http://www.bisnis.com/articles/impor-cpo-gapki-nilai-as-lakukan-kampanye-negatif
JAKARTA: Pelaku usaha perkebunan kelapa sawit menilai rencana Amerika
Serikat menutup impor minyak kelapa sawit (CPO) sebagai biofuel sebagai
kampanye negatif terhadap kelapa sawit Indonesia.
Sekertaris Jenderal Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan aturan Amerika Serikat yang menetapkan standar sustainable palm oil tidak berdasarkan data yang jelas. Dia menilai aturan tersebut tidak lebih dari bentuk kampanye negatif terhadap sawit.
“Ini tuh tidak lebih dari kampanye negatif juga. Dari dulu Amerika dan Eropa serang sawit karena menjadi kompetitor mereka dalam perdagangan. Amerika dan Eropa juga melindungi minyak nabati,” katanya kepada wartawan, Selasa 31 Januari 2012.
Joko menjelaskan upaya kampanye hitam itu disebabkan Indonesia menjadi salah satu produsen sawit terbesar dunia.
Gapki memprediksikan ekspor CPO dan produk turunannya pada 2012 naik 6,1%-9,1% menjadi 17,5-18 juta ton dibandingkan dengan realisasi ekspor pada tahun lalu 16,5 juta ton.
Peningkatan ekspor minyak kelapa sawit pada 2011 untuk tujuan Afrika Utara, Timur Tengah, dan Rusia naik sekitar 1 juta ton.
Eskpor minyak kelapa sawit ke China pada tahun lalu naik 20% menjadi 2,9 juta ton dibandingkan dengan 2010 sebanyak 2,4 juta ton.
Ekspor CPO dan produk turunanya ke Eropa pada tahun lalu turun menjadi 3,5 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya 3,7 juta ton.
Ekspor minyak kelapa sawit ke Pakistan pada tahun lalu hanya 120.000-130.000 ton. Padahal, ekspor komoditas itu ke Pakistan pada 2007 mencapai 1 juta ton.
Dia menjelaskan sebenarnya tindakan Amerika ini bukanlah sebuah boikot yang harus dikhawatirkan karena default emisi saving yang ditetapkan Amerika terhadap CPO sebesar 20%. Adapun, menurut mereka emisi CPO Indonesia baru 17%. Penerapan standard itu hampir sama dengan ketatapan Uni Eropa yang menetapkan default emisi saving CPO sebesar 35%, sedangkan CPO baru mencapai 19%.
"Asumsi standar kajian mereka kan berbeda dengan kajian yang dilakukan di Indonesia. Perlu dipertanyakan angka 17% itu. Dasar perhitungan harus diverifikasi,” katanya.
Selama ini, katanya, Amerika dan AS selalu menyerukan kalau kelapa sawit Indonesia ilegal karena ditanam di lahan gambut dan eks hutan. Padahal, usaha sawit Indonesia mendapatkan izin pada bukan kawasan hutan melainkan hutan yang telah rusak. “Asumsi mereka ini salah, kalo benar tidak mungkin. Gambut hanya terpakai tidak sampai sejuta hektare."
Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, hasil riset berasama pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menunjukkan bahwa sawit sebagai bahan baku biofuel mampu mengurangi emisi gas buang 37-49%. "Itu berarti minyak nabati tersebut memenuhi standard pengurangan emisi minimnal 35% yang ditetapkan Uni Eropa," ujar Bayu.
Pemerintah berharap parlemen Uni Eropa bisa mengubah kebijakannya terhadap CPO Indonesia setelah mendapat pemahaman yang benar dan lengkap. Sejak 2010, Uni Eropa berusaha membatasi ekspor CPO untuk biofuel dengan menentukan pengurangan emisi minimal 35%."
Secara bersamaan, Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengatakan pihaknya akan segera melayangkan surat penjelasan kepada Amerika Serikat menanggapi rencana Amerika yang menyatakan akan menghentikan semetara impor kelapa sawit Indonesia karena tidak berkelanjutan.
“Ya kami akan ajukan surat itu segera untuk bisa mempersiapkan kajian hukum yang bisa diperjelas di hadapan pihak AS,” katanya.
Dia menjelaskan Gapki sedang menyiapkan draf penjelasan yang akan di paparkan dihadapan delegasi AS. “Pemerintah nanti bisa mengajukan penjelasan kepada AS berdasarkan rekomendasi dari kami."
Sekjen Gapki Djoko Supriyono mengatakan nota penjelasan itu akan dilayangkan pihaknya pada akhir Februari 2012.
Menurut dia, sebelum memberikan jawaban selama satu bulan ini, pihak mana pun bisa melakukan kajian dampaknya, tidak harus dilakukan oleh negara.
“Asosiasi siapkan nota keberatannya, stake holder juga akan sampaikan penjelasan, Gapki dari segi pelaku usaha dan Asosiasi dari segi petani. Angle-nya kan berbeda. Selain pemerintah yang sampaikan jawaban, kami juga bisa layangkan jawaban sendiri ke pihak AS."
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad menambahkan Indonesia masih memiliki waktu 25 hari untuk memberikan penjelasan mengenai standar Amerika mengenai CPO yang berkelanjutan. “Menurut data pelaku usaha dan pemerintah, CPO Indonesia sudah bisa memenuhi standar GRK [gas rumah kaca], tetapi bagi mereka tidak demikian,” katanya.
Dia juga akan membentuk tim yang akan melakukan kajian mengenai CPO Indonesia. "Kami sudah dua kali membicarakan ini. Tim ini akan kami kirim kesana untuk menjelaskan," kata Asmar.(bas)
Sekertaris Jenderal Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan aturan Amerika Serikat yang menetapkan standar sustainable palm oil tidak berdasarkan data yang jelas. Dia menilai aturan tersebut tidak lebih dari bentuk kampanye negatif terhadap sawit.
“Ini tuh tidak lebih dari kampanye negatif juga. Dari dulu Amerika dan Eropa serang sawit karena menjadi kompetitor mereka dalam perdagangan. Amerika dan Eropa juga melindungi minyak nabati,” katanya kepada wartawan, Selasa 31 Januari 2012.
Joko menjelaskan upaya kampanye hitam itu disebabkan Indonesia menjadi salah satu produsen sawit terbesar dunia.
Gapki memprediksikan ekspor CPO dan produk turunannya pada 2012 naik 6,1%-9,1% menjadi 17,5-18 juta ton dibandingkan dengan realisasi ekspor pada tahun lalu 16,5 juta ton.
Peningkatan ekspor minyak kelapa sawit pada 2011 untuk tujuan Afrika Utara, Timur Tengah, dan Rusia naik sekitar 1 juta ton.
Eskpor minyak kelapa sawit ke China pada tahun lalu naik 20% menjadi 2,9 juta ton dibandingkan dengan 2010 sebanyak 2,4 juta ton.
Ekspor CPO dan produk turunanya ke Eropa pada tahun lalu turun menjadi 3,5 juta ton dibandingkan dengan tahun sebelumnya 3,7 juta ton.
Ekspor minyak kelapa sawit ke Pakistan pada tahun lalu hanya 120.000-130.000 ton. Padahal, ekspor komoditas itu ke Pakistan pada 2007 mencapai 1 juta ton.
Dia menjelaskan sebenarnya tindakan Amerika ini bukanlah sebuah boikot yang harus dikhawatirkan karena default emisi saving yang ditetapkan Amerika terhadap CPO sebesar 20%. Adapun, menurut mereka emisi CPO Indonesia baru 17%. Penerapan standard itu hampir sama dengan ketatapan Uni Eropa yang menetapkan default emisi saving CPO sebesar 35%, sedangkan CPO baru mencapai 19%.
"Asumsi standar kajian mereka kan berbeda dengan kajian yang dilakukan di Indonesia. Perlu dipertanyakan angka 17% itu. Dasar perhitungan harus diverifikasi,” katanya.
Selama ini, katanya, Amerika dan AS selalu menyerukan kalau kelapa sawit Indonesia ilegal karena ditanam di lahan gambut dan eks hutan. Padahal, usaha sawit Indonesia mendapatkan izin pada bukan kawasan hutan melainkan hutan yang telah rusak. “Asumsi mereka ini salah, kalo benar tidak mungkin. Gambut hanya terpakai tidak sampai sejuta hektare."
Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi mengatakan, hasil riset berasama pemerintah Indonesia dan Uni Eropa menunjukkan bahwa sawit sebagai bahan baku biofuel mampu mengurangi emisi gas buang 37-49%. "Itu berarti minyak nabati tersebut memenuhi standard pengurangan emisi minimnal 35% yang ditetapkan Uni Eropa," ujar Bayu.
Pemerintah berharap parlemen Uni Eropa bisa mengubah kebijakannya terhadap CPO Indonesia setelah mendapat pemahaman yang benar dan lengkap. Sejak 2010, Uni Eropa berusaha membatasi ekspor CPO untuk biofuel dengan menentukan pengurangan emisi minimal 35%."
Secara bersamaan, Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengatakan pihaknya akan segera melayangkan surat penjelasan kepada Amerika Serikat menanggapi rencana Amerika yang menyatakan akan menghentikan semetara impor kelapa sawit Indonesia karena tidak berkelanjutan.
“Ya kami akan ajukan surat itu segera untuk bisa mempersiapkan kajian hukum yang bisa diperjelas di hadapan pihak AS,” katanya.
Dia menjelaskan Gapki sedang menyiapkan draf penjelasan yang akan di paparkan dihadapan delegasi AS. “Pemerintah nanti bisa mengajukan penjelasan kepada AS berdasarkan rekomendasi dari kami."
Sekjen Gapki Djoko Supriyono mengatakan nota penjelasan itu akan dilayangkan pihaknya pada akhir Februari 2012.
Menurut dia, sebelum memberikan jawaban selama satu bulan ini, pihak mana pun bisa melakukan kajian dampaknya, tidak harus dilakukan oleh negara.
“Asosiasi siapkan nota keberatannya, stake holder juga akan sampaikan penjelasan, Gapki dari segi pelaku usaha dan Asosiasi dari segi petani. Angle-nya kan berbeda. Selain pemerintah yang sampaikan jawaban, kami juga bisa layangkan jawaban sendiri ke pihak AS."
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad menambahkan Indonesia masih memiliki waktu 25 hari untuk memberikan penjelasan mengenai standar Amerika mengenai CPO yang berkelanjutan. “Menurut data pelaku usaha dan pemerintah, CPO Indonesia sudah bisa memenuhi standar GRK [gas rumah kaca], tetapi bagi mereka tidak demikian,” katanya.
Dia juga akan membentuk tim yang akan melakukan kajian mengenai CPO Indonesia. "Kami sudah dua kali membicarakan ini. Tim ini akan kami kirim kesana untuk menjelaskan," kata Asmar.(bas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar