Selasa, 24 Agustus 2010

Infrastruktur Minim, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Mentok di 6,5%

JAKARTA, RIMATIMES- Pemerintah nampaknya tak pernah serius untuk membenahi ekonomi Indonesia. Hal ini terbukti dari pembangunan infrastruktur yang begitu lambat dan tidak memadai untuk menopang laju ekonomi agar bergerak lebih cepat. Hasilnya, kapasitas pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berkisar 6,5%. Jika ingin digenjot di atas angka tersebut maka resikonya akan terjadi buble. Demikian diungkapkan Ekonom Bank Mandiri Mirza Adityaswara dalam konferensi persnya mengenai proyeksi kondisi ekonomi Indonesia di Plaza Mandiri Jakarta, Senin (23/8).

"Selama tidak cukup infrastruktur maka mungkin kapasitas pertumbuhan ekonomi hanya 6,5%. Jika dipaksakan di atas itu hanya akan menimbulkan inflasi, neraca berjalan defisit dan utang luar negeri terus meningkat (kondisi bubble)," ungkap Mirza.
Mirza mengungkapkan, di Indonesia, pertumbuhan baru 6%, infalsi langsung naik, karena infrastruktur yang kurang. "Ini menujukkan tidak prudent," ujar Mirza.
Dikatakannya, pemegang kebijakan moneter harus tahu kapan untuk menggenjot dan kapan menghambat pertumbuhan.
Sedangkan untuk neraca perdagangan, ekspor Indonesia terus stagnan di kisaran US%12 juta, sedangkan impor terus naik hingga mencapai US$11,7 juta.
"Kalau dibiarkan, neraca perdagangan akan bisa defisit. Untuk ekspor angka tetap stagnan sejak Januari 2010, sedangkan untuk ekspor di mana Januari 2010 hanya US%9,5 Juli menjadi US$ 11,7 juta," ujarnya.
Ia mengungkapkan, setiap negara mempunyai kapasitas pertumbuhan ekonomi masing-masing. Jika dengan kondisi saat ini, Indonesia hanya bisa prudent di angka 6,5%. Begitu juga China yang pertumbuhan ekonominya prudent di angka 9%. "China sebenarnya bisa hingga 12%, tetapi ditekan oleh pemerintahnya. Karena infrastruktur di China belum prudent untuk pertumbuhan ekonomi di atas 10%," tukas Mirza.
Pada kuatal pertama 2010, pertumbuhan ekonomi China mencapai 11,59%, namun pada kuartal kedua ditahan pertumbuhannya hanya mencapai 10,3%. Intervensi dilakukan dengan menekan pertumbuhan kredit melalui penaikan GWM dan spekulasi property dikurangi.
Ia memberikan saran, agar pemegang otoritas juga segera menaikkan suku bunga untuk menekan pertumbuhan kredit. Ia mengungkapkan, negara lain sudah menaikkan suku bunga, tetapi BI masih nunggu. "Saya khawatir BI nantinya malah behind the curve (terlambat mengambil kebijakan)," ujarnya.
Memang, lanjut Mirza, secara politis sulit untuk menaikkan suku bunga, namun disinilah fungsi bank sentral yang independen dibutuhkan. Ia memprediksi, meskipun total kenaikan suku bunga hingga 50 basis poin, hal itu masih rendah. "Meskipun BI rate 7,5% itu tidak masalah. Pada 2007 dan 2008 dengan BI rate sebesar itu, pertumbuhan kredit tinggi," tukasnya.
Ia juga mengatakan, investasi keuangan yang masuk ke Indonesia masih berupa financial investment, bukan riil investment sehingga dikategorikan hot money yang bisa diambil kapan pun. Dana ini akan terus berlangsung hingga pertengahan 2011. "Kalau ekonomi Amerika dan Eropa pulih, maka capital inflow ke Indonesia akan terus berkurang," tukasnya.
Kondisi ekonomi Indonesia yang bagus sebaiknya tetap diikuti dengan sikap prudent. Likuiditas berlimpah yang ditunjukkan dengan LDR rendah itu berasal dari hot money yaitu 26% SUN dimiliki asing.
Mirza mengungkapkan, rencana Bank Indonesia yang akan menerapkan batas Loan to Deposit Ratio (LDR) sekitar 87%-102% dinilai akan berbahaya untuk kelangsungan likuiditas perbankan. Hal itu karena dana perbankan berasal dari jangka pendek.
Menurutnya, keinginan BI meningkatkan LDR di atas 90% itu dapat dikecualikan jika pendanaan bank ditopang oleh obligasi jangka panjang. Sedangkan perbankan di Indonesia kebanyakan ditopang oleh dana jangka pendek. Beberapa bank besar, kecuali Bank Mandiri dan BCA, LDRnya di atas 80%. LDR Bank Mandiri 62,5% karena adanya obligasi rekap jangka panjang yang tidak bisa dikonversi menjadi aset likuid.
Menurutnya, LDR maksimum sekitar 85%-90%. Sisanya untuk dana cadangan atau menghadapi situasi dana darurat. Di atas 90% menurutnya perbankan sudah tidak prudent lagi.
"Kalau sudah menjadi kredit kan tidak bisa dicairkan. Di atas 90% saja tidak prudent, kok mau 102%," katanya.(ach/MI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar