ADA pertanyaan, mengapa pada Ramadan konsumsi justru naik? Padahal, pada siang selama bulan itu, umat Islam harus menahan diri dari (di antaranya) makan dan minum. Artinya, frekuensi dan jumlah makanan yang dikonsumsi semestinya berkurang. Tetapi, dalam kenyataan terjadi sebaliknya. Konsumsi justru meningkat. Peningkatan konsumsi lebih banyak menjelang dan beberapa hari sesudah Idul Fitri, hari raya untuk merayakan kemenangan menahan diri selama Ramadan.
Dengan tingkat konsumsi yang meningkat itu, hukum ekonomi berjalan: harga-harga kebutuhan pokok merangkak naik. Itu dikeluhkan ibu-ibu yang berbelanja di pasar. Mengapa kejadian tersebut selalu berulang setiap tahun tanpa ada pencegahan awal yang sigap dari pemerintah. Padahal, perilaku berulang itu sudah jamak diketahui konsumen maupun pedagang.
Konsumsi naik karena pada hakikatnya secara sosial dan ekonomi Ramadan merupakan perayaan keagamaan yang berulang. Satu di antara 12 bulan yang selalu dinantikan umat Islam. Yakni, menikmati saat berbuka, masa bersahur, yang ditingkahi berkumpul bersama seperti layaknya pesta. Di kota dan desa, berbuka bersama maupun sahur bersama merupakan kebanggaan kolektif yang bersifat kebersamaan sosial.
Kebersamaan sosial itu adalah kebutuhan sosial. Bahkan, bersifat mutlak bagi yang berstatus sosial tinggi di tingkat masing-masing. Itu merupakan tradisi lama, melembaga, dan sudah berjalan sekian generasi sehingga tidak mungkin diubah dalam sekejap.
Dari sisi keagamaan, puasa merupakan praktik menahan diri. Siang umat Islam sama sekali tidak boleh makan dan minum. Tetapi, dari sisi sosial, kegiatan malam sejak berbuka sampai sahur justru lebih hidup dengan tradisi kolektif berbuka bersama maupun sahur bersama (setidaknya di dalam keluarga). Dimensi sosial puasa itulah yang mendongkrak konsumsi dan merupakan suatu lembaga kebersamaan sosial.
Dari sisi ekonomi, puasa Ramadan dengan dimensi sosial seperti itu mendorong aktivitas konsumsi kolektif. Maka tidak aneh, konsumsi naik dan harga barang-barang pokok merangkak lebih tinggi. Itulah paradoks puasa Ramadan. Pada sisi fikih, agama menganjurkan umat menahan diri dari hawa nafsu, termasuk nafsu makan dan minum sejak terbit sampai terbenam matahari. Tetapi, aktivitas pada malam lebih semarak sehingga justru tingkat konsumsi masyarakat lebih banyak jika dibandingkan dengan masa normal.
Paradoks Ramadan adalah kontras antara praktik fikih dan praktik ekonomi. Praktik fikih adalah menahan makan dan minum pada siang, tetapi praktik konsumsi ekonomi berjalan khusus dan semarak pada malam. Jadi, tidak aneh ritual Ramadan bersanding erat dengan ritual kenaikan harga bahan pokok.
Kebijakan Lambat
Perilaku konsumsi pada Ramadan menjelang Idul Fitri dan beberapa hari setelahnya sudah jamak diketahui. Semestinya perilaku itu direspons dengan kebijakan yang menyeimbangkannya sehingga harga barang-barang tidak melesat naik. Tetapi, pemerintah memang lambat. Operasi pasar dilakukan tidak jauh-jauh hari sebelum Ramadan, namun ketika harga-harga sudah merangkak naik. Operasi pasar tersebut hanya sekelumit jika dibandingkan dengan perubahan konsumsi dalam skala yang meluas di seluruh lapisan masyarakat.
Semestinya tambahan pasokan bisa dijalankan jauh sebelum perilaku konsumsi berubah pada masa Ramadan. Memang, dengan sistem pasar bebas dan liberal seperti ini, pemerintah tidak memiliki instrumen operasi pasar untuk bahan pokok sebagaimana layaknya operasi pasar uang di bawah Bank Indonesia.
Apa potensi, sistem, cara, atau sumber daya pemerintah untuk melakukan operasi pasar seperti pada masa Ramadan ini? Jawabnya jelas tidak ada karena semua mekanisme harga diserahkan kepada pasar bebas. Jadi, jika cabai, gula, dan bahan pokok lain meningkat, masyarakat hanya diminta menahan diri tidak atau mengurangi konsumsinya. Harga naik pada masa Ramadan dengan tingkat konsumsi yang meningkat juga dianggap wajar. Yakni, sebagai perilaku pasar akibat permintaaan yang meningkat daripada pasokannya. Peran negara hanya sebagai ''watchdog''.
Jika hendak membuat kebijakan, setidaknya pasokan bisa dimulai dari bahan pokok yang dikuasai pemerintah, seperti beras yang dikendalikan bulog. Usaha kebijakan bisa diperluas untuk memasok bahan pokok lain seperti gula karena pemerintah masih memiliki BUMN yang menguasai perkebunan tebu dan pabrik gula. Selanjutnya, pasokan minyak goreng bisa dijalankan, bekerja sama dengan perkebunan dan produsen minyak goreng yang tidak banyak jumlahnya.
Pemerintah memiliki otoritas dan kekuasaan untuk menjalankan kebijakan ekonomi pada masa kritis karena tekanan inflasi seperti saat Ramadan sekarang ini. Pada masa normal, pasokan dan konsumsi barang diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah. Tetapi, itu tidak dijalankan secara sistematis sehingga harga meroket cepat tanpa ada usaha kebijakan yang cukup dari pemerintah.
Sistem Pengendalian Inflasi
Sebaiknya pemerintah membentuk sistem kelembagaan untuk mengendalikan inflasi. Ada sumber daya birokrasi yang menanganinya, termasuk anggaran khusus yang disediakan untuk itu. Ada sistem pengawasan harga yang dijalankan dengan sigap. Tidak hanya pada saat Ramadan, tetapi pada saat pasar distortif. Selama ini, sistem itu tidak ada sehingga harga hanya diserahkan kepada pasar bebas, meski distortif seperti saat ini.
Sistem untuk mengendalikan inflasi baru dijalankan Bank Indonesia yang membentuk Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Tim tersebut sebenarnya hanya pelengkap dari sistem kelembagaan BI, selain operasi pasar uang dan pengendalian inflasi sisi moneter. Bukan sektor riil. Pengendalian inflasi dari sektor riil seperti ketersediaan bahan pokok, kelancaran transportasi, dan aspek lain terkait dengan pengendalian inflasi.
Sistem kelembagaan untuk mengendalikan inflasi dari sektor riil seperti itu mutlak harus dikembangkan di bawah pemerintah pusat dan daerah. Kita tidak bisa sepenuhnya menyerahkan kepada pasar dalam keadaan khusus ataupun kondisi tidak normal. Pemerintah tidak bisa lepas dalam interaksinya yang kualitatif dengan dinamika pasar. Pemerintah harus hadir ketika pasar distortif atau saat inflasi naik yang mencekik golongan bawah.
Jadi, paradoks Ramadan tidak sepenuhnya kesalahan masyarakat yang bersukacita menunggu dan menyambut Ramadan, termasuk hari kemenangan Idul Fitri. Justru pemerintah yang mesti memahami perilaku konsumsi masyarakat pada waktu khusus seperti ini. Ketika konsumsi cenderung naik, kecepatan dan ketepatan distribusi barang harus diperbaiki. Pasokan tambahan diperlukan dengan peran negara yang terukur dan kualiatatif.
*) Didik J. Rachbini , guru besar ilmu ekonomi, pengajar pada Universitas Mercu Buana dan pascasarjana UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar