Rabu, 27 Juni 2012

Menimbang Kembali Program Mobil Nasional


Oleh: MakmunSyadullah
Pengamat Ekonomi dan Penulis buku “Menuju Green Economy”
Sumber: Indonesia Finance Today, 27 Juni 2012


Sejalan dengan tuntutan global, industri kendaraan nasional akan mengembangkan mobil nasional (mobnas) baik mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC) maupun mobil hybrid. Pengembangan mobnas ini diharapkan mampu mengisi ceruk pasar kendaraan bermotor roda 4 yang belum dikembangkan dan belum diisi oleh industri dalam negeri kurang lebih sebanyak 300 ribu – 600 ribu unit.  Kendaraan ini diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan antara empat juta sampai delapan juta rupiah.

Dengan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM), mobnas diperkirakan akan memiliki prospek yang cukup bagus.  Apabila pemerintah mencabut subsidi BBM, maka secara alamiah masyarakat akan beralih ke kendaraan yang lebih hemat energi. Untuk itulah pemerintah terus mendorong industry otomotif untuk memproduksi mobnas, sebab apabila tidak ada produksi dalam negeri, maka kebutuhan tersebut akan dipenuhi melalui impor.
Menurut Kementerian Perindusterian, mobnas yang akan diproduksi di dalam negeri adalah kendaraan yang bermesin 1.000 –  1.200 cc, konsumsi bahan bakar minyak minimal 22 km/liter (mesin 1.000 cc)  dan 20 km/liter (mesin 1.200 cc). Mobil murah dan ramah lingkungan yang diharapkan memenuhi standar emisi Euro 2 ini akan dijual pada kisaran seratus juta rupiah (on the road). Disamping itu, bodi, mesin, transmisi , dan sebagainya akan dibuat di dalam negeri. Komponen lokal yang digunakan pada tahun pertama minimal 40 persen, tahun ketiga naik 60 persen dan tahun kelima 80 persen.
Dengan adanya program mobnas, di satu sisi pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan negara karena adanya insentif untuk mobnas sebagai berikut :  (i)   Bea Masuk Ditanggung Pemerintah untuk impor bahan baku/komponen (6 % menjadi 0 %), dan (ii) penurunan PPnBM sedan dari 30 % menjadi 15 % dan MPV dari 10 % menjadi 0 %.
 Di sisi lain pemerintah juga akan menerima benefit dalam bentuk peningkatan penerimaan karena peningkatan penjualan akibat adanya mobnas yaitu : (i) peningkatan penerimaan dari PPN, BBN dan PKB, ,PPh, (iii) penghematan subsidi BBM, dan (iii) tambahan penyerapan tenaga kerja di industri perakit, industri komponen Tier 1, Tier 2, dealer, bengkrel dan lain sebagainya.
Menurut hasil perhitungan Kementerian Perindusterian, melalui pemberian fasilitas insentif, pemerintah berpotensi kehilangan penerimaan dari bea masuk (BM) atas bahan baku/komponen dan PPnBM sebesar Rp0,96 triliun (2012), Rp3,27 triliun (2014)  dan Rp6,26 triliun (2016). Namun potensi kehilangan penerimaan ini dikompensasikan dengan peningkatan penerimaan dari PPN, PPh, BBN dan PKB sebesar Rp1,67 triliun (2012), Rp6,11 triliun (2014) dan Rp12,30 triliun untuk 2016. 

Alternatif Kebijakan
Dalam rangka mewujudkan mobnas, sudah selayaknya industri otomotif mendapatkan insentif. Adapun fasilitas insentif yang tersedia saat ini Pembebasan BM untuk investasi baru sebagaimana diatur dalam PMK-176/PMK011/2009, dan PPnBM atas Produk Mobil. Pertama, berdasarkan PMK 176/2009, fasilitas pembebasan BM yang dapat dimanfaatkan untuk industri kendaraan bermotor, termasuk industri perakitan adalah: (i) diberikan untuk investasi baru atau pengembangan 30 persen  dengan fasilitas untuk barang modal dan bahan baku sesuai dengan kapasitas terpasang 2 tahun dengan jangka waktu impor maksimal 3 tahun, dan (ii) dengan investasi mesin Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) 30 persen, fasilitas untuk barang modal dan bahan baku sesuai dengan kapasitas terpasang 4 tahun dengan jangka waktu impor maksimal 4 tahun. 

Permasalahannya, fasilitas BM hanya diberikan untuk jangka maksimum tiga tahun. Masa  ini merupakan masa persiapan industry otomotif atau masa uji coba untuk  menghasilkan mobnas. Sementara pada saat industry otomotif memproduksi mobnas secara massal sulit untuk mendapatkan fasilitas BM. 

Kedua, terkait dengan insentif PPnBM, dasar hukum yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun 2000 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2006 tentang Kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,  dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355 Tahun 2003 tentang Jenis Kendaraan Bermotor Yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berdasarkan berbagai dasar hukum ini,  PPnBM kendaraan bermotor yang harus diterapkan secara equal treatment untuk seluruh transaksi baik oleh produsen maupun importir. 

Insentif PPnBM dapat mendukung LCGC, namun demikian tidak efektif untuk mengembangkan produksi mobil nasional di dalam negeri. Hal ini disebabkan dalam pengaturannya tidak memungkinkan penerapan kriteria yang sulit untuk dimonitor seperti penggunaan BBM sehingga dengan memberikan fasilitas PPnBM mengacu pada cc tertentu menjadi tidak efektif. Disamping itu penghapusan PPnBM akan menimbulkan kendala karena fasilitas ini tidak hanya akan dinikmati untuk program mobnas saja, akan tetapi juga berlaku pada produsen atau importir mobil yang sejenis. 

Salah satu jalan keluar untuk melindungi mobnas adalah dengan mengenakan BM yang cukup tinggi atas mobil serupa yang akan masuk ke Indonesia. Namun BM ini hanya akan efektif untuk impor mobil dari negara-negara di luar kawasan ASEAN. Hal ini disebabkan Indonesia sudah meratifikasi Free Trade Agreement dengan Negara-negara ASEAN, sehingga tarif BM menjadi nol.

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar