http://www.bisnis.com/articles/pembiayaan-rumah-pengembang-minta-pencairan-kpr-flpp
JAKARTA: Asosiasi pengembang mendesak Kementerian Perumahan Rakyat
segera mencairkan KPR fasilitas likuiditas pembiayaan (FLPP) karena
skema baru yang saat ini sedang digodok bersama bank pelaksana penyalur
KPR FLPP masih membutuhkan waktu yang cukup lama.
Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan tuntutan tersebut disampaikan dengan mempertimbangkan dampak pengehentian penyaluran KPR FLPP telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar dan tidak hanya diderita oleh pengembang, tetapi juga oleh konsumen masyarakat menengah ke bawah dan para pekerja konstruksi di sektor perumahan dan permukiman.
"Para pengembang di beberapa provinsi seperti Jawa Barat sebanyak 2.124 unit, Banten 2.726 unit, Jawa Timur 3.217 unit, Riau, Sumatera Selatan dan Lampung yang rata-rata sebanyak 500 unit rumah sejahtera tapak tertunda untuk akad KPR FLPP," kata Eddy dalam keterangan pers
yang diterima Bisnis, hari ini.
Menurutnya keadaan itu telah mengakibatkan likuiditas keuangan para pengembang yang tergolong mikro - kecil dan menengah menjadi terganggu.
Belum lagi, lanjutnya beban bunga yang harus ditanggung oleh para pengembang dari kredit modal kerja maupun kredit konstruksi yang semestinya bisa dibayar apabila mereka dapat melaksanakan akad kredit.
Dia memaparkan berdasarkan laporan dari DPD – DPD Apersi yang hadir dalam pertemuan konsultasi DPP – DPD Apersi se-Indonesia, nilai bunga dari kredit modal kerja maupun kredit konstruksi yang ditanggung oleh pengembang anggotanya sebesar Rp1 miliar hingga Rp2 miliar setiap provinsi.
“Sementara itu para konsumen yang sudah siap untuk akad, terpaksa tertunda dan bahkan mengundurkan diri, dan terpaksa memperpanjang kontrakan rumahnya,” imbuhnya.(api)
Eddy Ganefo, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) mengatakan tuntutan tersebut disampaikan dengan mempertimbangkan dampak pengehentian penyaluran KPR FLPP telah mengakibatkan kerugian yang sangat besar dan tidak hanya diderita oleh pengembang, tetapi juga oleh konsumen masyarakat menengah ke bawah dan para pekerja konstruksi di sektor perumahan dan permukiman.
"Para pengembang di beberapa provinsi seperti Jawa Barat sebanyak 2.124 unit, Banten 2.726 unit, Jawa Timur 3.217 unit, Riau, Sumatera Selatan dan Lampung yang rata-rata sebanyak 500 unit rumah sejahtera tapak tertunda untuk akad KPR FLPP," kata Eddy dalam keterangan pers
yang diterima Bisnis, hari ini.
Menurutnya keadaan itu telah mengakibatkan likuiditas keuangan para pengembang yang tergolong mikro - kecil dan menengah menjadi terganggu.
Belum lagi, lanjutnya beban bunga yang harus ditanggung oleh para pengembang dari kredit modal kerja maupun kredit konstruksi yang semestinya bisa dibayar apabila mereka dapat melaksanakan akad kredit.
Dia memaparkan berdasarkan laporan dari DPD – DPD Apersi yang hadir dalam pertemuan konsultasi DPP – DPD Apersi se-Indonesia, nilai bunga dari kredit modal kerja maupun kredit konstruksi yang ditanggung oleh pengembang anggotanya sebesar Rp1 miliar hingga Rp2 miliar setiap provinsi.
“Sementara itu para konsumen yang sudah siap untuk akad, terpaksa tertunda dan bahkan mengundurkan diri, dan terpaksa memperpanjang kontrakan rumahnya,” imbuhnya.(api)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar