Rabu, 11 Januari 2012

Risiko dan Potensi Bank Besar bagi Perekonomian

http://www.indonesiafinancetoday.com/read/20605/Risiko-dan-Potensi-Bank-Besar-bagi-Perekonomian

Serangkaian mimpi buruk perekonomian global yang terjadi sekarang ini tidak lain adalah dampak dari kesalahan manajemen institusi finansial berskala besar di negara-negara maju.


Semakin besar ukuran aset, institusi finansial rentan terhadap risiko moral hazard dan efek “too big to fail”. Keyakinan bahwa pemerintah akan menyelamatkan mereka saat mengalami tekanan finansial telah membuat risk taking meningkat, baik dari sisi aset maupun liabilitas, terutama saat siklus ekonomi sedang berada pada fase optimistis (economic boom).

Masalah kemudian muncul ketika pemerintah tidak turun tangan saat bank-bank itu mengalami financial distress sebagai dampak dari penurunan ekonomi (economic burst), sebagaimana The Federal Reserve (Fed) membiarkan Lehman Brothers bangkrut.

Moral hazard Lehman dapat dilihat dari rasio liabilitas terhadap modal (leverage) yang mencapai 29 kali lipat. Sekalipun kerugian Lehman akibat sub-prime mortgage di atas kertas tercatat US$ 13,8 miliar, ekuitasnya tergerus hingga 29 kali lipat seiring rasio leverage-nya. Pada akhir kuartal ketiga 2011, Deutsche Bank kembali memberikan fakta empiris terkait perilaku moral hazard pada bank besar. Rasio leverage Deutsche Bank kini telah melebihi 44 kali lipat, menempatkannya sebagai salah satu dari 10 sumber risiko finansial terbesar dari negara maju pada 2012.

Jadi, rendahnya rasio modal atau tingginya leverage adalah akar masalahnya. Pada grafik berikut, bank-bank besar yang kolaps pada 2008 atau paling tidak mengalami financial distress, adalah mereka yang mempunyai rasio leverage relatif lebih tinggi, seperti Lehman Brothers, Bear Sterns, Goldman Sachs, Merrill Lynch, atau Morgan Stanley. Sebaliknya, Bank of America dan JP Morgan dengan rasio leverage yang relatif lebih rendah bertahan dalam gejolak dan bahkan mengakuisisi Merril Lynch dan Bear Sterns yang mengalami financial distress.

Bank-bank besar tersebut kini menyadari pentingnya rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio), namun lagi-lagi di saat yang tidak tepat. Saat ekonomi berada pada siklus turun, peran perbankan sangat dibutuhkan. Namun, bank-bank besar itu saat ini justru bersifat prosiklis (atau memperdalam siklus turun) dengan meningkatkan rasio kecukupan modal dan mengurangi aliran kredit di saat sektor-sektor riil membutuhkan dukungan pendanaan. Pemulihan ekonomi pun berjalan lambat.


Bank Besar Indonesia
Sementara bank-bank besar di negara maju identik dengan moral hazard di saat economic boom, dan bersifat prosiklis saat economic burst, tidak demikian halnya di negara berkembang, khususnya Indonesia.

Pada Oktober 2011, rata-rata rasio modal pada bank-bank komersial di Indonesia mencapai level 17% di saat minimum capital requirement hanya 8%. Capital buffer dan rasio leverage yang terkontrol menunjukkan bahwa perbankan bersikap hati-hati (prudent). Bahkan, bank-bank besar lebih prudent daripada bank-bank kecil (Kajian Stabilitas Keuangan BI, September 2010).

Semakin besar ukuran aset, perilaku bank semakin berhati-hati dengan cara meningkatkan capital buffer di saat siklus ekonomi sedang naik (boom). Dan saat siklus ekonomi sedang turun (burst), mereka menurunkan capital buffer untuk membantu pemulihan ekonomi melalui aliran kredit yang meningkat.

Secara empiris, risiko moral hazard di Indonesia yang berasal dari ukuran aset suatu bank cenderung minimal. Namun ada faktor lain yang dapat memicu moral hazard di perbankan Asia termasuk Indonesia, yaitu struktur pasar yang oligopolistik (Soedarmono, W, Machrouh, F, dan Tarazi, A, 2011. Bank market power, economic growth and financial stability: Evidence from Asian banks. Journal of Asian Economics 22(6)). Struktur pasar yang oligopolistik selain meningkatkan risiko insolvabilitas pada bank juga berdampak pada inefisiensi pasar perbankan.

Mengoptimalkan Bank
Struktur pasar perbankan di Indonesia bersifat oligopolistik, sehingga bank-bank besar yang beroperasi di dalamnya masih akan terkena imbasnya. Proses intermedasi masih akan terhambat karena inefisiensi dan bunga kredit yang tinggi.

Bank-bank besar tentu masih dapat memaksimalkan perannya dalam perekonomian dengan lebih efisien, yaitu pada pasar kredit yang sesuai dengan karakteristik organisasi mereka. Bank-bank besar dengan struktur organisasi yang kompleks akan mengalami masalah ketika masuk ke sektor-sektor berskala kecil seperti Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Bank-bank besar lebih mengandalkan hard information yang bersifat kuantitatif dan mekanisme intermediasi yang bersifat transactional lending, sedangkan informasi pada sektor UKM lebih bersifat kualitatif (soft information) melalui mekanisme relationship lending. Sebagai dampaknya, bank-bank besar semakin tidak efisien jika masuk ke dalam pasar kredit UKM, sebab biaya untuk menerapkan relationship lending akan sangat tinggi.

Pasar kredit dengan proyek berskala besar seperti infrastruktur dan perusahaan besar berbasis ekspor/impor adalah pasar ideal bagi institusi perbankan berukuran besar. Kedua pasar kredit itu adalah pilar penting bagi Indonesia.

Konektivitas wilayah melalui penguatan infrastruktur adalah faktor penentu pertumbuhan yang berkualitas, sementara sektor riil yang berbasis ekspor (sektor tradable) seperti manufaktur masih ditinggalkan oleh perbankan kita yang lebih memilih sektor non-tradable. Padahal sektor manufaktur menyumbang lapangan kerja yang berkualitas.

Pasar kredit yang tersegmentasi berdasarkan ukuran aset pada bank-bank komersial dapat menjadi sebuah strategi bagi bank-bank besar untuk lebih memainkan perannya mendorong perekonomian melalui sektor-sektor ekonomi yang berskala besar. Secara bersamaan, bank-bank kecil dapat terus mendorong pertumbuhan sektor-sektor ekonomi kecil dan lokal dalam usaha pengentasan kemiskinan.

Segmentasi pasar kredit pada akhirnya meningkatkan kompetisi antarbank besar, begitu juga antarbank kecil. Namun bukan kompetisi antara bank besar dan bank kecil, yang membuat bank-bank kecil terpinggirkan, dan bank-bank besar semakin mendapatkan kekuatan monopoli yang juga berarti akan meningkatkan risiko moral hazard pada bank-bank besar. Kita tentu tidak ingin mengulangi kesalahan bank-bank besar di negara maju dengan moral hazard-nya. (*)

Wahyoe Soedarmono
Pengamat Ekonomi Keuangan dan Kebijakan Publik. Lulusan program Doktoral Ilmu Ekonomi dari Universite de Limoges, Perancis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar