Selasa, 24 Agustus 2010

Kerangka Konsep Perekonomian Syariah dan Faktor Keamanan

Oleh Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis

Keamanan merupakan ikrah dalam sistem pembayaran syariah. Coke yang pakar masalah keamanan global pernah mengatakan, “One cannot be expected to retreat from one's own home.” Perekonomian syariah tidak akan terlepas dari sistem pembayaran, baik nasional apalagi internasional.
Penggunaan ATM yang semakin meningkat di dunia menuntut perekonomian syariah termasuk perbankan syariah untuk mampu beradaptasi. Sejauh mana perekonomian syariah mampu menciptakan sistem pembayaran syariah nasional yang terlepas dari sistem pembayaran yang ada masih dalam konteks pengembangan konsep. Lebih lanjut perekonomian syariah juga harus mampu menjaga perilaku merchant, network, dan customer secara syariah.
Rochet and Tirole (2002) mengatakan, “Recognized a further source of distortion by formalizing the idea that competing merchants may accept cost increasing cards to steal customers from their rivals. The greater the competitive edge guaranteed by card acceptance, the more likely is that card networks exploit the lower merchant’s resistance (to price increases) by setting an inefficiently high merchant fee.” Dalam konteks seperti ini perekonomian syariah haruslah mampu mengidentifikasi sumber-sumber distorsi sebelum menyelesaikan permasalahan tersebut. Sejauh mana perekonomian syariah aman dari inefisiensi seperti ini merupakan tantangan tersendiri. Dengan demikian faktor keamanan dalam konteks perekonomian syariah juga mencakup keamanan dari inefisiensi perekonomian khususnya sistem pembayaran.
Bank Indonesia pada 2002 telah menerbitkan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, tren perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional, dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI, dan IIFM. Dengan demikian perekonomian syariah khususnya perbankan syariah juga akan terekspose oleh risiko dari sistem pembayaran khususnya pembayaran transaksi melalui ATM. Sejauh mana langkah-langkah regulasi telah diterapkan dalam perbankan syariah dalam rangka mencapai efisiensi perekonomian syariah yang paling optimum menjadi pertanyaan besar yang masih harus dijawab. Misalnya saja, Rochet and Tirole (2003), Guthrie and Wright (2003), serta Armstrong (2006) memberikan kesimpulan bahwa, “If merchants accept the cards of multiple card networks (i.e., multi-home), competition increases the distortion even further, as networks try to woo cardholders back from their rivals by lowering their prices. Networks can then charge merchants the monopoly price to provide access to their exclusive turf of cardholders.” Kondisi seperti ini seharusnya juga diantisipasi oleh cetak biru tersebut karena kompetisi yang diharapkan menghasilkan efisiensi terbaik ternyata juga berpotensi menimbulkan deadweight loss.
Untuk itu seandainya harga monopoli hendak diterapkan maka diperlukan struktur pasar yang bersifat monopoli alamiah di mana regulator diperlukan dalam menetapkan harga sebesar biaya marginalnya. Terwujudnya Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia diharapkan akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi sumber-sumber pembiayaan dari pasar keuangan syariah internasional untuk dapat melakukan investasi di banyak sektor potensial di Indonesia, seperti sektor pembangunan infrastruktur, sektor energi, dan sektor pengolahan sumber daya alam Indonesia yang masih sangat berlimpah. Yang pada gilirannya akan sangat mendukung pembangunan nasional Indonesia demi kesejahteraan rakyatnya. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka pengembangan perbankan dan keuangan syariah telah dijadikan sebagai salah satu agenda nasional. Karakteristik sistem perbankan syariah yang menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan, menjadikan kemanfaatannya akan dapat dinikmati tidak saja oleh umat Islam, tetapi juga oleh semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Wright 2004 mengatakan, ”Despite shedding a great deal of light on the workings of the industry, these analyses deliver no straightforward normative implications when both consumer and merchant demands are assumed to be elastic.” Dalam kondisi permintaan yang elastis maka terjadinya tindak kejahatan dalam sistem pembayaran bank syariah berpotensi menyebabkan terjadinya capital drain dari perbankan syariah menuju perbankan nonsyariah. Dengan demikian jelas sekali bahwa perbankan syariah harus mempersiapkan faktor keamanan yang lebih baik ketimbang perbankan nonsyariah.
Tanpa perbaikan yang berarti dari sektor keamanan maka bukan hanya perbankan nonsyariah yang mengalami capital drain, tetapi juga sektor perekonomian nasional. Karena itu sistem perbankan syariah harus mampu mencapai harga optimal yang secara kuantitatif sangat bergantung pada pengukuran surplus dari biaya dan preferensi. Biaya dan preferensi tersebut juga sangat bergantung pada faktor keamanan. Semakin besar biaya keamanannya maka akan semakin tinggi biaya dan semakin rendah preferensi customer. Untuk keamanan dalam sistem pembayaran maka perbankan syariah juga harus memiliki perilaku bank pembayaran yang sehat. Misalnya Angelini (1998, 2000) serta Bech dan Garratt (2003) menemukan fakta bahwa, “Banks may find it optimal to delay payments in an RTGS payment system.” Namun, hal tersebut akan menjadi bumerang ketika perekonomian syariah tidak memiliki sistem untuk meniadakan biaya dari kegagalan operasional ataupun biaya yang disebabkan oleh default dari partisipan sistem pembayaran tersebut. Sejauh mana partisipan yang terlibat mampu menjamin keamanan dalam bertransaksi secara syariah juga masih dalam perdebatan yang serius. Sebagaimana yang dikatakan oleh Armantier, Arnold and McAndrews (2008). Mereka mengatakan, “A large proportion of payments in Fedwire are settled late in the day with the peak activity on average at around 5:11pm in 2006. Significant intra-day payment delay carry a non-pecuniary cost of “delay” (e.g. customer satisfaction), but most importantly it can exacerbate the costs of an operational failure or costs due to the default of a payment system participant.” Jelas sekali ini bagian dari faktor keamanan yang seharusnya juga diperhatikan oleh perekonomian syariah termasuk khususnya perbankan syariah. Perekonomian syariah jelas tidak tunduk kepada argumentasi Nozick yaitu “Among other things that a distribution of goods is just if brought about by free exchange among consenting adults and from a just starting position, even if large inequalities subsequently emerge from the process.” Sesuai dengan Al-Durar Al-Hukkam, sistem keamanan dalam sistem pembayaran harus bersifat ikrah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar