http://investasi.kontan.co.id/news/harga-tembaga-terangkat-data-amerika-serikat
JAKARTA. Sikap
otoritas moneter Amerika Serikat (AS) mendorong harga tembaga. Para
pemodal kembali bergairah memburu komoditas, setelah The Federal
Reserves menyatakan akan mengambil langkah yang diperlukan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Pernyataan itu diartikan The Fed berniat mengucurkan paket stimulus lanjutan. Ekspektasi semacam itu menyurutkan pamor dollar AS, dan di sisi yang berlainan, mendongkrak permintaan terhadap aset-aset berisiko.
Kontrak tembaga termasuk yang kembali jadi incaran. Nilai kontrak pengiriman tembaga untuk tiga bulan mendatang di London Metal Exchange, Jumat (27/4), naik 1,4% menjadi US$ 8.320 per ton. Padahal di awal pekan ini harga tembaga sempat koreksi 1,8% jadi US$ 8.045. Pemicu koreksi adalah proyeksi penurunan konsumsi di China. "Pasar tembaga terjaga kenaikannya setelah pernyataan dari The Fed," ujar Natalie Robertson, analis Australia & New Zealand Banking Group Ltd, seperti dikutip Bloomberg (26/4).
Ibrahim, analis Harvest International Futures, mengatakan bahwa pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke, merupakan sinyal positif tentang peluncuran stimulus moneter. Berkat pernyataan ini, Ibrahim memperkirakan permintaan tembaga di Amerika naik. "Bukan hanya tembaga, tapi semua komoditas," kata dia.
Namun, data pendapatan domestik bruto (PDB) China yang dirilis minggu depan bisa menahan laju kenaikan harga tembaga.
Analis Askap Futures, Kiswoyo Adi Joe, juga mengaitkan kenaikan harga tembaga dengan data ekonomi terbaru di AS dan China yang positif. Dua negara itu, memang negara konsumen tembaga terbesar di dunia. "Data manufaktur China yang dikeluarkan HSBC naik dari kisaran 48 menjadi 49, biasanya data dari Pemerintah China juga akan naik di atas level 51," ujar dia.
Sejumlah indikator ekonomi utama di AS, seperti proyeksi PDB, naik ke kisaran 2,4%-2,9%, dari rentang sebelumnya, 2,2%–2,7%. Tingkat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) naik menjadi 1,9%-2%, dari sebelumnya 1,4%–1,8%
Sentimen itu tentu cukup dimaklumi ketika harga tembaga terus naik dalam sepekan ini. "Logam industri, tembaga akan terdorong kondisi pertumbuhan ekonomi yang membaik," ujar Kiswoyo.
Permintaan tembaga, menurut Kiswoyo, secara historis menguat di kuartal kedua. Hal ini disebabkan konsumen menimbun stok tembaga. "Biasanya antisipasi musim dingin, jaga-jaga jika transportasi pengiriman tembaga menjadi sulit," ujar dia.
Permintaan China
Juni Sutikno, analis Philip Futures Indonesia, menyarankan, pemodal seharusnya mewaspadai kenaikan harga tembaga, karena manufaktur di China masih kontraksi.
Zhu Hongren, juru bicara Kementerian Industri dan Teknologi Informasi China, menuturkan, produksi industri di Negeri Tembok Raksasa sedikit naik di kuartal kedua, dibanding kuartal sebelumnya. Namun, "Permintaan secara umum lesu," tutur Zhu, seperti dikutip Bloomberg.
Target pertumbuhan China yang menurun tentu akan mempengaruhi permintaan tembaga dalam jangka panjang. Kondisi itu diramalkan juga akan terjadi di Eropa. Juni menuturkan, sektor industri di Jerman memang sedang meningkat. Namun, kondisi Eropa secara keseluruhan, tetap mengkhawatirkan.
Merujuk ke situasi di China dan Eropa, Juni menduga, laju penguatan harga tembaga akan tertahan di kuartal kedua tahun ini. Dari kacamata teknikal, harga tembaga memang berpotensi naik. "Moving Average (MA) 200 hari sudah tertembus, dan akan mengejar ke MA 300. Arah Bollinger Bands sudah melebar, mengindikasikan pergerakan volatile,” ujar Juni.
Stochastic masih berada di area positif, yang merupakan indikasi tembaga memiliki tenaga untuk naik.
Sampai akhir bulan ini, Juni memperkirakan harga tembaga akan bergerak di kisaran US$ 7.932,60–US$ 8.660,00 per ton. Proyeksi Ibrahim, harga tembaga akan bergerak di rentang US$ 8.200 hingga US$ 8.350 per ton.
Kiswoyo memprediksi setidaknya hingga kuartal III, harga tembaga masih bisa naik hingga US$ 8.500. Untuk jangka pendek, kurang lebih satu bulan, ia memperkirakan harga tembaga akan bergerak antara US$ 8.300 per ton hingga US$ 8.400 per ton.

Pernyataan itu diartikan The Fed berniat mengucurkan paket stimulus lanjutan. Ekspektasi semacam itu menyurutkan pamor dollar AS, dan di sisi yang berlainan, mendongkrak permintaan terhadap aset-aset berisiko.
Kontrak tembaga termasuk yang kembali jadi incaran. Nilai kontrak pengiriman tembaga untuk tiga bulan mendatang di London Metal Exchange, Jumat (27/4), naik 1,4% menjadi US$ 8.320 per ton. Padahal di awal pekan ini harga tembaga sempat koreksi 1,8% jadi US$ 8.045. Pemicu koreksi adalah proyeksi penurunan konsumsi di China. "Pasar tembaga terjaga kenaikannya setelah pernyataan dari The Fed," ujar Natalie Robertson, analis Australia & New Zealand Banking Group Ltd, seperti dikutip Bloomberg (26/4).
Ibrahim, analis Harvest International Futures, mengatakan bahwa pernyataan Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke, merupakan sinyal positif tentang peluncuran stimulus moneter. Berkat pernyataan ini, Ibrahim memperkirakan permintaan tembaga di Amerika naik. "Bukan hanya tembaga, tapi semua komoditas," kata dia.
Namun, data pendapatan domestik bruto (PDB) China yang dirilis minggu depan bisa menahan laju kenaikan harga tembaga.
Analis Askap Futures, Kiswoyo Adi Joe, juga mengaitkan kenaikan harga tembaga dengan data ekonomi terbaru di AS dan China yang positif. Dua negara itu, memang negara konsumen tembaga terbesar di dunia. "Data manufaktur China yang dikeluarkan HSBC naik dari kisaran 48 menjadi 49, biasanya data dari Pemerintah China juga akan naik di atas level 51," ujar dia.
Sejumlah indikator ekonomi utama di AS, seperti proyeksi PDB, naik ke kisaran 2,4%-2,9%, dari rentang sebelumnya, 2,2%–2,7%. Tingkat inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) naik menjadi 1,9%-2%, dari sebelumnya 1,4%–1,8%
Sentimen itu tentu cukup dimaklumi ketika harga tembaga terus naik dalam sepekan ini. "Logam industri, tembaga akan terdorong kondisi pertumbuhan ekonomi yang membaik," ujar Kiswoyo.
Permintaan tembaga, menurut Kiswoyo, secara historis menguat di kuartal kedua. Hal ini disebabkan konsumen menimbun stok tembaga. "Biasanya antisipasi musim dingin, jaga-jaga jika transportasi pengiriman tembaga menjadi sulit," ujar dia.
Permintaan China
Juni Sutikno, analis Philip Futures Indonesia, menyarankan, pemodal seharusnya mewaspadai kenaikan harga tembaga, karena manufaktur di China masih kontraksi.
Zhu Hongren, juru bicara Kementerian Industri dan Teknologi Informasi China, menuturkan, produksi industri di Negeri Tembok Raksasa sedikit naik di kuartal kedua, dibanding kuartal sebelumnya. Namun, "Permintaan secara umum lesu," tutur Zhu, seperti dikutip Bloomberg.
Target pertumbuhan China yang menurun tentu akan mempengaruhi permintaan tembaga dalam jangka panjang. Kondisi itu diramalkan juga akan terjadi di Eropa. Juni menuturkan, sektor industri di Jerman memang sedang meningkat. Namun, kondisi Eropa secara keseluruhan, tetap mengkhawatirkan.
Merujuk ke situasi di China dan Eropa, Juni menduga, laju penguatan harga tembaga akan tertahan di kuartal kedua tahun ini. Dari kacamata teknikal, harga tembaga memang berpotensi naik. "Moving Average (MA) 200 hari sudah tertembus, dan akan mengejar ke MA 300. Arah Bollinger Bands sudah melebar, mengindikasikan pergerakan volatile,” ujar Juni.
Stochastic masih berada di area positif, yang merupakan indikasi tembaga memiliki tenaga untuk naik.
Sampai akhir bulan ini, Juni memperkirakan harga tembaga akan bergerak di kisaran US$ 7.932,60–US$ 8.660,00 per ton. Proyeksi Ibrahim, harga tembaga akan bergerak di rentang US$ 8.200 hingga US$ 8.350 per ton.
Kiswoyo memprediksi setidaknya hingga kuartal III, harga tembaga masih bisa naik hingga US$ 8.500. Untuk jangka pendek, kurang lebih satu bulan, ia memperkirakan harga tembaga akan bergerak antara US$ 8.300 per ton hingga US$ 8.400 per ton.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar