JAKARTA: Indonesia harus segera menyusun Protokol Manajemen Krisis
tingkat Nasional. Hal ini dianggap dapat memperkuat koordinasi antara
otoritas moneter dan keuangan saat mengantisipasi dan menghadapi krisis.
Perry Warjito, Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank
Indonesia, mengakui protokol manajemen krisis di Bank Indonesia sudah
ada untuk operasi moneter, sedangkan di Kementerian Keuangan juga sudah
ada untuk pasar obligasi juga sudah ada.
"Yang belum ada, sistem yang integrated," ujarnya dalam seminar bertajuk Krisis Keuangan Amerika Serikat & Eropa serta Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia hari ini.
Perry juga memaparkan perlunya Protokol Manajemen Krisis Nasional agar
masing-masing institusi dapat berkoordinasi dengan lebih baik saat
mengantisipasi dan menghadapi krisis ekonomi.
"Masing masing institusi itu berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada
protokol manajemen krisis secara nasional, sehingga intensitas krisis
akan menentukan seberapa jauh kita mampu menahan kritis," tegasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Perdana Wahyu, Direkrtur Riset Ekonomi dan Keuangan Sabang Merauke Circle.
Menurutnya, critical point dalam situasi krisis adalah
koordinasi antara Kemenkeu, BI dan pelaku usaha agar dapat menentukan
kebijakan yang tepat bagi penanganan krisis.
"Salah satu bentuk koordinasi itu adalah protokol manajemen krisis nasional," tutur Wahyu.
Terkait potensi krisis global dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia
2012, Perry menyarankan agar pemerintah lebih dulu mengkaji potensi
dampak yang akan terjadi di Indonesia.
Krisis global, tambah Perry, berpotensi menimbulkan dampak menurunnya
volume dan nilai transaksi ekspor, menurunnya tingkat inflasi, dan
menurunnya produk domestik bruto.
"Untuk itu, pemerintah perlu memberikan stimulus ekonomi untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi dari dalam. Utamanya melalui investasi,
termasuk di dalamnya kebijakan untuk substitusi impor," katanya. (sut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar