http://www.indonesiafinancetoday.com/read/21548/Defisit-Perdagangan-Non-Migas-dengan-Jepang-Diperkirakan-Berlanjut
JAKARTA (IFT) – Defisit neraca perdagangan non-minyak dan gas (migas) Indonesia-Jepang diperkirakan akan terus berlanjut selama masih terjadi krisis global dan ekonomi Jepang belum pulih pascagempa bumi dan tsunami Maret 2011. Satwiko Darmesto, Direktur Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik, mengatakan surplus neraca perdagangan Indonesia-Jepang lebih disebabkan peningkatan ekspor migas akibat rusaknya reaktor nuklir di negara itu.
Penurunan kinerja ekspor Jepang berdampak pada pengurangan nilai perdagangan Indonesia-Jepang. Jepang diperkirakan membutuhkan waktu 1,5 tahun agar kinerja perdagangannya kembali normal. “Saat ini Jepang lebih banyak mengimpor sumberdaya alam dari Indonesia terutama gas karena reaktor nuklirnya rusak,” kata Satwiko.
Kinerja perdagangan non-migas Indonesia-Jepang sebelum krisis ekonomi 2008 masih cukup baik. Indonesia hanya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk memperbaiki kinerja perdagangan setelah menurun pada 2008, sehingga pada Desember 2009 neraca perdagangan non-migas dengan Jepang kembali normal. "Ekspor Indonesia ke Jepang seharusnya sudah membaik, namun karena perdagangan global secara keseluruhan turun maka ekspor Indonesia juga berkurang,” tuturnya.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan pada 2007 neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang surplus US$ 6,62 miliar, tetapi pada 2008 defisit US$ 1,07 miliar. Pada 2009, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang kembali surplus US$ 2,17 miliar. Sejak 2010, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang masih defisit. Sepanjang Januari-November 2010, defisit non-migas Indonesia-Jepang mencapai US$ 0,55 miliar. Sementara pada periode yang sama 2011, defisit non-migas mencapai US$ 0,69 miliar.
Impor Indonesia juga meningkat seiring pertumbuhan industri dalam negeri. Selama ini impor dari Jepang lebih banyak berupa bahan penolong dan barang modal yang kemudian diolah kembali untuk diekspor. "Kita mendapat nilai tambah dari impor barang-barang Jepang,” kata Satwiko.
Nurul Eti Nurbaiti, Analis PT BNI Tbk (BBNI), mengatakan defisit neraca perdagangan non- migas Indonesia-Jepang akan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan akibat pergeseran negara tujuan ekspor Indonesia dari Jepang ke China yang penduduknya besar. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara lain.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor non-migas Indonesia ke China pada November 2011 mencapai US$ 2,31 miliar, Jepang US$ 1,57 miliar, dan Amerika Serikat US$ 1,18 miliar. Kontribusi ketiga negara tersebut mencapai 36,83% terhadap total ekspor non-migas sebesar US$ 13,74 miliar.
Selain pergeseran negara tujuan, penurunan ekspor ke Jepang juga dikarenakan kondisi ekonomi negara itu yang stagnan dan bencana alam yang merusak industri. Penurunan ekspor ini juga disebabkan negara yang mengekspor komponen Jepang yaitu Thailand terkena banjir, sehingga semakin mempersulit kinerja perusahaan Jepang.
Nurul menambahkan ekspor migas Indonesia ke Jepang akan terus naik karena kedua produk tersebut sangat dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi. Impor Indonesia dari Jepang juga terus meningkat karena sebagian besar industri dalam negeri sangat bergantung pada impor barang modal dan penolong.
Latif Adam, Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan penurunan ekspor non-migas Indonesia ke Jepang dalam satu tahun terakhir karena ekonomi negara tersebut belum pulih pascagempa bumi dan tsunami. Hal ini menyebabkan kinerja industri Jepang turun sehingga permintaan terhadap produk Indonesia berkurang signifikan.
Namun, dalam proses rekonstruksi, Jepang membutuhkan banyak gas sehingga permintaan material ini akan semakin meningkat. Rekonstruksi Jepang yang semula diperkirakan selesai empat bulan setelah bencana ternyata berjalan lambat karena beberapa masalah seperti suksesi kepemimpinan. Selain gas, isu pengalihan sumber enegi dari nuklir ke batu bara juga berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia, sehingga surplus perdagangan berpeluang meningkat.
Telisa Aulia Falianty, Ekonom Spesialis Makro Ekonomi EC-Think, memperkirakan tren defisit perdagangan non-migas Indonesia-Jepang yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir masih akan terjadi tahun ini sejalan dengan pelemahan perdagangan ekonomi global. Impor Indonesia dari Jepang diprediksi tetap tinggi karena banyak industri dalam negeri yang membutuhkan bahan baku dan bahan penolong.
Pertumbuhan impor ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan industri dalam negeri. Sementara ekspor migas Indonesia ke diperkirakan akan terus naik karena kebutuhan migas Jepang yang cukup tinggi setelah rusaknya reaktor nuklir. (*)
JAKARTA (IFT) – Defisit neraca perdagangan non-minyak dan gas (migas) Indonesia-Jepang diperkirakan akan terus berlanjut selama masih terjadi krisis global dan ekonomi Jepang belum pulih pascagempa bumi dan tsunami Maret 2011. Satwiko Darmesto, Direktur Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik, mengatakan surplus neraca perdagangan Indonesia-Jepang lebih disebabkan peningkatan ekspor migas akibat rusaknya reaktor nuklir di negara itu.
Penurunan kinerja ekspor Jepang berdampak pada pengurangan nilai perdagangan Indonesia-Jepang. Jepang diperkirakan membutuhkan waktu 1,5 tahun agar kinerja perdagangannya kembali normal. “Saat ini Jepang lebih banyak mengimpor sumberdaya alam dari Indonesia terutama gas karena reaktor nuklirnya rusak,” kata Satwiko.
Kinerja perdagangan non-migas Indonesia-Jepang sebelum krisis ekonomi 2008 masih cukup baik. Indonesia hanya membutuhkan waktu 1,5 tahun untuk memperbaiki kinerja perdagangan setelah menurun pada 2008, sehingga pada Desember 2009 neraca perdagangan non-migas dengan Jepang kembali normal. "Ekspor Indonesia ke Jepang seharusnya sudah membaik, namun karena perdagangan global secara keseluruhan turun maka ekspor Indonesia juga berkurang,” tuturnya.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan pada 2007 neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang surplus US$ 6,62 miliar, tetapi pada 2008 defisit US$ 1,07 miliar. Pada 2009, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang kembali surplus US$ 2,17 miliar. Sejak 2010, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang masih defisit. Sepanjang Januari-November 2010, defisit non-migas Indonesia-Jepang mencapai US$ 0,55 miliar. Sementara pada periode yang sama 2011, defisit non-migas mencapai US$ 0,69 miliar.
Impor Indonesia juga meningkat seiring pertumbuhan industri dalam negeri. Selama ini impor dari Jepang lebih banyak berupa bahan penolong dan barang modal yang kemudian diolah kembali untuk diekspor. "Kita mendapat nilai tambah dari impor barang-barang Jepang,” kata Satwiko.
Nurul Eti Nurbaiti, Analis PT BNI Tbk (BBNI), mengatakan defisit neraca perdagangan non- migas Indonesia-Jepang akan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan akibat pergeseran negara tujuan ekspor Indonesia dari Jepang ke China yang penduduknya besar. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga negara lain.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan ekspor non-migas Indonesia ke China pada November 2011 mencapai US$ 2,31 miliar, Jepang US$ 1,57 miliar, dan Amerika Serikat US$ 1,18 miliar. Kontribusi ketiga negara tersebut mencapai 36,83% terhadap total ekspor non-migas sebesar US$ 13,74 miliar.
Selain pergeseran negara tujuan, penurunan ekspor ke Jepang juga dikarenakan kondisi ekonomi negara itu yang stagnan dan bencana alam yang merusak industri. Penurunan ekspor ini juga disebabkan negara yang mengekspor komponen Jepang yaitu Thailand terkena banjir, sehingga semakin mempersulit kinerja perusahaan Jepang.
Nurul menambahkan ekspor migas Indonesia ke Jepang akan terus naik karena kedua produk tersebut sangat dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi. Impor Indonesia dari Jepang juga terus meningkat karena sebagian besar industri dalam negeri sangat bergantung pada impor barang modal dan penolong.
Latif Adam, Peneliti Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan penurunan ekspor non-migas Indonesia ke Jepang dalam satu tahun terakhir karena ekonomi negara tersebut belum pulih pascagempa bumi dan tsunami. Hal ini menyebabkan kinerja industri Jepang turun sehingga permintaan terhadap produk Indonesia berkurang signifikan.
Namun, dalam proses rekonstruksi, Jepang membutuhkan banyak gas sehingga permintaan material ini akan semakin meningkat. Rekonstruksi Jepang yang semula diperkirakan selesai empat bulan setelah bencana ternyata berjalan lambat karena beberapa masalah seperti suksesi kepemimpinan. Selain gas, isu pengalihan sumber enegi dari nuklir ke batu bara juga berpotensi meningkatkan ekspor Indonesia, sehingga surplus perdagangan berpeluang meningkat.
Telisa Aulia Falianty, Ekonom Spesialis Makro Ekonomi EC-Think, memperkirakan tren defisit perdagangan non-migas Indonesia-Jepang yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir masih akan terjadi tahun ini sejalan dengan pelemahan perdagangan ekonomi global. Impor Indonesia dari Jepang diprediksi tetap tinggi karena banyak industri dalam negeri yang membutuhkan bahan baku dan bahan penolong.
Pertumbuhan impor ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan industri dalam negeri. Sementara ekspor migas Indonesia ke diperkirakan akan terus naik karena kebutuhan migas Jepang yang cukup tinggi setelah rusaknya reaktor nuklir. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar