Selasa, 20 September 2011

Ketahanan Pangan

Oleh KH Said Aqiel Siradj

Krisis pangan telah menjadi momok dunia, tak terkecuali dirasakan negeri kita yang sudah masuk dalam daftar negara krisis pangan. Padahal, dulu Indonesia dikenal dengan negara agraris dengan luasnya lahan pertanian. Ada pepatah Arab, "Al-fallaahu sayyidul bilaadi wa maalikuhu al-haqiiqi," seorang petani adalah tuan dari sebuah negara dan pemilik wilayah yang sesungguhnya. 

Bidang pertanian menjadi salah satu dari sekian lahan pekerjaan halal yang amat diutamakan dalam Islam. "Kami menjadikan (di atas muka bumi ini tempat yang sesuai untuk dibuat) ladang-ladang kurma dan anggur. Kami pancarkan banyak mata air (di situ). Tujuannya supaya mereka boleh mendapat rezeki daripada hasil tanaman tersebut dan tanam-tanaman lain yang mereka usahakan. Adakah mereka berasa tidak perlu bersyukur?" (QS Yasin: 34-35). "Tidaklah seorang muslim menanam tanaman apa pun atau bertani dengan tumbuhan apa pun, lalu tanaman tersebut dimakan oleh oleh manusia, atau binatang melata, atau sesuatu yang lain, kecuali hal itu akan bernilai sedekah untuknya." (HR Muslim).

Menurut Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab (tt), hadis tersebut merupakan penjelasan mengenai fadhilah  bertani dan ganjaran bagi orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat selagi tanaman itu masih kekal. Karenanya, bagi al-Nawawi, pertanian merupakan pekerjaan yang paling afdhal dan diridhai oleh Allah. Dalam berbagai kitab fikih, sedari dini sudah dirumuskan berbagai hal menyangkut pertanian. Ini bisa kita lihat dalam perumusan soal zakat pertanian, akad muzara'ah, dan juga keutamaan bertani.

Pada masa Rasulullah membangun Madinah, urusan keadilan pangan tidak lepas dari perhatiannya. Dalam banyak rujukan standar, salah satunya kitab I'anatuth Tholibin, karya Sayyid al-Bakri (tt), disebut bagaimana ketegasan Nabi terhadap potensi ketidakadilan pangan karena ulah penimbunan yang menyebabkan melambungnya harga sehingga banyak rakyat tidak mampu membeli makanan. Nabi menyebut para penimbun (muhtakir) itu sebagai dosa besar dan dikutuk oleh Allah.

Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (2001), menjelaskan, hak orang miskin atas orang kaya, ukurannya sejumlah apa yang memenuhi kebutuhan pokok mereka (berupa sandang, pangan, dan papan) serta kebutuhan pokok lainnya yang amat diperlukan oleh manusia supaya ia hidup layak sebagai manusia.

Islam mewajibkan negara menjalankan kebijakan makro dengan menjalankan politik ekonomi. Politik ekonomi yang berkait dengan pemenuhan pangan adalah penerapan berbagai kebijakan yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.

Dalam kaidah fikih dikatakan, "Tasharruf al-imam 'ala al-raiyah manutun bi al-maslahah," tugas seorang pemimpin terhadap rakyatnya adalah memberikan kemaslahatan. Indonesia adalah bagian bumi yang terhijau. Kekayaan alamnya terhampar nan memesona. Semoga kita bisa mendorong kebijakan yang pro pertanian demi mewujudkan ketahanan pangan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar