Sabtu, 30 Juli 2011

Otoritas Jasa Keuangan dan Politik

Oleh: Makmun Syadullah
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Tulisan ini adalah pendapat pribadi
Koran Tempo, 30 Juli 2011


Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini sudah di depan mata. Masyarakat berharap dengan terbentuknya OJK, pengawasan industri perbankan dan asuransi akan lebih efektif ketimbang di bawah Bank Indonesia (BI). Pemerintah sendiri bahkan menjamin perlindungan konsumen akan lebih difokuskan dibawah lembaga pengawas jasa keuangan tersebut. Bahkan melalui OJK diharapkan aka ada upaya edukasi kepada konsumen.

Perjalanan pembahasan Rancangan Undang-Undang OJK mulai mendekati final.  Kini yang tersisa tinggal menentukan pembentukan dewan komisioner, terutama terkait dengan struktur komisioner baik menyangkut jumlah dewan komisioner dan pembidanan tugas dewan komisioner, status dewan komisioner terkait dengan apakah pejabat Negara atau bukan pejabat Negara, dan tata cara pencalonan dan pemilihan dewan komisioner. Namun justru yang tersisa ini cukup alot pembahasannya, dikarenakan belum ada titik temu antara anggota Pansus RUU OJK DPR-RI dengan pemerintah (Menteri Keuangan).
Terdapat dua opsi yang berkembang berkenaan dengan jabatan dewan komisoner, yakni  Pertama, adalah dua orang yang berasal dari DPR, dua orang berasal dari pemerintah, dan lima lainnya berasal dari masyarakat. Opsi kedua adalah adanya dua ex-officio yang berasal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), serta tujuh dari independen. Konon issue yang berkembang kalau terdapat jabatan dua dua ex-officio yang berasal dari Kementerian, Pansus RUU OJK DPR-RI menghendaki agar sebagai penyeimbang juga ada dua penyeimbang dari DPR.
Perlu dipahami bahwa OJK merupakan  sebuah lembaga yang akan bertugas mengawasi perbankan dan asuransi. Setiap keputusan yang akan diambil oleh OJK tentunya akan berdampak bukan saja pada industry perbankan dan asuransi saja, namun secara umum juga akan berdampak pada makro ekonomi dan fiskal. Untuk itulah maka permasalahan jabatan dewan komisioner OJK sudah sepantasnya perlu dilihat secara jernih. Usulan pemerintah perlunya ex officio jabatan dewan komisioner dari Kemenkeu adalah dalam rangka menjembatani agar dalam pengambilan keputusan, OJK prudent dengan mempertimbangkan aspek ekonomi makro dan fiskal.

Good Coorporate Governance
Pembentukan OJK dewasa kini sudah menjadi kecenderungan yang berjalan di beberapa negara. Melalui pembentukan supervisi tunggal itu diharapkan akan mempermudah pengawasan, serta, meminimalkan kemungkinan praktik lobi dalam pengawasan lembaga keuangan bank dan non bank. Namun perlu diingat meski di sejumlah negara OJK dinilai cukup berhasil, terdapat pula OJK yang gagal di tengah jalan.
Kunci keberhasilan OJK adalah bagaimana menerapkan Good Coorporate Governance (GCG) secara benar. Melalui penerapan GCG diharapkan OJK mampu meningkatkan kinerja dan akuntabilitas guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.
Dalam konteks dengan GCG di atas, peranan dewan Komisioner memegang peranan yang sangat penting. Dewan Komisioner,  merupakan inti dari Corporate Governance,  yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi, mengawasi manajemen dalam mengelola OJK, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Dewan komisioner  bertanggung jawab dan berwenang untuk mengawasi kebijakan dan tindakan direksi, dan memberikan nasehat kepada direksi jika diperlukan. Dengan demikian dewan komisioner dalam OJK sebaiknya diisi dari kalangan professional.
Idelanya ukuran profesional seorang angota komisioner OJK bukan hanya dilihat dari sisi pengetahuan tentang perbankan dan asuransi, akan tetapi juga harus memiliki pengetahuan tentang masalah makro ekonomi dan fiskal. Mengingat setiap keputusan yang akan diambil dalam OJK akan berimplikasi pada masalah ekonomi makro dan fiskal.
Persyaratan lainnya untuk menjadi anggota dewan komisioner adalah harus terbebas dari masalah politik. Peunjukan dewan komisioner dari unsur politik akan sangat berbahaya, karena apabila dalam mengambil kebijakan OJK diintervensi oleh para politisi, maka kualitas hasil kebijakan yang dihasilkan akan sangat membahayakan. Apalagi dalam prakteknya di berbagai perusahaan di Indonesia, terdapat kecenderungan komisaris seringkali melakukan intervensi kepada direksi dalam menjalankan tugasnya.
Pembentukan OJK belum menjamin adanya pengawasan yang lebih berkualitas. OJK terbukti gagal di Inggris walaupun relatif sukses di Jepang. Jerman, yang sempat menjadi konsultan pemerintah dalam pembentukan BI yang independen telah kembali berbalik arah ke pengawasan bank oleh bank sentral. Untuk itu Indonesia perlu banyak belajar dari kegagalan OJK di sejumlah Negara.
Salah satu langkah preventif yang dapat dilakukan untuk menghindari kegagalan OJK adalah dengan meniadakan penunjukan dewan komisioner dari unsur politik. Diharapkan ketiadaan dewan komisioner dari unsur politisi akan mampu menghilangkan praktek pengawasan dengan lobi-lobi dan menghidarkan OJK dari kerawanan berbagai kepentingan politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar