Oleh: Makmun
Syadullah
Pengamat
Ekonomi
Indonesia
Finance Today, 1 Mei 2013
ASEAN Infrastructure Fund (AIF) adalah perusahaan pembiayaan
swasta yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN dan Asean Development Bank (ADB) yang berdomisili di Malaysia. AIF didirikan
dengan tujuan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan infrastruktur di Kawasan
ASEAN dalam rangka meningkatkan konektivitas ASEAN.
Modal dasar AIF masih jauh dari kebutuhan pendanaan
infrastruktur negara-negara anggota. Berdasarkan estimasi Goh Ching Yin (2008)
dan Nangia (2008), kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara ASEAN antara
2006 sampai dengan 2015 untuk new
capacity mencapai USD 395,6 juta dan untuk maintenance mencapai USD 200,5 juta atau total kebutuhan pendanaan
infrastruktur mencapai 596,1 juta. Dari
total kebutuhan pendanaan, diperkirakan sampai saat ini baru terpenuhi sebesar
20 persen.
Salah satu langkah alternatif yang dapat ditempuh adalah
dengan mengundang-negara-negara mitra ASEAN, khususnya melalui ASEAN Plus Three
untuk bergabung dengan AIF. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan
perlunya perluasan pendanaan AIF dengan Jepang, China dan Republik Korea,
diantaranya adalah:
Pertama,
Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat ekonomi yang sangat bagus di
kawasan Asia. Untuk itu peranan Jepang dalam kerjasama di bidang ekonomi dengan
ASEAN sangat diharapkan lebih besar.
Bahkan bagi Jepang, kawasan ASEAN
merupakan pasar yang sangat potensial bagi produk-produknya. Menurut
Suwandana (2012), kerjasama Jepang dan negara-negara ASEAN dilandaskan pada
dimensi tatanan ekonomi dimana negara-negara berkembang hanya berfungsi
menyediakan tenaga kerja murah bagi industri manufaktur, bahan dasar untuk
industri dan komoditi. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa Jepang
berupaya menciptakan pasar eksklusif.
Kedua, China
sangat berkentingan dengan negara-negara ASEAN, terutama pada pembangunan
ekonomi. Menurut John Wong dan Sarah
Chan (2003), hubungan ekonomi ASEAN-China dibagi menjadi dua tahap. Yang
pertama, dari tahun 1991, ketika Menteri Luar Negeri China Qian Qichen diundang
untuk menghadiri Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-24, untuk tahun 2001
ketika Presiden China Zhu Rongji mengusulkan kawasan perdagangan bebas
ASEAN-China, melihat kedua belah pihak memperluas dan memperdalam hubungan
perdagangan bilateral. Tahap kedua dimulai pada bulan November 2002, dengan
penandatanganan Agreement on Comprehensive Economic Cooperation China-ASEAN
menuju integrasi ekonomi regional. Selama bertahun-tahun, China dan ASEAN telah
melembagakan 48 mekanisme reguler untuk memfasilitasi kerjasama ekonomi yang
lebih erat. Yang paling terkemuka antara mereka adalah mekanisme politik
ASEAN+1, yang diluncurkan pada tahun 1997. Selain itu, ada lima kelompok kerja:
Pertemuan Pejabat Senior China-ASEAN, Komite Kerjasama Bersama China-ASEAN, Komite
Kerjasama Bersama Ekonomi dan Perdagangan ASEAN-China, Komite Bersama Sains dan
Teknologi ASEAN-China (Juli 1994), dan Komite Beijing-ASEAN. Kedua belah pihak
juga telah mengidentifikasi lima bidang utama kerjasama; pertanian, teknologi
informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya manusia, Pembangunan Sungai
Mekong, dan investasi bersama.
Dalam KTT
ASEAN ke-delapan di Phnom Penh, Kamboja, pada bulan November 2002, China dan
ASEAN menandatangani the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation.
Apabila hal ini diimplementasikan, akan
merupakan pasar umum bagi 1,7 miliar orang, dengan produk domestik bruto
gabungan (PDB) sebesar US $ 1,5-2 milyar. Kedua belah pihak berusaha membangun
kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu 10 tahun, pertama dengan ASEAN
asli-6 pada tahun 2010, diikuti oleh seluruh ASEAN-10 pada tahun 2015.
Ketiga, kemitraan
ASEAN dengan Republik Korea berjalan dengan lancar seperti yang dikatakan oleh
Presiden Republik Korea, Lee Myung Bak pada tahun 2009 bahwa perdagangan ASEAN-Republik
Korea telah tumbuh 11 kali lipat dalam
dua dekade terakhir menjadi senilai US$ 90,2 miliar tahun lalu, kata Lee. Angka
tersebut bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 150 miliar pada 2015.
Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China
akan sangat tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena
secara finansial, ketiganya mampu
memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN. Disamping itu juga telah
terjalin hubungan antara ASEAN dengan ketiga negara tersebut dengan baik. Namun
demikian dalam konteks perluasan pendanaan AIF ke ketiga negara tersebut perlu
dilakukan pemetakan dampak positif dan negatifnya.
Sisi positif dari perluasan pendanaan ini adalah sumber
pendanaan AIF akan menjadi semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya diversifikasi
risiko. Disampaing itu diharapkan pula akan terjadi transfer of Knowledge dan technology
dari ketiga negara tersebut.
Sisi negatif masuknya Jepang, Republik Korea dan China dalam
pendanaan AIF adalah kemungkinan terdapat “tied”
financing. “Tied” aid financing tentunya
akan membatasi kemungkinan procurement
yang lebih efektif dan efisien. Tied” aid
financing juga berpotensi terjadi dengan cara memasukkan konsultan/expert, khususnya Jepang (Kimura &
Todo, 2010), sementara itu Republik Korea tidak terlalu seperti Jepang dalam
“tying the financing”. Masuknya Jepang, Republik Korea dan China juga
berpotensi akan berdampak pada manajemen pendanaan infrastruktur di ASEAN dari
yang telah direncanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar