http://www.indonesiafinancetoday.com/read/21607/Pendekatan-Big-Bang-dan-Double-Track-Pembangkit-Hijau
Pada 20 Desember 2011, melalui surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3314 K/21/MEM/2011, pemerintah mengesahkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2011-2020. Rencana usaha ini menyempurnakan rencana usaha sebelumnya untuk periode 2010-2019. RUPTL mencakup enam dimensi kebijakan, yaitu (i) pemenuhan permintaan listrik, (ii) pembangkitan, (iii) transmisi, (iv) distribusi, (v) listrik perdesaan, (vi) serta energi baru dan terbarukan.
Tulisan ini menganalisis kebijakan pemanfaatan pembangkit panas bumi dan pengembangan listrik perdesaan. Hal tersebut sejalan dengan tiga target penting: (i) tercapainya rasio elektrifikasi 100% pada 2020 (visi 75/100 artinya 75 tahun Republik Indonesia merdeka rasio elektrifikasi 100), (ii) target desa berlistrik 98,9% pada 2014, dan (iii) visi 25/25 yaitu tercapainya bauran enegi baru terbarukan sebesar 25% pada 2025.
Dalam RUPTL 2011-2020, ada dua persoalan utama yang perlu segera dipecahkan. Pertama, meningkatkan pasokan listrik guna menaikkan rasio elektrifikasi serta akses listrik bagi masyarakat di daerah terpencil. Kedua, mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM).
Berbasis Panas Bumi
Guna mengatasi masalah itu PT PLN melakukan dua strategi: (i) sewa pembangkit, dan (ii) membeli kelebihan pasokan listrik (excess power) swasta. Walaupun PT PLN menilai kedua strategi tersebut sebagai langkah darurat, namun data menunjukkan peran pembelian listrik dan sewa pembangkit terhadap total produksi listrik terus naik dari sekitar 5,6% pada 1999 menjadi 27,3% pada 2010. Artinya, ketergantungan pasokan listrik PT PLN terhadap pembangkit swasta membesar.
Peran pembangkit swasta (independent power producer/IPP) diperkirakan meningkat. Jika pada 2010 rasio kapasitas terpasang IPP sekitar 20,8%, dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit hingga 2020 akan meningkat menjadi 43%.
Kenaikan peran swasta dimotori penambahan pembangkit PLTU dan panas bumi, sebagai contoh total penambahan kapasitas PLTU PT PLN sebesar 19.036 MW dan IPP sebesar 16.537 MW. Demikian pula penambahan kapasitas pembangkit panas bumi yang dilakukan IPP sebesar 5.495 MW sedangkan PT PLN hanya sekitar 752 MW hingga 2020.
Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 15/2010 menyebutkan hingga 2014 penambahan kapasitas pembangkit panas bumi sebesar 3.967 MW, dan sekitar 3.627 MW merupakan proyek kerja sama dengan swasta. Namun, peraturan tersebut diperbaharui dengan Permen ESDM Nomor 1/2012, di mana target penambahan kapasitas panas bumi meningkat menjadi 4.925 MW dan peningkatan tersebut sepenuhnya berasal dari proyek kerja sama dengan swasta. Dalam jangka pendek, panas bumi akan menjadi salah satu sumber energi terbarukan dengan kapasitas terbesar di masa depan. Penulis menilai kebijakan ini sebagai "big bang approach".
Sekalipun penambahan daftar proyek panas bumi belum menjamin sepenuhnya implementasi proyek, permasalahan dari sisi komersial sudah terpecahkan. Dengan keluarnya Permen Nomor 2/2011, PT PLN wajib membeli listrik dari pembangkit panas bumi dengan harga patokan tertinggi sebesar US$ 9,7 sen per kWh jika terkoneksi pada tegangan tinggi. Peraturan sebelumnya, Permen ESDM Nomor 32/2009, tidak mewajibkan PT PLN membeli tenaga listrik dari pembangkit panas bumi swasta.
Dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat, maka harga maksimum yang harus dibeli sekitar Rp 984 per kWh. Tingkat harga tersebut jauh melampaui harga pembelian listrik untuk pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah, atau kelebihan tenaga listrik swasta sebesar Rp 656 per kWh (jika terkoneksi pada tegangan menengah untuk wilayah Jawa dan Bali). Pada sisi lain, harga rata-rata penjualan listrik pada 2011 sebesar Rp 729 per kWh.
Adanya kepastian pembelian listrik dan insentif harga yang memadai akan semakin menggairahkan iklim investasi pembangkit panas bumi serta energi terbarukan lainnya. Hal ini juga akan membantu mengurangi ketergantungan sistem pembangkit pada bahan bakar fosil, terutama minyak.
Namun demikian, margin yang melebihi keuntungan normal bukan berarti tanpa risiko. Misalkan kalkulasi penulis menunjukkan dengan teknologi ultrasupercritical untuk kapasitas 1.000 MW, harga pembangkitan antara US$ 5,49 sen–US$ 7,68 sen per kWh atau maksimum sekitar Rp 691 per kWh. Dalam strategi minimisasi biaya pembangkitan yang juga mengurangi subsidi listrik, penambahan pembangkit panas bumi akan menambah biaya pembangkitan, walaupun dari sisi pengurangan emisi gas karbon dioksida (CO2) kebijakan ini sangat baik.
Atas dasar itu, maka penambahan kapasitas panas bumi tidak merujuk pada prinsip minimisasi biaya pembangkitan, namun lebih pada upaya meningkatkan bauran energi terbarukan dalam sistem pembangkitan.
Pada 20 Desember 2011, melalui surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3314 K/21/MEM/2011, pemerintah mengesahkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2011-2020. Rencana usaha ini menyempurnakan rencana usaha sebelumnya untuk periode 2010-2019. RUPTL mencakup enam dimensi kebijakan, yaitu (i) pemenuhan permintaan listrik, (ii) pembangkitan, (iii) transmisi, (iv) distribusi, (v) listrik perdesaan, (vi) serta energi baru dan terbarukan.
Tulisan ini menganalisis kebijakan pemanfaatan pembangkit panas bumi dan pengembangan listrik perdesaan. Hal tersebut sejalan dengan tiga target penting: (i) tercapainya rasio elektrifikasi 100% pada 2020 (visi 75/100 artinya 75 tahun Republik Indonesia merdeka rasio elektrifikasi 100), (ii) target desa berlistrik 98,9% pada 2014, dan (iii) visi 25/25 yaitu tercapainya bauran enegi baru terbarukan sebesar 25% pada 2025.
Dalam RUPTL 2011-2020, ada dua persoalan utama yang perlu segera dipecahkan. Pertama, meningkatkan pasokan listrik guna menaikkan rasio elektrifikasi serta akses listrik bagi masyarakat di daerah terpencil. Kedua, mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak (BBM).
Berbasis Panas Bumi
Guna mengatasi masalah itu PT PLN melakukan dua strategi: (i) sewa pembangkit, dan (ii) membeli kelebihan pasokan listrik (excess power) swasta. Walaupun PT PLN menilai kedua strategi tersebut sebagai langkah darurat, namun data menunjukkan peran pembelian listrik dan sewa pembangkit terhadap total produksi listrik terus naik dari sekitar 5,6% pada 1999 menjadi 27,3% pada 2010. Artinya, ketergantungan pasokan listrik PT PLN terhadap pembangkit swasta membesar.
Peran pembangkit swasta (independent power producer/IPP) diperkirakan meningkat. Jika pada 2010 rasio kapasitas terpasang IPP sekitar 20,8%, dalam rencana penambahan kapasitas pembangkit hingga 2020 akan meningkat menjadi 43%.
Kenaikan peran swasta dimotori penambahan pembangkit PLTU dan panas bumi, sebagai contoh total penambahan kapasitas PLTU PT PLN sebesar 19.036 MW dan IPP sebesar 16.537 MW. Demikian pula penambahan kapasitas pembangkit panas bumi yang dilakukan IPP sebesar 5.495 MW sedangkan PT PLN hanya sekitar 752 MW hingga 2020.
Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 15/2010 menyebutkan hingga 2014 penambahan kapasitas pembangkit panas bumi sebesar 3.967 MW, dan sekitar 3.627 MW merupakan proyek kerja sama dengan swasta. Namun, peraturan tersebut diperbaharui dengan Permen ESDM Nomor 1/2012, di mana target penambahan kapasitas panas bumi meningkat menjadi 4.925 MW dan peningkatan tersebut sepenuhnya berasal dari proyek kerja sama dengan swasta. Dalam jangka pendek, panas bumi akan menjadi salah satu sumber energi terbarukan dengan kapasitas terbesar di masa depan. Penulis menilai kebijakan ini sebagai "big bang approach".
Sekalipun penambahan daftar proyek panas bumi belum menjamin sepenuhnya implementasi proyek, permasalahan dari sisi komersial sudah terpecahkan. Dengan keluarnya Permen Nomor 2/2011, PT PLN wajib membeli listrik dari pembangkit panas bumi dengan harga patokan tertinggi sebesar US$ 9,7 sen per kWh jika terkoneksi pada tegangan tinggi. Peraturan sebelumnya, Permen ESDM Nomor 32/2009, tidak mewajibkan PT PLN membeli tenaga listrik dari pembangkit panas bumi swasta.
Dengan asumsi nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dolar Amerika Serikat, maka harga maksimum yang harus dibeli sekitar Rp 984 per kWh. Tingkat harga tersebut jauh melampaui harga pembelian listrik untuk pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah, atau kelebihan tenaga listrik swasta sebesar Rp 656 per kWh (jika terkoneksi pada tegangan menengah untuk wilayah Jawa dan Bali). Pada sisi lain, harga rata-rata penjualan listrik pada 2011 sebesar Rp 729 per kWh.
Adanya kepastian pembelian listrik dan insentif harga yang memadai akan semakin menggairahkan iklim investasi pembangkit panas bumi serta energi terbarukan lainnya. Hal ini juga akan membantu mengurangi ketergantungan sistem pembangkit pada bahan bakar fosil, terutama minyak.
Namun demikian, margin yang melebihi keuntungan normal bukan berarti tanpa risiko. Misalkan kalkulasi penulis menunjukkan dengan teknologi ultrasupercritical untuk kapasitas 1.000 MW, harga pembangkitan antara US$ 5,49 sen–US$ 7,68 sen per kWh atau maksimum sekitar Rp 691 per kWh. Dalam strategi minimisasi biaya pembangkitan yang juga mengurangi subsidi listrik, penambahan pembangkit panas bumi akan menambah biaya pembangkitan, walaupun dari sisi pengurangan emisi gas karbon dioksida (CO2) kebijakan ini sangat baik.
Atas dasar itu, maka penambahan kapasitas panas bumi tidak merujuk pada prinsip minimisasi biaya pembangkitan, namun lebih pada upaya meningkatkan bauran energi terbarukan dalam sistem pembangkitan.
Listrik PerdesaanPemanfaatan
energi terbarukan skala kecil oleh PT PLN juga akan meningkat. PT PLN
memiliki program listrik perdesaan yang akan dilakukan 28 satuan kerja
listrik desa di tingkat provinsi. Sasaran utama program ini adalah
meningkatkan rasio elektrifikasi serta desa berlistrik. PT PLN juga
memiliki program skala kecil pengembangan energi baru dan terbarukan
yang terdiri atas PLTMH, tenaga angin, tenaga surya, hingga biomass.
Pada pertengahan Januari 2012, pemerintah mengeluarkan Permen ESDM Nomor 02/2012 yang mengatur petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang listrik perdesaan untuk tahun anggaran 2012. Kebijakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 30/2009, di mana pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana pembangunan listrik perdesaan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No 209/PMK.07/2011, dari total DAK yang akan diturunkan yaitu sekitar Rp 26 triliun rupiah, DAK listrik perdesaan memperoleh alokasi sekitar 0,73% atau sekitar Rp 190 miliar. Sebanyak 57 kabupaten dari 491 kabupaten/kota mendapatkan alokasi DAK listrik perdesaan dengan nilai yang cukup bervariasi antara Rp 543 juta hingga Rp 11,5 miliar per kabupaten.
Walaupun prioritas pemanfaatan DAK listrik perdesaan adalah membangun pembangkit listrik khususnya tenaga mikro hidro (PLTMH) dengan kapasitas di bawah 1 MW, dana tersebut juga dapat digunakan untuk memperbaiki PLTMH yang rusak, peningkatan pelayanan off-grid PLTMH, pembangkit tenaga surya, serta kombinasi pembangkit surya dan angin. Kriteria penerima DAK yaitu desa terpencil/terisolir dari jangkauan listrik PT PLN. DAK akan diterima bupati dan dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) bidang energi.
Dengan demikian, pola pengembangan listrik perdesaan akan mengambil dua pendekatan (double track approach), yaitu yang dilakukan PT PLN dan SKPD. Persamaan dari kedua pendekatan tersebut yaitu sumber dana yang berasal dari anggaran belanja negara (APBN) dan tipologi pembangkit yang akan dikembangkan. Pada sisi lain perbedaan antara keduanya adalah unit pelayanan provinsi untuk PT PLN dan kabupaten untuk SKPD.
Penulis menilai kedua pendekatan tersebut dapat tumpang tindih, dan tugas Menteri ESDM untuk menjamin kedua program tersebut dapat berjalan efisien (bersinergi) dan berkeadilan.
Pola "double track" sebetulnya merupakan amanat dari Undang-Undang Ketenagalistrikan, di mana dengan asas otonomi daerah usaha penyediaan tenaga listrik juga dilakukan pemerintah pusat dan daerah.
Prospek investasi energi terbarukan di Indonesia akan semakin baik. Hal ini didorong dua pendekatan utama, yaitu "big bang" and "double track". Namun, kedua pendekatan ini bukan tanpa risiko. "Big bang" akan mendorong naiknya biaya pembangkitan, sedangkan "double track" akan rawan terjadinya tumpang tindih program.
Untuk itu, penulis mendorong agar Indonesia memanfaatan sumber dana hijau (green fund) untuk peningkatan kapasitas energi baru dan terbarukan. Demikian pula Kementerian ESDM perlu mengevaluasi pendekatan "double track" yang mampu mempercepat tercapainya rasio elektrifikasi secara efisien dan berkeadilan. (*)
Maxensius Tri Sambodo
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Mahasiswa Program Doktoral di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS)
Pada pertengahan Januari 2012, pemerintah mengeluarkan Permen ESDM Nomor 02/2012 yang mengatur petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang listrik perdesaan untuk tahun anggaran 2012. Kebijakan ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Ketenagalistrikan Nomor 30/2009, di mana pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dana pembangunan listrik perdesaan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No 209/PMK.07/2011, dari total DAK yang akan diturunkan yaitu sekitar Rp 26 triliun rupiah, DAK listrik perdesaan memperoleh alokasi sekitar 0,73% atau sekitar Rp 190 miliar. Sebanyak 57 kabupaten dari 491 kabupaten/kota mendapatkan alokasi DAK listrik perdesaan dengan nilai yang cukup bervariasi antara Rp 543 juta hingga Rp 11,5 miliar per kabupaten.
Walaupun prioritas pemanfaatan DAK listrik perdesaan adalah membangun pembangkit listrik khususnya tenaga mikro hidro (PLTMH) dengan kapasitas di bawah 1 MW, dana tersebut juga dapat digunakan untuk memperbaiki PLTMH yang rusak, peningkatan pelayanan off-grid PLTMH, pembangkit tenaga surya, serta kombinasi pembangkit surya dan angin. Kriteria penerima DAK yaitu desa terpencil/terisolir dari jangkauan listrik PT PLN. DAK akan diterima bupati dan dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) bidang energi.
Dengan demikian, pola pengembangan listrik perdesaan akan mengambil dua pendekatan (double track approach), yaitu yang dilakukan PT PLN dan SKPD. Persamaan dari kedua pendekatan tersebut yaitu sumber dana yang berasal dari anggaran belanja negara (APBN) dan tipologi pembangkit yang akan dikembangkan. Pada sisi lain perbedaan antara keduanya adalah unit pelayanan provinsi untuk PT PLN dan kabupaten untuk SKPD.
Penulis menilai kedua pendekatan tersebut dapat tumpang tindih, dan tugas Menteri ESDM untuk menjamin kedua program tersebut dapat berjalan efisien (bersinergi) dan berkeadilan.
Pola "double track" sebetulnya merupakan amanat dari Undang-Undang Ketenagalistrikan, di mana dengan asas otonomi daerah usaha penyediaan tenaga listrik juga dilakukan pemerintah pusat dan daerah.
Prospek investasi energi terbarukan di Indonesia akan semakin baik. Hal ini didorong dua pendekatan utama, yaitu "big bang" and "double track". Namun, kedua pendekatan ini bukan tanpa risiko. "Big bang" akan mendorong naiknya biaya pembangkitan, sedangkan "double track" akan rawan terjadinya tumpang tindih program.
Untuk itu, penulis mendorong agar Indonesia memanfaatan sumber dana hijau (green fund) untuk peningkatan kapasitas energi baru dan terbarukan. Demikian pula Kementerian ESDM perlu mengevaluasi pendekatan "double track" yang mampu mempercepat tercapainya rasio elektrifikasi secara efisien dan berkeadilan. (*)
Maxensius Tri Sambodo
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Mahasiswa Program Doktoral di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar