Sabtu, 04 Mei 2013

Pengembangan Pendanaan AIF Melalui ASEAN+3



Oleh: Makmun Syadullah
Pengamat Ekonomi
Indonesia Finance Today, 1 Mei 2013


ASEAN Infrastructure Fund (AIF) adalah perusahaan pembiayaan swasta yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN dan Asean Development Bank  (ADB)  yang berdomisili di Malaysia. AIF didirikan dengan tujuan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan infrastruktur di Kawasan ASEAN dalam rangka meningkatkan konektivitas ASEAN.
Modal awal AIF ditetapkan sebesar USD485,20 juta yang merupakan iuran dari negara-negara anggota dan ADB sebagai share holder dan Administratur AIF. Penyertaan modal dibayar dalam tiga tahap (tranches) yang dimulai dari tahun 2012 hingga 2014. Malaysia dan ADB adalah sebagai pemegang share holder terbesar yakni masing-masing sebesar 30,92 persen, sedangkan Indonesia menduduki peringkat kedua dengan share holder sebesar 24,73 persen.
Modal dasar AIF masih jauh dari kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara anggota. Berdasarkan estimasi Goh Ching Yin (2008) dan Nangia (2008), kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara ASEAN antara 2006 sampai dengan 2015 untuk new capacity mencapai USD 395,6 juta dan untuk maintenance mencapai USD 200,5 juta atau total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai 596,1 juta.  Dari total kebutuhan pendanaan, diperkirakan sampai saat ini baru terpenuhi sebesar 20 persen.
Salah satu langkah alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan mengundang-negara-negara mitra ASEAN, khususnya melalui ASEAN Plus Three untuk bergabung dengan AIF. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan perlunya perluasan pendanaan AIF dengan Jepang, China dan Republik Korea, diantaranya adalah:
Pertama, Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat ekonomi yang sangat bagus di kawasan Asia. Untuk itu peranan Jepang dalam kerjasama di bidang ekonomi dengan ASEAN sangat diharapkan lebih besar.  Bahkan bagi Jepang, kawasan ASEAN  merupakan pasar yang sangat potensial bagi produk-produknya. Menurut Suwandana (2012), kerjasama Jepang dan negara-negara ASEAN dilandaskan pada dimensi tatanan ekonomi dimana negara-negara berkembang hanya berfungsi menyediakan tenaga kerja murah bagi industri manufaktur, bahan dasar untuk industri dan komoditi. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa Jepang berupaya menciptakan pasar eksklusif.
Kedua, China sangat berkentingan dengan negara-negara ASEAN, terutama pada pembangunan ekonomi.  Menurut John Wong dan Sarah Chan (2003), hubungan ekonomi ASEAN-China dibagi menjadi dua tahap. Yang pertama, dari tahun 1991, ketika Menteri Luar Negeri China Qian Qichen diundang untuk menghadiri Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-24, untuk tahun 2001 ketika Presiden China Zhu Rongji mengusulkan kawasan perdagangan bebas ASEAN-China, melihat kedua belah pihak memperluas dan memperdalam hubungan perdagangan bilateral. Tahap kedua dimulai pada bulan November 2002, dengan penandatanganan Agreement on Comprehensive Economic Cooperation China-ASEAN menuju integrasi ekonomi regional. Selama bertahun-tahun, China dan ASEAN telah melembagakan 48 mekanisme reguler untuk memfasilitasi kerjasama ekonomi yang lebih erat. Yang paling terkemuka antara mereka adalah mekanisme politik ASEAN+1, yang diluncurkan pada tahun 1997. Selain itu, ada lima kelompok kerja: Pertemuan Pejabat Senior China-ASEAN, Komite Kerjasama Bersama China-ASEAN, Komite Kerjasama Bersama Ekonomi dan Perdagangan ASEAN-China, Komite Bersama Sains dan Teknologi ASEAN-China (Juli 1994), dan Komite Beijing-ASEAN. Kedua belah pihak juga telah mengidentifikasi lima bidang utama kerjasama; pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya manusia, Pembangunan Sungai Mekong, dan investasi bersama.
Dalam KTT ASEAN ke-delapan di Phnom Penh, Kamboja, pada bulan November 2002, China dan ASEAN menandatangani the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Apabila  hal ini diimplementasikan, akan merupakan pasar umum bagi 1,7 miliar orang, dengan produk domestik bruto gabungan (PDB) sebesar US $ 1,5-2 milyar. Kedua belah pihak berusaha membangun kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu 10 tahun, pertama dengan ASEAN asli-6 pada tahun 2010, diikuti oleh seluruh ASEAN-10 pada tahun 2015.
Ketiga, kemitraan ASEAN dengan Republik Korea berjalan dengan lancar seperti yang dikatakan oleh Presiden Republik Korea, Lee Myung Bak pada tahun 2009 bahwa perdagangan ASEAN-Republik Korea  telah tumbuh 11 kali lipat dalam dua dekade terakhir menjadi senilai US$ 90,2 miliar tahun lalu, kata Lee. Angka tersebut bahkan diperkirakan akan meningkat menjadi US$ 150 miliar pada 2015.
Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China akan sangat tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena secara finansial, ketiganya mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN. Disamping itu juga telah terjalin hubungan antara ASEAN dengan ketiga negara tersebut dengan baik. Namun demikian dalam konteks perluasan pendanaan AIF ke ketiga negara tersebut perlu dilakukan pemetakan dampak positif dan negatifnya.
Sisi positif dari perluasan pendanaan ini adalah sumber pendanaan AIF akan menjadi semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya diversifikasi risiko. Disampaing itu diharapkan pula akan terjadi transfer of Knowledge dan technology dari ketiga negara  tersebut. 
Sisi negatif masuknya Jepang, Republik Korea dan China dalam pendanaan AIF adalah kemungkinan terdapat “tied” financing. “Tied” aid financing tentunya akan membatasi kemungkinan procurement yang lebih efektif dan efisien. Tied” aid financing juga berpotensi terjadi dengan cara memasukkan konsultan/expert, khususnya Jepang (Kimura & Todo, 2010), sementara itu Republik Korea tidak terlalu seperti Jepang dalam “tying the financing”. Masuknya Jepang, Republik Korea dan China juga berpotensi akan berdampak pada manajemen pendanaan infrastruktur di ASEAN dari yang telah direncanakan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar