsidi dan inefisiensi ekonomi terus terjadi. Upaya penurunan BPP melalui tambahan energi primer dari batu bara dan gas dengan adanya jaminan kebutuhan domestik (DMO) harus menjadi prioritas utama sehingga tekanan kenaikan TDL akan berkurang.
Kenaikan TDL rata-rata 5-10% mulai April 2011 cukup rasional dengan konsekuensi masih harus disediakan tambahan subsidi minimal Rp. 5-7 triliun. Kenaikan tersebut juga memberikan sinyal positif bagi investasi IPP untuk membangun listrik dengan dana swasta.
Kedua, volume BBM bersubsidi harus tetap dipertahankan sesuai dengan rencana. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi khususnya untuk kendaraan pribadi yang dibatalkan tahun ini perlu dipersiapkan untuk dilaksanakan pada awal 2011 secara luas dengan sosialisasi yang baik. Kenaikan HET pupuk tetap harus dilaksanakan dengan maksud penghematan anggaran dan rasionalisasi harga pupuk.
Ketiga, menambah defisit APBN dengan pembiayaan melalui penerbitan SBN. Defisit 1,7% dari PDB masih tergolong konservatif untuk ukuran beban utang dan perbandingan dengan negara lainnya. Upaya tersebut tidak untuk menambah pinjaman program bilateral atau multilateral, tetapi melalui penerbitan SBN.
Seperti kita tahu bahwa fungsi SBN tidak hanya membiayai defisit APBN, tetapi dapat membuat pasar SBN menjadi lebih likuid dan aktif diperdagangkan serta menjadi alternatif portofolio bagi investor, khususnya investor dalam negeri.
Penerbitan SBN masih dapat ditambah terutama dari SBN (surat berharga negara) dan SBSN (surat berharga syariah negara), khususnya dikelompok investor ritel dan domestik.
Potensi pasar SBN dari domestik, baik bank maupun bukan bank serta ritel (ORI) masih terbuka. Seri penerbitan SBSN ritel (SUKRI) yang masih sedikit, masih terbuka untuk ditambah. Maka tambahan penerbitan SBN sebesar 0,1% dari PDB atau sekitar Rp 7 triliun masih realistis.
Konsistensi adalah taruhan
Tentu masih ada beberapa cara lain yang bisa dilakukan untuk menutup tambahan subsidi listrik akibat batalnya kenaikan TDL. Tetapi sungguh sayang apabila upaya optimalisasi dan penghematan APBN tersebut hanya dipakai untuk membayar subsidi yang kurang produktif.
Konsistensi pemerintah sangat dituntut untuk kembali ke tujuan awal yakni penyehatan perekonomian. Kenaikan TDL adalah salah satu caranya. Jika ada konsumen, khususnya kelompok dunia usaha yang jadi korban karena kenaikan TDL, dapat dialokasikan subsidi langsung ataupun kompensasi yang lain dari APBN.
Keberlangsungan APBN sangatlah penting untuk menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Kredibilitas APBN 2011 terletak pada pendirian dan kemauan politik pemerintah untuk merumuskannya bersama-sama dengan DPR untuk menyusun APBN yang sehat dan berlanjut.
Sekali lagi konsistensi pemerintah pada peta jalan (roadmap) sektor ketenagalistrikan jangka menengah mulai dari tahap perencanaan, pembahasan, dan perumusan dengan DPR, hingga eksekusi kebijakan harus ditegakkan, sesulit apa pun. Konsistensi kebijakan adalah pertaruhan masa depan bagi kredibilitas sebuah pemerintahan.
Oleh Anggito Abimanyu
Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar