Kebutuhan Pokok , Dana Kontinjensi Pangan Perlu Dinaikkan
JAKARTA — Pemerintah diminta segera memperbaiki struktur pasar dan distribusi pangan dalam negeri untuk mencegah terjadinya praktik monopoli. Jika monopoli pangan terus dibiarkan, dikhawatirkan akan memperparah potensi krisis pangan.
Ketua Dewan Tani Indonesia (DTI), Ferry Juliantono, mengingatkan hal itu di Jakarta, Selasa (24/8). “Anomali cuaca saat ini memicu penurunan produktivitas pangan mulai dari cabai, kedelai, dan jagung.
Akibatnya cadangan pangan menipis. Jika struktur pasar dimonopoli, maka krisis bisa bertambah parah.” Ia memprediksi stok beberapa komoditas pangan di dalam negeri mulai menyusut November mendatang.
Pada saat yang sama, harga pangan di pasar internasional, seperti gandum dan beras, terus melejit. Menurut Ferry, jika pemerintah tidak mengantisipasi kondisi itu, harga akan meroket.
Untuk itu, Ferry meminta pemerintah melakukan tindakan konkret untuk mengamankan ketersediaan pangan dan menyiapkan instrumen untuk mengantisipasi lonjakan harga akibat dampak kenaikan harga pangan di tingkat internasional.
Sekjen DTI Anggawira meminta pemerintah bertindak tegas untuk menghentikan impor dan monopoli pangan dari kelompok usaha tertentu. “Jangan seperti saat ini kebijakan pemerintah soal pangan diambil secara instan.
Impor pangan mulai dari gandum hingga kedelai terus dilakukan tanpa ada upaya serius meningkatkan produksi di dalam negeri,” ungkap dia. Anggawira mengusulkan agar dominasi pangan dan monopoli diambil alih pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (Bulog) bekerja sama dengan swasta untuk menopang kebutuhan pendanaan.
Anggota Dewan Ketahanan Pangan, Ahmad Ya’kub, di Bogor, Selasa, mengungkapkan kebergantungan RI terhadap impor pangan sudah sangat mengkhawatirkan. Impor gandum sudah hampir 100 persen dari kebutuhan, sedangkan kedelai mencapai 70 persen.
Tingkat impor daging juga sangat besar. Adapun untuk pangan olahan, impor Indonesia meningkat hingga 1.000 persen dalam 10 tahun terakhir. Angka itu diperparah dengan kebijakan perdagangan nasional yang memelihara monopoli.
Menurut Ahmad, kekuatan monopoli pada impor bahan makanan seperti pada kasus gandum menyebabkan negeri ini makin bergantung pada satu-dua pemain pasar internasional dan hal itu sangat membahayakan bagi stabilitas ekonomi dan politik.
“Bayangkan, misalnya, ekspor gandum untuk kita tiba-tiba disetop. Bayangkan harga gandum tiba-tiba dinaikkan. Ribuan pedagang bakso, mi ayam, martabak, roti, dan sebagainya, bagaimana nasibnya?” kata Ahmad.
Cadangan Beras
Sebelumnya, pengamat ekonomi pertanian Harbrinderjit Singh Dillon menilai praktik monopoli di pasar terigu nasional merupakan bentuk kejahatan ekonomi nyata yang sudah menguntungkan konglomerat tertentu dan sebaliknya merugikan rakyat.
“Ini sudah jelas-jelas kesalahan besar. Ada kepentingan konglomerat di sini,” tandas dia. Komisi Pengawas Persaingan Usaha mengindikasikan PT Bogasari Flour Mills, pemain dominan impor gandum dan terigu di Tanah Air, melakukan praktik monopoli.
Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Tepung Terigu Indonesia, Bogasari menguasai 57 persen pasar. Bahkan, bila dihitung bersama perusahaan afi liasinya, pangsanya bisa mencapai 75 persen.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti diungkapkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, meminta Bulog menaikkan cadangan beras minimal 1,5 juta ton untuk mengantisipasi krisis pangan di dalam negeri sebagai imbas krisis pangan dunia.
“Terkait dengan cadangan Bulog, Presiden memberikan arahan. Bulog harus menaikkan cadangan minimal 1,5 juta ton. Dalam keadaan iklim ekstrem yang tidak menentu, Presiden mengarahkan untuk antisipasi jangka pendek, menengah, dan panjang,” ujar Hatta usai sidang kabinet paripurna yang membahas masalah pangan, Selasa.
Hatta menambahkan untuk menjaga stabilitas harga, pemerintah terus melakukan operasi pasar. “Stabilisasi harga, baik pada tingkat petani maupun tingkat pasar,” kata dia.
Anggota Komisi XI DPR Laurens Bahang Dama mengatakan ketahanan pangan saat ini mendapatkan tantangan dari perubahan iklim. “Revitalisasi pertanian harus dilanjutkan untuk mendukung stabilitas harga dan ketersediaan pangan.”
Oleh karena itu, lanjut Laurens, pemerintah perlu bersiap menghadapi kemungkinan terburuk seperti kelangkaan bahan pangan, terutama beras. Saat ini, negara seperti China sudah mulai mengimpor sekitar satu juta ton beras.
“Untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, cadangan pangan terutama beras harus diperbesar. Dana kontinjensi pangan perlu dinaikkan agar masyarakat terhindar dari gejolak harga,” kata Laurens.
Pada 2010, dana kontinjensi pangan dianggarkan sebesar dua triliun rupiah. “Pada 2011, dibutuhkan dana kontinjensi sebesar 6,8 triliun rupiah. Dengan begitu, cadangan beras bisa dinaikkan menjadi 2,5 juta ton,” kata Laurens.
ito/aan/aji/YK/WP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar