Data perkembangan ekonomi dunia akhir-akhir ini menunjukkan resesi global sejak 2008 belum seluruhnya pulih. Ada indikasi awal krisis utang di Eropa mulai memberikan sentimen di sektor riil. Terlihat dari indeks produksi manufaktur global di AS dan China menurun sejak April 2010.
Aktivitas perdagangan dunia juga cenderung melambat akhir-akhir ini. Aktivitas perdagangan luar negeri yang tecermin dari Baltic Dry Index menurun cukup tajam dalam 2 bulan terakhir. Di samping itu tentu yang sudah diperkirakan sebelumnya pemberian stimulus fiskal membuat defisit anggaran di hampir semua negara di dunia mengakibatkan utang naik secara signifikan.
Keadaan ini memicu krisis kepercayaan terhadap keadaan fiskal negara-negara Eropa dan mengganggu proses pemulihan ekonomi global. G-20 masih melakukan perhitungan mengenai perlu tidaknya exit strategy saat ini. Yang jelas, upaya pencegahan krisis keuangan global financial safety nets menjadi prioritas bersama apabila tidak mau mengulangi kejadian krisis 2008.
Apa implikasinya bagi Indonesia Meskipun terdapat risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan sesuai dengan rencana, bahkan lebih tinggi.
Tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6% di atas sasaran awal 5,8%. Tahun 2011 diperkirakan mencapai 6,3%. Prospek ekonomi yang cerah direspons positif oleh investor termasuk investor asing. Rupiah menguat di kisaran 9000 rupiah per dolar AS dan IHSG menguat di atas level 3000.
Minat investor terhadap surat utang negara meningkat. Akibatnya nilai transaksi SUN meningkat signifikan dan yield SUN 5 tahun turun di bawah 8%. Beban bunga utang baru menjadi lebih rendah. Cadangan devisa diperkirakan mencapai Rp80 miliar tahun ini didukung oleh masuknya modal portofolio yang deras.
Risiko pembalikan
Di balik semua perbaikan fondasi perekonomian Indonesia, risiko terjadi pembalikan tetap ada, bahkan meningkat. Fenomena akhir ini seperti meningkatnya arus modal jangka pendek, kepemilikan surat utang dan saham oleh asing, jumlah utang jangka pendek khususnya swasta memberikan indikasi bahwa perekonomian Indonesia memiliki risiko shock external yang meningkat.
Apalagi kebutuhan pembiayaan APBN 2010 adan 2011 meningkat dan kenaikan inflasi akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sangat serius.
RAPBN 2011 juga tidak memberikan suatu "bantalan" yang mencukupi apabila terjadi shock external yang tiba-tiba dan dapat mengganggu kelangsungan APBN kita. Apabila DPR menolak kenaikan tarif listrik dan harga eceran pupuk akan menambah risiko pembiayaan APBN 2011.
Apa yang harus dilakukan Gejala perlambatan global yang diperlukan memerlukan upaya nasional, regional, dan global. Di sisi kebijakan nasional; Pertama, stabilitas makro, khususnya Inflasi harus dijaga. Pasokan beras harus ditambah dan Impor beras jika terpaksa, harus dilakukan untuk mengurangi spekulasi harga beras di pasar.
Penguatan rupiah harus dilihat sebagai fenomena regional jangan ada upaya dari otoritas (BI) untuk melakukan intervensi (pelemahan) terhadap nilai rupiah yang tidak perlu.
Kedua, pelaksanaan APBN-P 2010 sesuai dengan sasaran dan penyelesaian pembahasan RAPBN 2011 harus diupayakan benar-benar dengan mengingat risiko ekonomi global tersebut. Pembatalan penaikan TDL dan HET akan berisiko pada krisis fiskal.
Perpanjangan dana pinjaman siaga hingga 2011 perlu dilakukan untuk berjaga-jaga dan menjadi sumber kepercayaan investor.
Penerbitan SUN secara reguler tetap harus dilakukan untuk menjaga risiko pembalikan. Apabila terjadi kelebihan pembiayaan dari SUN, maka dapat menjadi sumber pre-financing 2011.
Eksekusi belanja APBN dan infrastruktur terus dipacu jika tidak menghendaki adanya ekonomi overheating.
Ketiga, BI harus melakukan sesuatu (lagi) dengan masalah masuknya dana portofolio jangka pendek agar dapat berinvestasi lebih panjang. Meskipun ada ancaman inflasi, sebaiknya BI tidak menaikkan suku bunga BI Rate karena bisa menunrunkan momentum pertumbuhan sektor riil. Keempat, selesaikan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan segera. RUU JPSK lebih penting daripada RUU Otoritas Jasa Keuangan.
OJK yang terpisah dan independen dari BI sudah final dan diperlukan, sehingga Kemenkeu dan BI harus sepakat terhadap hal tersebut dan tidak menghabiskan waktu untuk perbedaan pendapat yang tidak perlu.
Dalam forum regional dan global, maka upaya aktivasi berbagai inisiatif pencegahan krisis seperti Chiang May Initiative dan Fiscal Safety dalam kerangka G-20 adalah prioritas tinggi bagi partisipasi Indonesia.
Kerja sama global diperlukan karena potensi krisis sudah berskala global dan datangnya tidak bisa diperkirakan serta punya daya tular (contangion) yang sangat cepat.
Pada akhirnya, harus disadari bahwa dalam situasi perekonomian global yang volatile dan labil sekarang dan kedepan, tidak bisa tidak selain kita mempersiapkan sedini mungkin.
Pemantauan dini, early warning system (EWS) perekonomian, stress-test pada perbankan harus setiap saat tersedia dan manajemen protokol risiko krisis disiapkan. Instrumen, regulasi dan teknologi sangat memungkinkan dilakukannya pada saat ini untuk dibangun dan dipersiapkan.
Akhirnya bergantung pada kemauan politik dari DPR dan pemerintah untuk menjalankannya bersama-sama. Tidak ada yang tidak mungkin.
Oleh Anggito Abimanyu
Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Aktivitas perdagangan dunia juga cenderung melambat akhir-akhir ini. Aktivitas perdagangan luar negeri yang tecermin dari Baltic Dry Index menurun cukup tajam dalam 2 bulan terakhir. Di samping itu tentu yang sudah diperkirakan sebelumnya pemberian stimulus fiskal membuat defisit anggaran di hampir semua negara di dunia mengakibatkan utang naik secara signifikan.
Keadaan ini memicu krisis kepercayaan terhadap keadaan fiskal negara-negara Eropa dan mengganggu proses pemulihan ekonomi global. G-20 masih melakukan perhitungan mengenai perlu tidaknya exit strategy saat ini. Yang jelas, upaya pencegahan krisis keuangan global financial safety nets menjadi prioritas bersama apabila tidak mau mengulangi kejadian krisis 2008.
Apa implikasinya bagi Indonesia Meskipun terdapat risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap mengalami pertumbuhan sesuai dengan rencana, bahkan lebih tinggi.
Tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 6% di atas sasaran awal 5,8%. Tahun 2011 diperkirakan mencapai 6,3%. Prospek ekonomi yang cerah direspons positif oleh investor termasuk investor asing. Rupiah menguat di kisaran 9000 rupiah per dolar AS dan IHSG menguat di atas level 3000.
Minat investor terhadap surat utang negara meningkat. Akibatnya nilai transaksi SUN meningkat signifikan dan yield SUN 5 tahun turun di bawah 8%. Beban bunga utang baru menjadi lebih rendah. Cadangan devisa diperkirakan mencapai Rp80 miliar tahun ini didukung oleh masuknya modal portofolio yang deras.
Risiko pembalikan
Di balik semua perbaikan fondasi perekonomian Indonesia, risiko terjadi pembalikan tetap ada, bahkan meningkat. Fenomena akhir ini seperti meningkatnya arus modal jangka pendek, kepemilikan surat utang dan saham oleh asing, jumlah utang jangka pendek khususnya swasta memberikan indikasi bahwa perekonomian Indonesia memiliki risiko shock external yang meningkat.
Apalagi kebutuhan pembiayaan APBN 2010 adan 2011 meningkat dan kenaikan inflasi akibat kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sangat serius.
RAPBN 2011 juga tidak memberikan suatu "bantalan" yang mencukupi apabila terjadi shock external yang tiba-tiba dan dapat mengganggu kelangsungan APBN kita. Apabila DPR menolak kenaikan tarif listrik dan harga eceran pupuk akan menambah risiko pembiayaan APBN 2011.
Apa yang harus dilakukan Gejala perlambatan global yang diperlukan memerlukan upaya nasional, regional, dan global. Di sisi kebijakan nasional; Pertama, stabilitas makro, khususnya Inflasi harus dijaga. Pasokan beras harus ditambah dan Impor beras jika terpaksa, harus dilakukan untuk mengurangi spekulasi harga beras di pasar.
Penguatan rupiah harus dilihat sebagai fenomena regional jangan ada upaya dari otoritas (BI) untuk melakukan intervensi (pelemahan) terhadap nilai rupiah yang tidak perlu.
Kedua, pelaksanaan APBN-P 2010 sesuai dengan sasaran dan penyelesaian pembahasan RAPBN 2011 harus diupayakan benar-benar dengan mengingat risiko ekonomi global tersebut. Pembatalan penaikan TDL dan HET akan berisiko pada krisis fiskal.
Perpanjangan dana pinjaman siaga hingga 2011 perlu dilakukan untuk berjaga-jaga dan menjadi sumber kepercayaan investor.
Penerbitan SUN secara reguler tetap harus dilakukan untuk menjaga risiko pembalikan. Apabila terjadi kelebihan pembiayaan dari SUN, maka dapat menjadi sumber pre-financing 2011.
Eksekusi belanja APBN dan infrastruktur terus dipacu jika tidak menghendaki adanya ekonomi overheating.
Ketiga, BI harus melakukan sesuatu (lagi) dengan masalah masuknya dana portofolio jangka pendek agar dapat berinvestasi lebih panjang. Meskipun ada ancaman inflasi, sebaiknya BI tidak menaikkan suku bunga BI Rate karena bisa menunrunkan momentum pertumbuhan sektor riil. Keempat, selesaikan RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan segera. RUU JPSK lebih penting daripada RUU Otoritas Jasa Keuangan.
OJK yang terpisah dan independen dari BI sudah final dan diperlukan, sehingga Kemenkeu dan BI harus sepakat terhadap hal tersebut dan tidak menghabiskan waktu untuk perbedaan pendapat yang tidak perlu.
Dalam forum regional dan global, maka upaya aktivasi berbagai inisiatif pencegahan krisis seperti Chiang May Initiative dan Fiscal Safety dalam kerangka G-20 adalah prioritas tinggi bagi partisipasi Indonesia.
Kerja sama global diperlukan karena potensi krisis sudah berskala global dan datangnya tidak bisa diperkirakan serta punya daya tular (contangion) yang sangat cepat.
Pada akhirnya, harus disadari bahwa dalam situasi perekonomian global yang volatile dan labil sekarang dan kedepan, tidak bisa tidak selain kita mempersiapkan sedini mungkin.
Pemantauan dini, early warning system (EWS) perekonomian, stress-test pada perbankan harus setiap saat tersedia dan manajemen protokol risiko krisis disiapkan. Instrumen, regulasi dan teknologi sangat memungkinkan dilakukannya pada saat ini untuk dibangun dan dipersiapkan.
Akhirnya bergantung pada kemauan politik dari DPR dan pemerintah untuk menjalankannya bersama-sama. Tidak ada yang tidak mungkin.
Oleh Anggito Abimanyu
Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Bisnis UGM, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar