JAKARTA : Arah perekonomian global masih belum jelas dalam jangka pendek menyusul perkembangan ekonomi di AS, Eropa, dan Jepang yang belum menggembirakan.
Guna mengantisipasi risiko global pada tahun depan, target indikator makro ekonomi dianjurkan jangan terlalu ambisius.
Purbaya Yudhi Sadewa, Ekonom Danareksa Research Institute, menilai secara keseluruhan kondisi ekonomi AS, Eropa, dan Jepang masih belum jelas arah ekonominya dalam jangka pendek, apakah membaik atau sebaliknya.
Demikian pula pengaruhnya ke perekonomian Indonesia, masih samar karena pembalikan arus modal belum terjadi.
“Tidak ada yang bisa bilang dengan jelas arahnya ke mana. Kalau jangka pendek anda akan melihat gambar yang membingungkan, tapi kalau jangka panjang saya yakin ini (ekonomi global) masih ekspansi terus karena saya lihat leading economy yang naik terus. Jadi saya melihat uncertainty [ketidakpastian] global masih tinggi, tapi arahnya jelas membaik,” paparnya di kantor Kemenko Perekonomian, pekan lalu.
Ketidak-pastian tersebut, tambah Purbaya, yang membuat pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang moderat pada tahun depan, yakni 6,3%. “Kurang bijak kalau kita taruh (target pertumbuhan) ekonomi di kisaran 6,5-7% ya. Jadi kita harus jaga-jaga juga.”
Purbaya menjelaskan awalnya banyak yang meprediksi perekonomian kawasan Eropa akan mengalami keterpurukan paling besar di dunia, tetapi kenyataannya berbeda. “Sekarang justru keadaan ekonomi Eropa lebih bagus dari pada yang diprediski banyak orang. Jadi secara fundamental menurut kami juga begitu, belum terganggu. Jadi masih naik kencang,” ujar dia.
Bahkan, lanjut Purbaya, ada kemungkinan Eropa tidak akan membeli obligasi di pasar modal seperti yang dilakukan AS karena kondisi tersebut. Artinya, Eropa memilih untuk mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. “Ada pembicaraan, mereka akan mulai bergerak menaikkan suku bunga, walaupun belum pasti. Tapi kalau indikasi kesana sudah ada, artinya fundamentalnya cukup kuat. Jadi ini masih uncertain sekali. ,” tuturnya.
Namun, Purbaya mengingatkan ada risiko hilangnya kepercayaan jika krisis utang menyebar ke seluruh kawasan Eropa. Hal ini akan membuat negara-negara di benua biru tersebut tidak bisa menerbitkan kembali surat utang. “Kalau orang-orang hilang kepercayaan, negara-negara itu tidak bisa terbitkan obligasi lagi untuk tutup utangnya, tidak bisa memperpanjang jatuh tempo [utang], ya jadi masalah. Tapi selama kepercayaannya ada di sana, kelihatannya tidak terlalu mengkhawatirkan untuk Eropa,” jelas dia.
Menurut dia, yang perlu dikhawatirkan adalah pemulihan ekonomi AS yang berjalan lambat menyusul koreksi turun pertumbuhan ekonominya pada kuartal II/2010 dari 2,4% menjadi 1,4-1,5%. Akan tetapi kemungkinan hanya persepsi jangka pendek yang masih terpaku pada angka pengangguran yang belum turun sigifikan.
“Dua bulan terakhir Juni-Juli (angka pengangguran) 9,5%, tapi sebelumnya 9,7%. Artinya ada penurunan sedikit, Cuma agak flat. Yang mereka lupakan adalah biasanya penciptaan lapangan kerja itu terjadi setelah beberapa lama ekonomi ekspansi. Jadi kita tinggal tunggu waktu saja.”
Terkait apresiasi yen yang mulai memukul ekspor Jepang, Purbaya menilai justru menguntungkan Indonesia, karena dari sisi biaya utang yen dan barang-barang ekspor Jepang menjadi lebih murah. Sebaliknya, bagi Jepang hal tersebut merugikan sehingga harus ditangani dengan baik oleh otoritas terkaitnya agar tidak menurunkan permintaan. “Ini isu jangka pendek sekali, tidak mungkin dalam penguatan seminggu tiba-tiba semuanya melemah secara signifikan, ekspornya tiba-tiba kalah bersaing secara signifikan.”(mmh)
Guna mengantisipasi risiko global pada tahun depan, target indikator makro ekonomi dianjurkan jangan terlalu ambisius.
Purbaya Yudhi Sadewa, Ekonom Danareksa Research Institute, menilai secara keseluruhan kondisi ekonomi AS, Eropa, dan Jepang masih belum jelas arah ekonominya dalam jangka pendek, apakah membaik atau sebaliknya.
Demikian pula pengaruhnya ke perekonomian Indonesia, masih samar karena pembalikan arus modal belum terjadi.
“Tidak ada yang bisa bilang dengan jelas arahnya ke mana. Kalau jangka pendek anda akan melihat gambar yang membingungkan, tapi kalau jangka panjang saya yakin ini (ekonomi global) masih ekspansi terus karena saya lihat leading economy yang naik terus. Jadi saya melihat uncertainty [ketidakpastian] global masih tinggi, tapi arahnya jelas membaik,” paparnya di kantor Kemenko Perekonomian, pekan lalu.
Ketidak-pastian tersebut, tambah Purbaya, yang membuat pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi yang moderat pada tahun depan, yakni 6,3%. “Kurang bijak kalau kita taruh (target pertumbuhan) ekonomi di kisaran 6,5-7% ya. Jadi kita harus jaga-jaga juga.”
Purbaya menjelaskan awalnya banyak yang meprediksi perekonomian kawasan Eropa akan mengalami keterpurukan paling besar di dunia, tetapi kenyataannya berbeda. “Sekarang justru keadaan ekonomi Eropa lebih bagus dari pada yang diprediski banyak orang. Jadi secara fundamental menurut kami juga begitu, belum terganggu. Jadi masih naik kencang,” ujar dia.
Bahkan, lanjut Purbaya, ada kemungkinan Eropa tidak akan membeli obligasi di pasar modal seperti yang dilakukan AS karena kondisi tersebut. Artinya, Eropa memilih untuk mendorong pemulihan ekonomi lebih cepat. “Ada pembicaraan, mereka akan mulai bergerak menaikkan suku bunga, walaupun belum pasti. Tapi kalau indikasi kesana sudah ada, artinya fundamentalnya cukup kuat. Jadi ini masih uncertain sekali. ,” tuturnya.
Namun, Purbaya mengingatkan ada risiko hilangnya kepercayaan jika krisis utang menyebar ke seluruh kawasan Eropa. Hal ini akan membuat negara-negara di benua biru tersebut tidak bisa menerbitkan kembali surat utang. “Kalau orang-orang hilang kepercayaan, negara-negara itu tidak bisa terbitkan obligasi lagi untuk tutup utangnya, tidak bisa memperpanjang jatuh tempo [utang], ya jadi masalah. Tapi selama kepercayaannya ada di sana, kelihatannya tidak terlalu mengkhawatirkan untuk Eropa,” jelas dia.
Menurut dia, yang perlu dikhawatirkan adalah pemulihan ekonomi AS yang berjalan lambat menyusul koreksi turun pertumbuhan ekonominya pada kuartal II/2010 dari 2,4% menjadi 1,4-1,5%. Akan tetapi kemungkinan hanya persepsi jangka pendek yang masih terpaku pada angka pengangguran yang belum turun sigifikan.
“Dua bulan terakhir Juni-Juli (angka pengangguran) 9,5%, tapi sebelumnya 9,7%. Artinya ada penurunan sedikit, Cuma agak flat. Yang mereka lupakan adalah biasanya penciptaan lapangan kerja itu terjadi setelah beberapa lama ekonomi ekspansi. Jadi kita tinggal tunggu waktu saja.”
Terkait apresiasi yen yang mulai memukul ekspor Jepang, Purbaya menilai justru menguntungkan Indonesia, karena dari sisi biaya utang yen dan barang-barang ekspor Jepang menjadi lebih murah. Sebaliknya, bagi Jepang hal tersebut merugikan sehingga harus ditangani dengan baik oleh otoritas terkaitnya agar tidak menurunkan permintaan. “Ini isu jangka pendek sekali, tidak mungkin dalam penguatan seminggu tiba-tiba semuanya melemah secara signifikan, ekspornya tiba-tiba kalah bersaing secara signifikan.”(mmh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar