JAKARTA. Implementasi perubahan
Undang Undang (UU) Perpajakan menimbulkan permasalahan antara industri
perbankan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kedua pihak berbeda
tafsir atas beberapa pasal yang termaktub dalam UU Ketentuan Umum
Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh) dan UU Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN).
Ketua Bidang Hukum dan Good Corporate Governance (GCG)
Persatuan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Herwidayatmo menyampaikan
beberapa poin yang beda tafsir tersebut. Antara lain, apakah bank dapat
membebankan biaya pencadangan penghapusan kredit dalam perhitungan PPh
perusahaan, termasuk biaya pencadangan atas kredit yang dihapusbukukan.
"Jika ya, bagaimana prosedur perhitungannya; apakah sama dengan
ketentuan Bank Indonesia (BI) dalam menghitung Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP)," kata Wakil Direktur Utama Bank Permata itu,
Kamis (10/11).
Pencadangan tidak menguntung bank, tetapi
perbankan wajib membayar pajak. Sehingga, dalam jangka panjang,
mempengaruhi pendapatan, dan laba bank cenderung menipis. "Nilai
penurunan pendapatan tergantung dari pencadangan masing-masing bank,"
tutur Direktur Kepatuhan Bank Danamon, Fransiska Oei Fransiska.
Menurut Perbanas, bank sebaiknya boleh
membentuk cadangan penghapusan kredit sesuai Pasal 9 UU PPh. Mekanisme
mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 tahun 2009. Ini lebih
rasional. Informasi aja, cadangan penghapusan kredit adalah cara bank
mengantisipasi berbagai faktor risiko yang bisa berdampak ke kredit.
Beda tafsir lain, soal kewajiban bank
mencantumkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) debitur kecil dengan
pinjaman dibawah Rp 50 juta. Menurut UU pajak, bank yang tidak dapat
melengkapi NPWP debitur akan terkena PPh 25%. Padahal, kewajiban
memiliki NPWP adalah tanggungjawab pribadi dan tidak dapat dikaitkan
dengan proses pemberian kredit.
Herwidayatmo menambahkan, selisih pajak antar
pemerintah dan bank adalah hal yang wajar. "Antara wajib pajak dengan
soal aturan pajak memang kerap kali merasa tidak cocok, sehingga sering
dibawa ke sengketa," katanya. Kalaupun harus masuk pengadilan, semuanya
bisa terselesaikan dengan mudah.
Ia mencontohkan, jika terjadi ketidakcocokkan
dalam wajib bayar pajak. Opsi jalan keluarnya, apakah bank perlu
membayar dulu baru kemudian diperiksa atau sebaliknya. "Jika dalam
pemeriksaan tidak cocok, bisa naik ke pengadilan pajak nanti baru
diputuskan bagaimana mekanismenya," katanta.
Di sisi lain, ia juga meminta ma-syarakat tidak
langsung menuding perbedaan penghitungan pajak sebagai bentuk
pengemplangan. Karena di negara manapun, pasti muncul kasus pajak.
Deddi Rudaedi, Direktur Humas Pajak mengatakan,
secara umum wajib pajak tidak dapat mencadangkan piutang tak tertagih,
kecuali perbankan. Hal ini karena ada risiko piutang tidak tertagih
untuk perhitungan pajak cadangan.
Nah, yang tidak terpakai dikembalikan sebagai
penghasilan dan tentu menjadi obyek pajak penghasilan. Karena sudah ada
undang-undang yang berlaku, tidak perlu lagi solusi aturan pencadangan
dan NPWP bagi para debitur yang pajaknya ditangguhkan ke bank.
mohon dijawab ya pak,
BalasHapus1. apakah bila terjadi hapus buku kredit, ckpn yg dikembalikan tsb akan dikenakan pajak?
2. atas kredit yg dihapus buku tersebut, bila dimasa depan terjadi pelunasan, apakah nilai pelunasan tersebut tidak dikenakan pajak lagi, mengingat pada saat penghapusan kredit tersebut sudah dikenakan pajak (sesuai poin 1)?