Rabu, 25 Agustus 2010

Waspadai tekanan neraca perdagangan!

Oleh: A. Tony Prasetiantono
Akhir pekan lalu (20 Agustus) rupiah dan indeks harga saham gabungan terus bergerak positif. Rupiah menguat ke level Rp8.965 per dolar AS, dan IHSG mencapai rekor baru 3.117. Di satu pihak, ini tentu menggembirakan karena menunjukkan menguatnya kredibilitas perekonomian Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan peringkat country risk kita yang terus membaik. Di sisi lain kita harus mewaspadai, bahwa kinerja neraca perdagangan (trade balance) cenderung mengalami tekanan. Ekspor Juni 2010 tercatat US$12,29 miliar, atau turun 2,87% dari ekspor Mei 2010, sedangkan impor Juni US$11,71 miliar, justru naik 17,36% dari impor Mei 2010.
Selama semester I/2010, ekspor kita mencapai US$72,52 miliar, yang berarti naik 45% dibandingkan dengan tahun lalu. Namun ternyata impor juga mencapai US$62,89 miliar, atau naik 52% dibandingkan 2009. Berarti kenaikan impor lebih cepat daripada kenaikan ekspor.
Surplus perdagangan semester I/2010 tercatat US$9,63 miliar. Dibandingkan 2009, surplus tersebut cenderung tertekan. Sepanjang 2009, ekspor tercatat US$115 miliar berbanding impor US$93 miliar, yang berarti terjadi surplus US$22 miliar. Jika diasumsikan kinerja semester II sama dengan semester I, surplus ekspor 2010 hanya US$19 miliar, atau lebih rendah daripada 2009.
Kinerja neraca perdagangan dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya pada 2006 dan 2007, ketika kita mengalami surplus terbesar dalam sejarah, US$40 miliar, pada kedua tahun tersebut penyebabnya adalah kenaikan harga produk primer di pasar internasional.
Seiring dengan kenaikan harga minyak internasional, harga produk-produk primer (terutama perkebunan) juga naik, sehingga kita menikmati "rezeki nomplok" yang menyebabkan ekspor melesat tinggi menembus US$100 miliar untuk pertama kalinya.
Tekanan terhadap neraca perdagangan 2010 sangat boleh jadi disebabkan oleh menguatnya rupiah. Karena dari aspek harga komoditas primer, kali ini harga cenderung stabil dan relatif tidak tinggi, sejalan dengan stabilitas harga minyak dunia yang akhir-akhir ini bertahan di kisaran US$75 hingga US$80 per barel.
Harga produk-produk primer kita seperti sawit, batu bara, ataupun timah, kini cenderung stabil dan relatif tidak tinggi, dibandingkan dengan 2008, saat di mana harga minyak mencapai rekor tertinggi US$147 per barel pada Juli.
Karena derasnya aliran modal masuk ke Indonesia, yang tecermin dari posisi cadangan devisa yang terus meningkat hingga mencapai US$78,8 miliar, menyebabkan rupiah terus menguat tak terbendung. Ketika rupiah menembus di bawah Rp9.000 per dolar AS, timbul polemik.
Apakah rupiah dibiarkan saja terus menguat sesukanya, tak terbatas? Ataukah sebaliknya, Bank Indonesia perlu mengambil sikap untuk menahannya sampai level tertentu?
Ada yang berpendapat, biarkan saja rupiah menguat sampai berapa saja, toh nanti pasti akan terjadi koreksi dan penyesuaian. Dengan rupiah menguat, misalnya sampai Rp8.900-an per dolar AS seperti sekarang, memang akan mengurangi daya saing produk-produk ekspor kita.
Namun di sisi lain, menurut penganut paham ini, apresiasi rupiah akan menguntungkan para produsen yang mengimpor barang-barang modal (capital goods), seperti mesin-mesin dan bahan baku penolong (intermediary goods).
Pada giliran berikutnya, proses produksi akan lebih murah, sehingga kemudian produk-produk kita akan kembali kompetitif di luar negeri.
Masalahnya, yang menjadi lebih murah bukan hanya barang-barang modal. Yang paling elastis justru barang-barang konsumsi (consumer goods). Konsumen Indonesia akan lebih agresif memberi barang-barang konsumsi, misalnya buatan China.
Tidak itu saja, rupiah yang kuat juga akan membuat lebih banyak wisatawan Indonesia berbelanja ke luar negeri. Sebaliknya, wisatawan asing akan merasakan harga-harga barang di Indonesia menjadi lebih mahal.
Semua ini akan menyebabkan tekanan terhadap neraca perdagangan. Surplus perdagangan mungkin masih terjadi, tetapi akan menurun. Sementara itu, target kedatangan wisatawan asing 7 juta orang tahun depan akan sulit dicapai. Sebaliknya, malah kita akan "mengekspor" lebih banyak wisatawan kita ke luar negeri.
Semua rentetan dampak negatif ini akan menguras cadangan devisa, sehingga pelan-pelan akan turun. Jadi, bukannya mencapai target US$100 miliar pada 2011, bisa jadi malah cadangan devisa kita merosot dari posisi sekarang sekitar US$78 miliar.
Masih ada alasan lain, mengapa saya termasuk tidak setuju rupiah dibiarkan terus menguat tanpa batas, yakni bukti empiris bahwa China bisa mencapai level perekonomiannya sekarang karena insentif mata uang yuan (atau renminbi) yang dibiarkan melemah.
Padahal, secara teoretis, jika Pemerintah China mau mengikuti mekanisme pasar, mestinya yuan akan mengalami apresiasi. Mengapa?
Dengan perekonomian yang tumbuh double digit (pada triwulan II/2010 tumbuh 10,3 %), surplus ekspor sangat besar (hampir US$300 miliar per tahun), dan pemilik cadangan devisa terbesar di dunia (US$2,45 triliun), sebenarnya yuan akan menguat.
Namun, pemerintah China tidak mau melakukannya. Mereka benar-benar menikmati lemahnya yuan untuk memetik manfaat daya saing produk-produknya di pasar global. Pemerintah AS mati-matian melobi China agar melakukan revaluasi yuan.
Longgarkan kebijakan
Setelah lama berkukuh, akhirnya Pemerintah China mulai mengendurkan kebijakannya. Dalam beberapa bulan terakhir, yuan mulai diambangkan, agak mengikuti mekanisme pasar.
Namun, itu pun masih setengah hati. Pemerintah China hanya mengizinkan yuan mengalami apresiasi hingga sekitar 3 % saja. Dampaknya mulai terasa, pertumbuhan ekonomi China terkoreksi, dari level 13% (triwulan I/2010) menjadi 10,3% (triwulan II/2010).
Pelajaran terpenting dari kasus ini adalah, bahkan pemerintah China yang kini perekonomiannya diklaim baru saja menggusur Jepang sebagai nomor dua di dunia setelah AS, ternyata tidak mau membiarkan yuan menguat. Mereka masih ingin terus menumpuk surplus perdagangan dan mengakumulasikan cadangan devisa sebesar-besarnya.
Kalaupun kita kembali ke teori mata uang, maka jawabannya juga sama. Kurs sebuah mata uang hendaknya memenuhi dua syarat: (1) kredibilitas dan (2) daya saing. Sebuah mata uang dikatakan kredibel jika kursnya kuat. Namun, kurs yang terlalu kuat juga tidak baik karena akan mengganggu daya saing di pasar global.
Sekarang berpulang pada BI: apakah kurs Rp8.900-an per dolar AS itu sudah terlalu kuat (overvalued) atau belum? Kalau menurut saya, dengan memperhatikan kinerja perdagangan kita yang mulai tertekan (surplusnya berkurang) pada semester I/2010, rasanya rupiah sudah overvalued.
Jadi, mestinya BI perlu melakukan koreksi dengan melakukan intervensi di pasar.
Jika fenomena rupiah overvaluation ini keterusan, cadangan devisa kita pun akan terkuras. Hasrat pemerintah untuk bisa memiliki cadangan devisa US$100 miliar pada 2011, bisa musnah. Karena itu, BI harus segera menyikapinya, sebelum terlambat dan menyesal pada kemudian hari.
Oleh A. Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar