http://www.indonesiafinancetoday.com/read/21320/LPS-Akan-Bedakan-Premi-Berdasarkan-Risiko-
LPS menetapkan premi kepada bank peserta penjaminan sebesar 0,2% dari dana simpanan yang dijamin. (IFT/DINUL MUBAROK)
JAKARTA (IFT) – Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS) akan mengkaji sistem perbedaan atau diferensiasi
nilai premi penjaminan berdasarkan risiko perbankan peserta penjaminan.
Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif LPS, menjelaskan perbedaan premi
risiko tersebut agar lebih adil bagi bank yang mempunyai kinerja dan
tingkat kesehatan baik.
Saat ini, LPS menetapkan premi kepada bank peserta penjaminan sebesar 0,2% dari dana simpanan yang dijamin. Menurut Firdaus, penetapan premi idealnya berbeda-beda sesuai dengan risiko perbankan yang berlaku baik oleh bank-bank kecil maupun bank-bank besar. LPS memperkirakan dalam dua tahun-tiga tahun ke depan sistem ini bisa diterapkan. LPS harus berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengubah premi peserta penjaminan dari flat ke diferensiasi.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI khawatir jika premi berdasarkan risiko tersebut diterapkan akan membuat nasabah mengetahui risiko masing-masing bank. LPS saat ini tengah melakukan kajian dengan perbankan agar diferensiasi premi bisa secepatnya diterapkan. Kerahasiaan premi masing-masing bank akan tetap dijaga agar nasabah tidak mengetahui risiko yang dimiliki setiap bank.
Firdaus mengungkapkan penilaian risiko tidak dilihat berdasarkan besar atau kecilnya aset suatu bank. Bobot penilaian lebih dilihat dari rasio keuangan dan manajemen perbankan yang kemudian dirangkum menjadi sebuah pemeringkatan (rating). “Kadang-kadang ada bank-bank yang cabangnya di pelosok-pelosok, itu kami tidak tahu risikonya seperti apa. Setiap bank berbeda,” tuturnya.
LPS sebelumnya melakukan sejumlah simulasi penilaian berdasar risiko. Perbedaan premi antara bank berisiko paling rendah dan yang paling tinggi tidak boleh lebih dari 0,5 per mil. “Bank yang bagus hanya 0,1 per mil setahun, maka bank yang terburuk 0,4 per mil, pokoknya tidak boleh lebih dari 0,5 per mil,” kata Firdaus.
Penerapan premi berdasar tingkat risiko ini memerlukan pemeringkatan bank yang dilakukan secara transparan. LPS akan berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk penilaian risiko perbankan.
Sigit Pramono, Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), mengatakan sebenarnya bank-bank besar tidak menginginkan tarif premi flat yang diterapkan saat ini. Bank-bank besar menghimpun dana dari masyarakat lebih banyak dan memiliki risiko lebih rendah dibanding bank kecil namun mereka membayar tarif yang sama.
LPS seharusnya menerapkan prisip keadilan bagi bank yang telah menerapkan manajemen yang baik dan memiliki tingkat kesehatan bagus. "Bank besar harus bayar premi lebih besar dari bank kecil padahal dari segi risiko gagal bayar dana nasabah lebih tinggi di bank kecil. LPS harus adil,” kata Sigit.
Daniel Budirahaju, Direktur Bank Mega Tbk (MEGA), mengungkapkan jika premi LPS ditetapkan sesuai risiko perbankan, perhitungan akan menjadi lebih adil. “Tetapi kami harus melihat lembaga pemeringkatnya dulu, apakah LPS sendiri atau lembaga pemeringkat independen seperti PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) atau Fitch Ratings,” jelasnya kepada IFT. Acuan yang ditetapkan untuk mengukur risiko tersebut juga harus jelas bagi perbankan.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia TBK (BBCA), menuturkan perbankan besar dan sehat menyambut baik acuan premi penjaminan yang disesuaikan dengan risiko bank. Perbankan akan lebih efisien jika biaya premi bisa lebih rendah.
Hingga Desember 2011, total pendapatan premi LPS mencapai Rp 5,03 triliun, yang terdiri atas premi penjaminan bank umum sebesar 99% atau Rp 4,95 triliun dan premi penjaminan BPR Rp 74,21 miliar.
Suku Bunga Riil
Selain mengkaji penerapan premi berdasarkan risiko, saat ini LPS sedang berdiskusi dengan Bank Indonesia mengenai penetapan bunga penjaminan. BI meminta bunga penjaminan LPS lebih rendah lagi sehingga dapat menurunkan cost of fund bank dan berdampak pada penurunan bunga kredit.
Firdaus mengatakan penetapan bunga penjaminan LPS tidak dapat di bawah BI Rate karena acuan tersebut dianggap sebagai rata-rata pasar. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebenarnya tidak menyatakan secara khusus bahwa bunga penjaminan harus ditetapkan di atas BI Rate.
Ia mengakui pihaknya selama ini kesulitan mencari tahu bunga riil yang dibayar bank kepada masing-masing nasabah, terutama nasabah besar. Padahal, acuan itu penting untuk mengetahui rata-rata bunga di pasar.
Saat ini, tercatat hanya 136.890 nasabah memiliki rekening deposito dengan nilai nominal di atas Rp 2 miliar. Namun, nilai simpanan mereka mencapai 50,75% atau Rp 1.436,45 dari total dana nasabah di perbankan Rp 2.830,32 triliun.
LPS hingga saat ini masih melakukan pembicaraan dengan Bank Indonesia untuk menemukan solusi terkait besaran bunga penjaminan. Firdaus menyadari faktor utama penurunan bunga kredit adalah pengurangan cost of fund.
Ia mengakui sebelum 2008 bunga penjaminan LPS pernah di bawah BI Rate. Hal itu disebabkan BI Rate juga sangat tinggi, yaitu menyentuh 11% karena menyesuaikan tingkat inflasi saat itu. “Pada waktu itu, perbankan pun merasa bahwa BI Rate sudah terlalu tinggi, makanya acuan bunga penjaminan LPS di bawah itu,” tegas Firdaus.
Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, mengatakan suku bunga penjaminan LPS turut mempengaruhi tingginya suku bunga kredit. Keberadaan bunga deposito yang di atas BI Rate karena mengikuti bunga penjaminan membuat beban biaya dana bank tetap tinggi. Saat ini, bunga penjaminan LPS sebesar 6,5% untuk dana dalam rupiah atau 50 basis poin di atas BI Rate yang sebesar 6%. (*)
Saat ini, LPS menetapkan premi kepada bank peserta penjaminan sebesar 0,2% dari dana simpanan yang dijamin. Menurut Firdaus, penetapan premi idealnya berbeda-beda sesuai dengan risiko perbankan yang berlaku baik oleh bank-bank kecil maupun bank-bank besar. LPS memperkirakan dalam dua tahun-tiga tahun ke depan sistem ini bisa diterapkan. LPS harus berkonsultasi dengan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengubah premi peserta penjaminan dari flat ke diferensiasi.
Sementara itu, anggota Komisi XI DPR RI khawatir jika premi berdasarkan risiko tersebut diterapkan akan membuat nasabah mengetahui risiko masing-masing bank. LPS saat ini tengah melakukan kajian dengan perbankan agar diferensiasi premi bisa secepatnya diterapkan. Kerahasiaan premi masing-masing bank akan tetap dijaga agar nasabah tidak mengetahui risiko yang dimiliki setiap bank.
Firdaus mengungkapkan penilaian risiko tidak dilihat berdasarkan besar atau kecilnya aset suatu bank. Bobot penilaian lebih dilihat dari rasio keuangan dan manajemen perbankan yang kemudian dirangkum menjadi sebuah pemeringkatan (rating). “Kadang-kadang ada bank-bank yang cabangnya di pelosok-pelosok, itu kami tidak tahu risikonya seperti apa. Setiap bank berbeda,” tuturnya.
LPS sebelumnya melakukan sejumlah simulasi penilaian berdasar risiko. Perbedaan premi antara bank berisiko paling rendah dan yang paling tinggi tidak boleh lebih dari 0,5 per mil. “Bank yang bagus hanya 0,1 per mil setahun, maka bank yang terburuk 0,4 per mil, pokoknya tidak boleh lebih dari 0,5 per mil,” kata Firdaus.
Penerapan premi berdasar tingkat risiko ini memerlukan pemeringkatan bank yang dilakukan secara transparan. LPS akan berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk penilaian risiko perbankan.
Sigit Pramono, Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), mengatakan sebenarnya bank-bank besar tidak menginginkan tarif premi flat yang diterapkan saat ini. Bank-bank besar menghimpun dana dari masyarakat lebih banyak dan memiliki risiko lebih rendah dibanding bank kecil namun mereka membayar tarif yang sama.
LPS seharusnya menerapkan prisip keadilan bagi bank yang telah menerapkan manajemen yang baik dan memiliki tingkat kesehatan bagus. "Bank besar harus bayar premi lebih besar dari bank kecil padahal dari segi risiko gagal bayar dana nasabah lebih tinggi di bank kecil. LPS harus adil,” kata Sigit.
Daniel Budirahaju, Direktur Bank Mega Tbk (MEGA), mengungkapkan jika premi LPS ditetapkan sesuai risiko perbankan, perhitungan akan menjadi lebih adil. “Tetapi kami harus melihat lembaga pemeringkatnya dulu, apakah LPS sendiri atau lembaga pemeringkat independen seperti PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) atau Fitch Ratings,” jelasnya kepada IFT. Acuan yang ditetapkan untuk mengukur risiko tersebut juga harus jelas bagi perbankan.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur PT Bank Central Asia TBK (BBCA), menuturkan perbankan besar dan sehat menyambut baik acuan premi penjaminan yang disesuaikan dengan risiko bank. Perbankan akan lebih efisien jika biaya premi bisa lebih rendah.
Hingga Desember 2011, total pendapatan premi LPS mencapai Rp 5,03 triliun, yang terdiri atas premi penjaminan bank umum sebesar 99% atau Rp 4,95 triliun dan premi penjaminan BPR Rp 74,21 miliar.
Suku Bunga Riil
Selain mengkaji penerapan premi berdasarkan risiko, saat ini LPS sedang berdiskusi dengan Bank Indonesia mengenai penetapan bunga penjaminan. BI meminta bunga penjaminan LPS lebih rendah lagi sehingga dapat menurunkan cost of fund bank dan berdampak pada penurunan bunga kredit.
Firdaus mengatakan penetapan bunga penjaminan LPS tidak dapat di bawah BI Rate karena acuan tersebut dianggap sebagai rata-rata pasar. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebenarnya tidak menyatakan secara khusus bahwa bunga penjaminan harus ditetapkan di atas BI Rate.
Ia mengakui pihaknya selama ini kesulitan mencari tahu bunga riil yang dibayar bank kepada masing-masing nasabah, terutama nasabah besar. Padahal, acuan itu penting untuk mengetahui rata-rata bunga di pasar.
Saat ini, tercatat hanya 136.890 nasabah memiliki rekening deposito dengan nilai nominal di atas Rp 2 miliar. Namun, nilai simpanan mereka mencapai 50,75% atau Rp 1.436,45 dari total dana nasabah di perbankan Rp 2.830,32 triliun.
LPS hingga saat ini masih melakukan pembicaraan dengan Bank Indonesia untuk menemukan solusi terkait besaran bunga penjaminan. Firdaus menyadari faktor utama penurunan bunga kredit adalah pengurangan cost of fund.
Ia mengakui sebelum 2008 bunga penjaminan LPS pernah di bawah BI Rate. Hal itu disebabkan BI Rate juga sangat tinggi, yaitu menyentuh 11% karena menyesuaikan tingkat inflasi saat itu. “Pada waktu itu, perbankan pun merasa bahwa BI Rate sudah terlalu tinggi, makanya acuan bunga penjaminan LPS di bawah itu,” tegas Firdaus.
Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, mengatakan suku bunga penjaminan LPS turut mempengaruhi tingginya suku bunga kredit. Keberadaan bunga deposito yang di atas BI Rate karena mengikuti bunga penjaminan membuat beban biaya dana bank tetap tinggi. Saat ini, bunga penjaminan LPS sebesar 6,5% untuk dana dalam rupiah atau 50 basis poin di atas BI Rate yang sebesar 6%. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar