Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
Pembangunan sistem pembayaran merupakan fungsi dari kapasitas perbankan, kemajuan teknologi, kebutuhan masyarakat, dan kerja sama internasional. Semua faktor ini secara bersama-sama menentukan keandalan sistem perbankan di setiap negara. Fungsi ini juga tidak terbelenggu oleh constant elasticity of substitution. Untuk negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat, kemajuan teknologi bersifat increasing return to scale.
Penelitian Forrester terhadap IT perbankan untuk tahun 2023 menyebutkan, "Identified a series of requirements and the architectural layers of the future banking platform. The key layers show: (1) a focus on personalized customer services and real-time information analysis; (2) a separation of product design and customization; and (3) a clear distinction between core competencies and nondifferentiation functions supported by selective sourcing. These layers will belong to one, two, or more financial services firms, and they will be connected via a federated semantic banking backbone." Sejauh mana sistem pembayaran di masa depan kompatibel dengan kecenderungan ini patutlah menjadi perhatian yang serius. Juga harus dipertimbangkan, sistem IT dari sistem pembayaran harus sudah pada generasi kelima yang bersifat Grid dengan cerminan n-tier, virtual environment, dan service-oriented architecture. Hanya dengan Grid, ancaman keamanan dalam sistem pembayaran nasional dapat diminimalkan. Jika Bank Indonesia memberikan arahan yang jelas dalam konteks teknologi Grid, bank besar seperti BCA dan Mandiri akan mengalokasikan investasinya pada teknologi ini secepat mungkin. Sistem pembayaran yang efisien dan efektif diperlukan karena sangat penting untuk berfungsinya sistem keuangan (financial system) dan perekonomian, serta kemudahan dan kecepatan proses pembayaran berpengaruh besar dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, harus diingat bahwa risiko dalam sistem pembayaran dapat berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan. Stack (2006) mengatakan, "The complexity and rigidity of traditional systems results in the too-familiar misalignment between IT and the business. The IT side is bogged down with the burden of maintaining 20th-century systems and processes that have become too bloated and inefficient to deal with the demands imposed by the 21st-century business environment. In many organizations, that maintenance burden approaches 80% of the total IT budget."
Sistem pembayaran yang mampu meminimalkan risiko (risiko likuiditas, risiko kredit, risiko hukum, dan risiko operasional) dan mendukung stabilitas sistem keuangan merupakan pilihan yang tepat. Sistem pembayaran yang memungkinkan pemrosesan transaksi secara mudah, cepat, akurat dengan biaya yang rendah juga akan semakin diperlukan. Sistem ini juga harus mampu melakukan pemberian akses yang adil dan setara (equal) baik kepada peserta sistem pembayaran maupun kepada masyarakat luas sebagai pengguna. Sistem ini bertujuan untuk melindungi dan/atau memenuhi hak-hak stakeholder pengguna sistem pembayaran. Hingga saat ini sistem kliring manual merupakan sistem penyelenggaraan kliring yang dalam pelaksanaan penghitungan dan pembuatan rekapitulasi penghitungan (bilyet saldo kliring) serta pemilahan warkat dilakukan secara manual oleh setiap peserta kliring.
Sistem kliring otomasi adalah sistem penyelenggaraan kliring yang dalam pelaksanaan penghitungan dan pembuatan rekapitulasi penghitungan (bilyet saldo kliring) serta pemilahan warkat dilakukan oleh penyelenggara secara otomatis. Sistem kliring elektronik adalah sistem penyelenggaraan kliring yang dalam pelaksanaan penghitungan dan pembuatan rekapitulasi penghitungan (bilyet saldo kliring) dilakukan secara elektronik disertai dengan penyampaian warkat peserta kepada penyelenggara untuk dipilah secara otomatis. Sejak 17 November 2000, sistem Bank Indonesia real time gross settlement (BI-RTGS) telah diimplementasikan dengan cakupan untuk seluruh wilayah Indonesia. ECB (2010), "The proliferation of IT has also set the stage for improving and managing risks in payment systems including Electronic Trading Systems, DVP/PVP, RTGS, Secured Netting Systems, The growth of the Central Counterparty (CCP), and Continuous Linked Settlement." Sistem pembayaran dan arsitektur perbankan Indonesia akhirnya memiliki himpunan irisan dalam konteks teknologi. Untuk itu, arah sistem pembayaran di Indonesia harus sudah ditentukan dari saat ini sehingga arsitektur perbankan Indonesia akan mengikutinya. Sejak Februari 2004, Bank Indonesia scripless securities settlement system (BI-SSSS) telah diimplementasikan untuk mengakomodasi kebutuhan settlement transaksi surat berharga (SBI dan surat utang negara).
RTGS memiliki ciri-ciri antara lain sistem transfer dana antarbank bersifat online. Setiap instruksi transfer dana oleh bank langsung di-settle atau dpl langsung mendebet rekening bank pengirim dan mengkredit rekening bank penerima di BI (gross settlement), sepanjang saldo rekening giro bank pengirim mencukupi. Transaksi pembayaran antarbank bernilai besar dan/atau bersifat urgen (HVPS). Sifat transaksi RTGS ialah antarbank; bersifat credit transfer; dan Bank-BI bersifat credit transfer serta debit transfer. Implikasinya bagi perbankan adalah transaksi pembayaran antarbank dapat dilakukan secara online dan paperless; settlement dari setiap transaksi pembayaran antarbank dapat dilakukan dalam hitungan detik (real-time) sepanjang saldo rekening giro bank pengirim (sending bank) mencukupi; posisi 'terkini' saldo rekening giro dapat dimonitor setiap saat sepanjang hari; membantu pengaturan transmitting transaksi pembayaran antarbank dan pengelolaan likuiditas. Institute for Development and Research in Banking mengatakan bahwa, "Technology is indeed a differentiator not only in terms of competitive advantage, but also in terms of administrative and back-end processes…." Artinya, fragmentasi teknologi akan berimplikasi tidak hanya pada daya saing perbankan di Indonesia, tetapi juga perilakunya. Tantangan RTGS untuk meningkatkan liquidity saving secara sistematis juga harus dipertimbangkan. Konsekuensinya, treasury bank dituntut untuk meningkatkan disiplin dan profesionalismenya dalam mengelola likuiditas (liquidity management) dan risiko (risk management). Keuntungan bagi Bank Indonesia sangatlah jelas yaitu, mengurangi risiko bank sentral akibat adanya 'time lag' antara transaksi dan settlement yang terjadi selama ini dalam transaksi pembayaran antarbank melalui kliring dengan multilateral netting. Pun, dengan penerapan CSA (centralised settlement account), akan tersedia informasi rekening bank secara real time dan menyeluruh. Kaseman (2004) menyebutkan, “Current and future technology implementations call for at least 20% of officers specialise in IT�. Dengan demikian peran Bank Indonesia adalah juga dalam menyiapkan sumber daya manusia, termasuk menyusun kebijakan, peraturan hukum dan prosedur sistem pembayaran; menjamin terselenggaranya sistem pembayaran yang dapat dipercaya, efisien, aman dan adil; fasilitator pengembangan melalui Forum Komunikasi Sistem Pembayaran Nasional (terdapat lima unsur yaitu manajemen risiko, teknologi informasi, standar dan produk, dan legal); pengawas; serta menjamin semua pihak yang terlibat dalam sistem pembayaran mengikuti aturan yang telah dibuat/disepakati.
Terakhir, kerja sama internasional harus juga masuk peran Bank Indonesia sehingga sistem pembayaran nilai besar memiliki lebih dari satu sistem yang tentunya dapat dilakukan dengan metode migrasi seperti yang dilakukan negara Uni Eropa terhadap target 2. Dengan demikian, sistem pembayaran di Indonesia di masa depan dipastikan bukan hanya aman, melainkan juga bersifat liquidity saving!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar