Senin, 14 November 2011

Aturan pajak multitafsir, industri perbankan merasa dirugikan

Aturan pajak multitafsir, industri perbankan merasa dirugikan
JAKARTA. Implementasi perubahan Undang Undang (UU) Perpajakan menimbulkan permasalahan antara industri perbankan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kedua pihak berbeda tafsir atas beberapa pasal yang termaktub dalam UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP), UU Pajak Penghasilan (UU PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).
Ketua Bidang Hukum dan Good Corporate Governance (GCG) Persatuan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Herwidayatmo menyampaikan beberapa poin yang beda tafsir tersebut. Antara lain, apakah bank dapat membebankan biaya pencadangan penghapusan kredit dalam perhitungan PPh perusahaan, termasuk biaya pencadangan atas kredit yang dihapusbukukan. "Jika ya, bagaimana prosedur perhitungannya; apakah sama dengan ketentuan Bank Indonesia (BI) dalam menghitung Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)," kata Wakil Direktur Utama Bank Permata itu, Kamis (10/11).

Pencadangan tidak menguntung bank, tetapi perbankan wajib membayar pajak. Sehingga, dalam jangka panjang, mempengaruhi pendapatan, dan laba bank cenderung menipis. "Nilai penurunan pendapatan tergantung dari pencadangan masing-masing bank," tutur Direktur Kepatuhan Bank Danamon, Fransiska Oei Fransiska.
Menurut Perbanas, bank sebaiknya boleh membentuk cadangan penghapusan kredit sesuai Pasal 9 UU PPh. Mekanisme mengacu ke Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 tahun 2009. Ini lebih rasional. Informasi aja, cadangan penghapusan kredit adalah cara bank mengantisipasi berbagai faktor risiko yang bisa berdampak ke kredit.
Beda tafsir lain, soal kewajiban bank mencantumkan nomor pokok wajib pajak (NPWP) debitur kecil dengan pinjaman dibawah Rp 50 juta. Menurut UU pajak, bank yang tidak dapat melengkapi NPWP debitur akan terkena PPh 25%. Padahal, kewajiban memiliki NPWP adalah tanggungjawab pribadi dan tidak dapat dikaitkan dengan proses pemberian kredit.
Herwidayatmo menambahkan, selisih pajak antar pemerintah dan bank adalah hal yang wajar. "Antara wajib pajak dengan soal aturan pajak memang kerap kali merasa tidak cocok, sehingga sering dibawa ke sengketa," katanya. Kalaupun harus masuk pengadilan, semuanya bisa terselesaikan dengan mudah.
Ia mencontohkan, jika terjadi ketidakcocokkan dalam wajib bayar pajak. Opsi jalan keluarnya, apakah bank perlu membayar dulu baru kemudian diperiksa atau sebaliknya. "Jika dalam pemeriksaan tidak cocok, bisa naik ke pengadilan pajak nanti baru diputuskan bagaimana mekanismenya," katanta.
Di sisi lain, ia juga meminta ma-syarakat tidak langsung menuding perbedaan penghitungan pajak sebagai bentuk pengemplangan. Karena di negara manapun, pasti muncul kasus pajak.
Deddi Rudaedi, Direktur Humas Pajak mengatakan, secara umum wajib pajak tidak dapat mencadangkan piutang tak tertagih, kecuali perbankan. Hal ini karena ada risiko piutang tidak tertagih untuk perhitungan pajak cadangan.
Nah, yang tidak terpakai dikembalikan sebagai penghasilan dan tentu menjadi obyek pajak penghasilan. Karena sudah ada undang-undang yang berlaku, tidak perlu lagi solusi aturan pencadangan dan NPWP bagi para debitur yang pajaknya ditangguhkan ke bank.

1 komentar:

  1. mohon dijawab ya pak,
    1. apakah bila terjadi hapus buku kredit, ckpn yg dikembalikan tsb akan dikenakan pajak?
    2. atas kredit yg dihapus buku tersebut, bila dimasa depan terjadi pelunasan, apakah nilai pelunasan tersebut tidak dikenakan pajak lagi, mengingat pada saat penghapusan kredit tersebut sudah dikenakan pajak (sesuai poin 1)?

    BalasHapus