Rabu, 25 Agustus 2010

Inflasi, likuiditas, dan ekonomi global

Oleh: Muhammad Chatib Basri
Tak mudah untuk pesimistis jika melihat kinerja makroekonomi Indonesia hari-hari ini. Tengok saja, ekonomi praktis tumbuh hampir mendekati 6% sepanjang paruh pertama 2010, nilai tukar menguat, inflasi walau merangkak naik masih aman. Selain itu, indeks saham di pasar modal melonjak, bahkan investasi PMA langsung berdasarkan data neraca pembayaran meningkat signifikan dibandingkan dengan 2008 dan 2009.
Namun, justru dalam situasi yang aman ini saya ingin mengingatkan bahwa ada beberapa isu yang jika tidak dikelola dengan hati-hati akan membuat cerita sukses itu terganggu.
Pertama, tekanan inflasi. Inflasi inti Indonesia terus mengalami kenaikan sejak Maret 2010. Padahal di banyak negara termasuk Australia, Kanada, Korea Selatan dan kawasan Eropa, inflasi inti cenderung tetap atau bahkan menurun.
Selama ini ada anggapan bahwa kenaikan inflasi lebih didorong oleh kenaikan harga pa­ngan. Namun, saya beranggapan bahwa sumber inflasi Indonesia didominasi oleh ekspektasi inflasi dan uang beredar.
Grafik 1 menunjukkan bagaimana inflasi 2010 dipengaruhi oleh pertumbuhan kredit atau uang beredar (M1) dengan senjang (lag) 1 bulan. Artinya, pertumbuhan kredit atau uang beredar M1 akan memiliki dampak kepada inflasi pada bulan berikutnya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa kenaikan inflasi banyak dipengaruhi oleh kebijakan Bank Indonesia yang mendorong ekspansi kredit perbankan. Tak ada yang salah dengan peningkatan uang beredar atau kredit, tetapi dalam situasi di mana ada kendala sisi penawarankarena keterbatasan infrastrukturekspansi kredit yang terlalu cepat, apalagi didominasi oleh kredit konsumsi akan mendorong inflasi.
Karena itu, ekspansi kredit atau M1 harus dilakukan secara bertahap, bila terlalu cepat ekonomi akan memanas. Inilah risiko dari sebuah perekonomian yang memiliki kendala supply karena infrastruktur yang terbatas dan pasar tenaga kerja yang kaku karena aturan UU No. 13/2003.
Jika inflasi melesat, ada kekhawatir bahwa Bank Indonesia agak terlambat di dalam kebijakan moneter (behind the curve), dan kita akan berada dalam zona tingkat bunga riil 0% atau bahkan negatif. Ini dapat menimbulkan persoalan dalam stabilitas makro.
Kedua, risiko likuiditas yang ketat. Ekspansi kredit yang terjadi begitu cepat. Sampai saat ini pertumbuhan kredit hampir mencapai 20%. Di sisi lain, pertumbuhan dana pihak ketiga atau deposito relatif lambat yaitu 8%-10%. Artinya, permintaan untuk loanable fund tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan penawaran loanable fund. Bisa dibayangkan, implikasinya bunga akan naik.
Tak hanya itu, likuiditas yang ada di pasar keuangan juga di serap melalui penjualan obligasi pemerintah, tetapi pencairan belanja relatif lambat.
Jika penyerapan APBN dan pertumbuhan deposito lambat, sedang ekspansi kredit begitu cepat, ditambah lagi dengan rencana BI soal adanya batasan ideal loan to deposit ratio (LDR) bank, likuiditas akan menjadi sangat ketat dan perbankan akan mulai menaikkan bunga. Ironis, karena BI justru ingin bunga turun.
Mungkin kita baik belajar dari pengalaman Juni-September 2008. Saya sepenuhnya mendukung kebijakan ekspansi kredit. Yang menjadi masalah adalah kecepatannya. Bila kecepatan pertumbuhan kredit sejalan dengan situasi perekonomian, ekspansi kredit akan berdampak positif.
Ketiga, soal hot money yang berisiko bubble. Hot money sangat rentan terhadap risiko makroekonomi, baik di luar maupun di dalam negeri. Keputusan Bank Indonesia agar SBI wajib ditahan minimal 1 bulan adalah keputus­an yang tepat.
Studi saya menunjukkan bahwa pergerakan SBI sangat berfluktuasi dan berpengaruh dalam fluktuasi nilai tukar. Sampai saat ini memang belum terjadi bubble di dalam perekonomian, tetapi bila arus modal masuk terus terjadi secara signifikan dan tak terserap oleh sektor riil, maka risiko bubble meningkat.
Di pasar modal misalnya, risiko ini muncul karena nilai perusahaan baru yang go public relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan arus modal masuk. Akibatnya, investor akan cenderung melakukan investasi didalam perusahaan yang sama. Harga saham memang meningkat, tetapi di sisi lain meningkatkan risiko bubble.
Karena itu perusahaan harus didorong untuk go public termasuk BUMN. Saya juga melihat bahwa daya serap pasar keuangan terbatas karena kendala di sektor riil, seperti iklim investasi dan buruknya infrastruktur.
Implikasinya, arus modal masuk tidak sepenuhnya dapat diserap oleh perekonomian. Karena itu saya menganggap bahwa perbaikan di dalam infrastruktur, iklim investasi dan juga tambahan perusahaan baru yang go public mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan daya serap arus modal yang masuk.
Bila hal ini tidak dilakukan maka risiko bubble meningkat dan modal bisa keluar dengan cepat dari Indonesia. Akhirnya perekonomian akan terganggu.
Masih rentan
Keempat, situasi global masih rentan. Dalam pertemuan di Asian Development Bank Institute Kamis minggu lalu di Tokyo, dibahas bahwa situasi ekonomi global masih rapuh. Risiko double dip walaupun kecil tetap ada.
Dalam situasi seperti ini saya ingin meningatkan bahwa fluktuasi eksternal dapat memukul perekonomian melalui ekspor. Dalam pertemuan di National Bureau of Economic Research (NBER) beberapa bulan lalu, sa­ya menyampaikan bahwa orientasi ekspor harus diikuti oleh diversifikasi ekspor.
Studi Haddad, Lim dan Saboroswski (2010) menunjukkan jika ekspor hanya terkonsentrasi pada produk tertentu, ia semakin rentan terhadap fluktuasi global. Ini benar, ekspor kita terpukul karena sangat terkonsentrasi, tetapi kita beruntung karena porsi ekspor relatif kecil dalam PDB.
Karena itu, ke depan Indonesia harus mendiversifikasi ekspornya, baik pasar maupun produk.
Sayangnya, studi dari penulis bersama dan Rahardja menunjukkan produk dan pasar ekspor kita masih primitif, dalam arti kata masih yang itu-itu saja.
Grafik 2 menunjukkan bahwa dalam 18 tahun terakhir pertumbuhan ekspor didorong oleh produk yang sama yang dijual ke pasar yang sama.
Penemuan baru (new discovery)? Kecil sekali. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita nyaris tak ada! Karena itu, diversifikasi ekspor harus dilakukan melalui perbaikan infrastruktur, pe­ngu­atan LPEI, promosi, perbaikan dalam R&D, dan menjaga nilai tukar yang kompetitif.
Di tengah situasi makro yang mendukung, di tengah begitu tingginya harapan untuk ekonomi Indonesia, kita harus tetap berhati-hati dan memperbaiki diri.
Saya justru melihat inilah waktu yang tepat untuk memperbaiki perekonomian.
The time to repair the roof is when the sun is shining, begitu ujar JF. Kennedy. Pesan itu sangat relevan pada hari ini.
Oleh Muhammad Chatib Basri
Senior Partner CReco Research Institut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar