Senin, 04 Juli 2011

Ekonomi “Hijau”: Semangat Asli Indonesia?

DARMAWAN PRASODJO ECONOMIST & NICHOLAS INSTITUTE

Kemunculan kapitalisme menandai sebuah titik balik dalam hubungan kemanusiaan dengan lingkungan. Manusia menggunduli hutan dengan rata-rata 375 kilometer persegi setiap hari. Bumi semakin hangat yang dampaknya akan menaikkan kemungkinan terjadi badai lebih kuat dan lebih sering, serta menaikkan level permukaan laut.


Indonesia dapat kehilangan 2.000 pulau kecil hingga 2030 karena kenaikan permukaan laut. Kita juga menyaksikan semakin banyak anak-anak yang menderita asma dan fungsi paru-parunya tidak maksimal karena udara yang kita hirup terkontaminasi begitu banyak polutan.

Para ekonom terkemuka meyakini bahwa kapitalisme dan mekanisme pasar kurang mampu memperhitungan dampak lingkungan dalam menentukan harga pasar. Faktanya, tidak ada meka­nisme pasar yang memperhitungkan biaya polusi terhadap lingkungan kita. Berdasarkan kapitalisme murni, manusia mencemari lingkungan lewat pembangkit ener­gi, proses industri, transportasi, dan aktivitas hutan dengan cara-cara yang terlalu berlebihan.

Ekonomi “hijau” atau ekonomi ramah lingkungan adalah bagian revolusi untuk membawa terobosoan menuju babak baru masa depan dalam mencegah bencana alam global. Dalam ideologi kapitalis murni, tidak masalah jika pertumbuhan ekonomi berarti merusak lingkungan. Alasannya, kapitalisme memprioritaskan kuan­titas, sementara ekonomi ra­mah lingkungan lebih fokus pada efisiensi dan yang lebih mementingkan kualitas hidup.

Banyak orang yang mungkin berpikir bahwa konsep ekonomi ramah lingkungan erat dengan Ba­rat, tetapi saya pribadi menilai bahwa semangat dari gerakan ra­mah lingkungan ini sangat terta­nam dalam budaya Indonesia. Cont­ohnya, ketika laporan terba­ru Perserikatan Bangsa-Bangsa mem­peringatkan bahwa dunia terlalu banyak menyia-nyiakan peng­gunaan logam padahal ma­sih bisa didaur ulang, Indonesia adalah negara yang sudah sejak lama mendaur ulang logam.

Masyarakat Madura banyak yang terjun ke bisnis barang-ba­rang bekas. Meskipun dengan sta­tus termarjinalkan, ribuan pemulung berkeliling dari rumah ke rumah untuk memungut berbagai macam barang bekas, seperti plastik, besi, kayu, dan material tidak terpakai lain dan mengirimnya ke pebisnis Madura yang biasanya bertindak sebagai kolektor.

Saya khawatir kegiatan mendaur ulang masyarakat Indonesia terlalu bersemangat karena terjadi beberapa ”daur ulang gelap” material baja dan logam di jembatan Suramadu dan rel kereta milik PT Kereta Api Indonesia.

Contoh lain yang saya ingat dengan jelas adalah hobi mendiang ayah mengunjungi Pasar Beringharjo di Yogyakarta untuk mencari barang-barang bekas. Dia bagaikan mencari “harta karun” yang tidak akan pernah ditemukan di toko swalayan. Kita bisa menemukan banyak pasar barang bekas di berbagai kota di Indonesia. Pajak Ular di Medan, Pasar Jalan Sutomo di Makassar, Pasar Gembong di Surabaya, Pasar Kli­thikan di Yogyakarta, Taman Pu­ring di Jakarta, dan banyak lagi.

Di dunia saat ini kita membeli lebih banyak baju, mainan, perangkat elektronik dibanding yang sebenarnya dibutuhkan. Berapa lama sebelum kita kehabisan tempat untuk membuang barang-barang tersebut ketika sudah usang? Pasar-pasar barang bekas inilah yang memperpanjang umur barang-barang itu sebelum dibuang ke tempat pembuangan sampah.

Pertanian Terpadu

Petani tradisional Indonesia sudah lama mempraktikkan pertanian terpadu dengan mengintegrasikan produksi ternak dengan pangan. Praktik pertanian ini menggunakan produk sisa untuk digunakan kembali atau didaur ulang agar mengurangi biaya operasional dan jumlah limbah. Di sisi lain praktik ini juga meningkatkan produktivitas serta me­ngurangi dampak terhadap lingkungan.

Mungkin ada sebagian pembaca yang masih ingat program televisi di TVRI berjudul Ke­lompencapir yang mendorong pe­tani-petani Indonesia untuk mem­praktikkan pertanian terpadu untuk meningkatkan pendapatan pertanian dan mengurangi dampak terhadap lingkungan. Praktik ini sudah dilakukan sejak dulu, sebelum muncul kampanye besar-besaran soal ekonomi ramah lingkungan.

Berdasarkan latar belakang kapitalisme di dunia Barat, gerakan ekonomi ramah lingkungan sudah beralih dari level individu ke level korporat. Korporasi menyadari bahwa ekonomi ramah lingkungan tidak bisa dihindari, dan ada tekanan sangat besar untuk melakukan perubahan dari pesaing, aktivis pecinta lingkungan, pelanggan, harga energi yang meningkat, ekspektasi masyarakat yang berubah, dan kemungkinan intervensi pemerintah.

Persepsi masyarakat terkait seberapa ramah sebuah perusahaan terhadap lingkungan menentukan keberhasilan bisnis perusahaan tersebut di masa depan. Pada 2000, BP mengklaim pihaknya sebagai sahabat lingkungan, sebuah perusahaan energi yang bergeser ke luar dari minyak. Perusahaan mengeluarkan dana jutaan dolar Amerika Serikat untuk melakukan penelitian dan memperkuat citra dengan fokus berinvestasi pada proyek-proyek energi surya, angin, dan biofuel.

Menurut Millward Brown, perusahaan pemasaran, upaya BP mengubah citra sebagai perusahaan ramah lingkungan berkontribusi terhadap nilai nama perusahaan sebesar US$ 17,3 miliar. Citra BP terpuruk sejak bencana tumpahan minyak dari pengeboran lepas pantai yang mencemari Teluk Meskiko. Nilai saham BP di bursa mengalami penurunan dan pada titik tertentu nilai penurunan secara kasar mencapai US$ 25 miliar hanya dalam hitungan pekan.

Perbedaan Mencolok

Ada perbedaan mencolok antara ekonomi ramah lingkungan tradisi Indonesia dengan ekonomi ramah lingkungan Barat dengan kapitalisme sebagai dasarnya. Eko­nomi ramah lingkungan versi Barat sangat kental dengan karakter pemasaran yang muluk-muluk dan penuh gaya, sedangkan versi Indonesia menekankan pada ni­lai-nilai tradisional, kesederhana­an, dan hakekatnya.

Tradisi ramah lingkungan ma­syarakat Indonesia menunjukkan bahwa kita menjunjung tinggi ekonomi ramah lingkungan tanpa menyadarinya. Pertanyaannya ki­ni adalah bagaimana kita mengubah tradisi asli ramah lingkungan ini menjadi kebijakan pendukung yang kuat? Bagaimana kita meyakinkan perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia untuk mengatasi dampak lingkungan dan mengubah operasional bisnis mereka agar menjadi lebih efisien dan hemat?

Di dunia ekonomi ramah lingkungan yang cepat berubah, Indonesia seharusnya mereposisi diri untuk menjawab tantangan-tantangan ekonomi ramah lingkungan, memanfaatkannya sebagai pe­luang yang dapat mendorong kemajuan.

Kita harus memegang teguh slogan bahwa “green is green” (ramah lingkungan bisa menghasilkan green atau warna hijau dari dolar Amerika Serikat). Kita juga perlu mengakui bahwa pemikiran menjaga kelestarian alam bisa lebih banyak membantu pertumbuhan bisnis lewat inovasi, pasar baru, dan peluang-peluang bisnis. (*)

Darmawan Prasodjo, Economist

Nicholas Institute for Environmental Policy Solutions

Duke University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar