Achmad Maulani
Peneliti Ekonomi Politik pada Pusat Studi Asia-Pasifik UGM
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) barubaru ini memperlihatkan bahwa terjadi pelambatan penurunan angka kemiskinan di Indonesia.
Menurut BPS, selama periode Maret 2009-Maret 2010 kemiskinan turun 0,82%, lebih lambat dibandingkan dengan periode Maret 2008-Maret 2009 sebesar 1,27%. Laporan BPS tersebut mencatat bahwa jumlah penduduk miskin pada 2010 ini mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33%. Angka kemiskinan tersebut berkurang 1,51 juta jiwa jika dibandingkan dengan angka tahun 2009 sebanyak 32,53 juta orang (14,15%). Meski sangat tipis, penurunan angka kemiskinan tersebut patut kita apresiasi sebagai buah kerja keras pemerintah.
Namun demikian, dari data yang diumumkan BPS, ada persoalan serius yang harus kita cermati dan perlu pembenahan di masa mendatang terkait strategi pembangunan yang harus dikembangkan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Kalau kita lihat, penurunan angka kemiskinan di pedesaan ternyata lebih lambat,hanya 0,69 juta orang daripada di perkotaan sebesar 0,81 juta orang. Begitu pula persentase kemiskinan di pedesaan meningkat dari 63,35% pada tahun 2009 menjadi 64,23% pada 2010.Fakta tersebut jelas menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi ternyata kian meminggirkan masyarakat desa dengan sektor pertanian sebagai tumpuan utamanya.
Di mana letak persoalannya? Pertama, terdapat strategi yang kurang tepat dalam mengembangkan orientasi pembangunan. Kita tahu, negara ini berdiri di atas realitas yang tak mungkin dihindari, yakni bahwa sebagian besar rakyat bekerja dan mencari nafkah di sektor pertanian.Tetapi realitasnya, kebijakan pembangunan selama ini justru sering menempatkan para pelaku di sektor pertanian (petani) dalam kondisi yang nyaris karam. Kedua, kebijakan ekonomi selama ini cenderung memfasilitasi penduduk di perkotaan dan lebih mementingkan sektor industri. Padahal,kontribusi sektor pertanian (termasuk peternakan, kehutanan dan perikanan) banyak menyerap tenaga kerja serta mampu menekan angka kemiskinan dan pengangguran.
Selain itu, sektor pertanian juga punya andil besar, baik terhadap nilai ekspor maupun terhadap pembentukan pendapatan nasional (PDB). Menyikapi persoalan tersebut, ke depannya pemerintah perlu melakukan reorientasi strategi pembangunan agar kebijakan ekonomi (pembangunan) yang diambil tidak salah arah dan tidak menunjukkan self of urgency. Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan memberikan nisbah yang proporsional terhadap sektor pertanian untuk dapat tumbuh dan berkembang sehingga tidak mengalami proses pembusukan yang akut.
Kebijakan untuk Petani
Keberpihakan serta komitmen pemerintah di sektor pertanian ini penting untuk menekan laju kemiskinan di masa depan. Karena fakta yang tidak bisa ditolak bahwa lebih dari 60% penduduk miskin ternyata berada di wilayah pedesaan.
Tetapi,pada saat bersamaan kebijakan publik di sektor pertanian justru telah tumpul karena alpa diasah oleh negara. Ada dua masalah mendasar yang sampai saat ini masih menggantung di sektor pertanian. Pertama, soal kepemilikan lahan yang luar biasa kecil.Saat ini kepemilikan lahan rata-rata di Jawa kurang hanya tinggal 0,25 hektare. Hasil penelitian Kementerian Pertanian tahun 2000 bahkan menunjukkan bahwa 88% rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektare. Bahkan, banyak yang hanya berprofesi sebagai tunatanah (petani penggarap).
Dengan struktur kepemilikan seperti itu, maka atribut-atribut semacam efisiensi dan produktivitas sungguh jauh dari kenyataan. Kedua,menyingkirkan kondisikondisi yang menyebabkan sektor pertanian (petani) selalu kalah dan tersingkirkan.Ketika berhadapan dengan alam,teknologi dan kelembagaan, sektor pertanian selama ini hampir selalu pada situasi subordinat, terdesak secara mengenaskan. Realitas tersebut masih ditambah dengan fakta ketimpangan penguasaan lahan.Studi yang dilakukan Yustika (2003) menunjukkan bahwa sebagian besar petani memang memiliki lahan yang sangat sempit bahkan di antaranya banyak yang tidak punya sepetak pun sehingga cuma menjadi buruh tani.
Sering kali hasil pertanian hanya cukup menutup ongkos produksi. Karenanya,hampir 80% pendapatan rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm). Melihat fenomena di atas setidaknya ada dua kebijakan yang layak diperbincangkan secara serius. Pertama, dalam dataran substantif perlu dipikirkan langkahlangkah konkret untuk menyelesaikan dua masalah mendasar di atas yakni menyangkut kepemilikan luas lahan dan mekanisme ekonomi yang selama ini menjerat petani. Pada level ini pemerintah perlu membicarakan masalah prioritas terkait pemulihan ekonomi yang sedang dikerjakan.
Dalam kebijakan substantif ini, soal strategis yang harus diperbincangkan adalah masalah reformasi kepemilikan lahan (land reform). Meski kesan sulit tidak bisa dipungkiri, saya kira ada baiknya mulai dibicarakan dan dihitung untungruginya jika dibandingkan dengan mengeluarkan kebijakan lainnya. Beberapa negara yang pernah melakukan terbukti dapat mengatasi persoalan kepemilikan lahan. Kedua,dalam dataran pragmatis, pemerintah harus menyusun cetak biru (blue print) pertanian nasional,menyangkut potensi dan identifikasi produk yang harus dikembangkan. Pada fase ini pemerintah harus mendaur ulang seluruh kebijakan pertanian, dari mulai masalah perkreditan, subsidi, harga input dan output,hingga soal distribusi.
Pada wilayah kebijakan pragmatis ini, yang harus dilakukan pemerintah adalah dukungan yang terfokus dan konsisten. Seperti halnya sektor industri,pemerintah pun harus all out mengembangkan sektor pertanian dari semua sisi. Tentu saja jenis dukungan tidak sama dengan yang diberikan ke sektor industri karena karakteristiknya memang berbeda.
Intervensi Pemerintah
Pada kedua ranah kebijakan di atas, pada prinsipnya intervensi dan keberpihakan pemerintah mutlak diperlukan untuk melindungi petani dari jerat pasar yang sering kali tidak ramah.Bukan malah terkesan mempercepat proses kematian sektor pertanian (involusi kebijakan), misalnya dengan meliberalisasi pasar produk pertanian padahal WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Intervensi dapat dilakukan secara sistematis mulai dari proses produksi, distribusi, maupun penyediaan infrastruktur lainnya.
Intervensi juga meliputi subsidi input produksi (benih, pupuk), sistem kredit yang lebih mudah, bimbingan seputar pertanian, hingga soal patokan harga. Contoh sederhana, semenjak terjadi perubahan kebijakan perberasan nasional pada 1998,semua subsidi pertanian dan proteksi produk pertanian di hapuskan,kecuali subsidi benih. Padahal, negaranegara maju masih memberikan subsidi sampai USD300 miliar tiap tahun kepada sektor pertanian. Di Amerika Serikat misalnya, meski jumlah petani tinggal 2% dari total penduduknya, sektor pertanian menempati 13% dari produk domestik bruto (PDB) dengan ekspor mencapai USD140 miliar setahun.
Lantas mengapa kita justru ingin menghapuskannya? Dalam desain besar kebijakan penurunan angka kemiskinan, kebijakan yang diambil tentu tidak bisa dilakukan secara parsial dan sepotong-sepotong.Pertumbuhan sektor industri jelas harus tetap didorong tetapi tanpa meninggalkan sektor pertanian. Karena itu, diperlukan kebijakan industri dan perdagangan yang mampu mendukung perkembangan sistem agribisnis sehingga dapat mengangkat kesejahteraan petani. Pengalaman banyak negara seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand membuktikan bahwa upaya serius dari pemerintah untuk menopang sektor pertanian dengan kebijakan-kebijakan makroekonomi yang tepat mampu membuat kinerja sektor pertanian berkembang pesat dan akhirnya mampu menekan laju angka kemiskinan.
Di atas semuanya, di masa mendatang penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan dengan merintis pengenalan aspek-aspek yang bersifat lokal dan kultural (informal institutions) agar dapat meneropong fakta kemiskinan secara lebih detail. Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat desa (petani) misalnya, jelas berbeda atributnya dengan khalayak perkotaan. Dengan itu maka akan dapat diperoleh diagnosa yang tepat atas problem kemiskinan. Tanpa strategi pembangunan yang tepat,khususnya di sektor pertanian, petani hanya akan semakin jatuh ke lembah kemiskinan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar