Oleh: Makmun Syadullah
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Tulisan ini adalah pendapat pribadi
Kontan, 4 Juli 2011
Bank Dunia memprediksi Indonesia sebelum tahun 2025 dapat sejajar dengan kelompok BRIC atau negara-negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, yaitu Brasil, Rusia, India, dan Cina. Hal ini sejalan dengan proyeksi yang dilakukan oleh Global Development Horizon 2011 bahwa ekonomi BRIC dan Indonesia akan tumbuh rata-rata 4,7 persen per tahun sampai 2025. Sementara negara maju diprediksi hanya tumbuh 2,3 persen per tahun meskipun Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang akan tetap memainkan peran di ekonomi global.
Menurut Ekonom Kepala Bank Dunia Mansoor Dailami, Indonesia memiliki tiga sumber potensial untuk mengejar negara-negara, modal demografis, stabilitas demokrasi, dan sumber daya alam. Meski memiliki potensi untuk sejajar dengan BRIC, menurut Mansoor Indonesia memerlukan kemauan politik untuk membuat suatu perubahan. Masih banyak yang harus dilakukan Indonesia, begitu juga Cina, India, dan Rusia, untuk memainkan peranan barunya di tingkat global dalam memperkuat ekonominya. Sementara itu menurut Stefan Koeberle, perwakilan World Bank di Indonesia, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia tergolong cepat, mencapai tujuh juta orang per tahun. Ini dapat mendorong tren pertumbuhan konsumsi dan menjadi sumber pertumbuhan global.
Kualiatas Pertumbuhan
Dari sisi potensi, Indonesia memang sangat memungkinkan pertumbuhan ekonominya akan menyamai kelompok BRIC, namun permasalahannya bukan hanya sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi. Saat ini Indonesia dihadapkan masalah kualitas pertumbuhan. Apalah artinya pertumbuhan ekonomi yang tingi, akan tetapi tidak diimbangi dengan kualitas.
Harus kita akui bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi sejak krisis 1998 belum memuaskan. Pertumbuhan ekonomi yang sebelum krisis didorong oleh investasi dan produksi manufaktur, kini lebih didominasi oleh konsumsi masyarakat. Hal ini diperparah dengan rendahnya penyerapan anggaran belanja. Disamping itu rendahnya peran belanja pemerintah juga sebagai akibat runag fiscal yang terbatas untuk mengefektifkan penggunaan anggaran. APBN kini dalam posisi tersandra pada belanja mengikat seperti subsidi, pembayaran bunga utang dan belanja pegawai yang jauh di atas belanja modal. Akibatnya daya dorong APBN terhadap pertumbuhan ekonomi juga kurang maksimal.
Sebagai akumulasi pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas, kini Indonesia kini dihadapkan pada tingkat pengangguran yang cukup meresahkan. Ini sejalan dengan penilaian Gustav F. Papanek, Presiden Boston Institute for Developing Economies, bahwa masalah terbesar dalam perekonomian Indonesia adalah pengangguran. Indonesia dihadapkan pada masalah terselubung, yaitu pertumbuhan tanpa pekerjaan.
Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal April yang lalu dapat menggambarkan tingginya tingkat pengangguran. Menurut BPS sebanyak 60,5 persen pemuda usia 16 tahun hingga 20 tahun di seluruh provinsi di Indonesia tidak memiliki pekerjaan tetap, atau pengangguran. Sedangkan apabila pendataan juga dilakukan terhadap pemuda hingga usia 30 tahun, angkanya bisa lebih dari 60,5%. Data ini didasarkan pada hasil survey BPS tahun 2008 dan untuk tahun 2010 diperkirakan komposisi ini tidak mengalami perubahan.
Solusi ke depan
Sebagai rakyat Indonesia, tentunya kita bangga apabila pertumbuhan ekonomi Indonesia setara dengan kelompok BRIC, namun harus diimbangi dengan kualitas pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi harus diikuti pula dengan peningkatan kesejahteraan dan penyerapan lapangan kerja. Beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk mewujudkan pertumbuhan yang berkualitas antara lain adalah: Pertama, pemerintah harus menfokuskan atau menggenjot sektor-sektor ysng berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja.
Selama ini tingginya pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum ditopang oleh sektor-sektor yang berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Sekedar contoh sektor pengangkutan dan komunikasi tumbuh 13,8 persen. Sektor perdagangan hotel dan restoran tumbuh 7,9 persen, sedangkan untuk sektor yang berbasis sumber daya alam dan daya serap tenaga kerja besar pertumbuhannya belum signifikan.
Kedua, pemerintah harus memperbesar porsi alokasi belanja modal dan menekan alokasi belanja mengikat. Dengan komposisi belanja modal yang lebih besar diharapkan perekonomian terakselerasi lebih tinggi., sehingga pertumbuhan juga lebih berkualitas. Tentunya ini tidak mudah, pemerintah dan DPR harus memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Sekarang ini pemerintah tersandera oleh alokasi yang sifatnya mengikat seperti misalnya alokasi pendidikan yang mencapai 20 persen dari alokasi belanja APBN. Akibatnya apabila pemerintah akan meningkatkan alokasi belanja modal, maka alokasi untuk pendidikan secara otomatis juga harus dinaikkan. Kedepan harus ada kesepakatan antara pemerintah dengan DPR agar alokasi yang sifatnya mengikat harus dihilangkan, karena akan memperkcil ruang gerak APBN yang pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar