JAKARTA. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia sudah pasti
akan berdampak pada melambatnya kinerja perdagangan internasional pada
tahun depan. Pasalnya, melambatnya pertumbuhan ekonomi akan menurunkan
permintaan dan harga produk komoditas. Jika hal ini terjadi, bisa jadi
target penerimaan negara dari perdagangan internasional tak akan
tercapai.
Ke depan, tren perdagangan dunia diperkirakan turun seiring dengan perlambatan permintaan. Alhasil, penerimaan negara dari sektor perdagangan internasional yaitu bea masuk dan bea keluar juga diperkirakan menurun.
Pengamat Ekonomi Fadhil Hasan mengungkapkan, perlambatan ekonomi yang terjadi tahun depan memang akan membuat kinerja ekspor melambat, dan berdampak pada penurunan penerimaan bea keluar. Apalagi, Selama ini penerimaan bea keluar sangat tergantung pada CPO, hampir 90% BK itu dari CPO.
Makanya, "Melihat gejolak ekonomi yang berimbas pada turunnya permintaan, maka target penerimaan negara dari perdagangan internasional tahun depan sepertinya tidak realistis, dan tidak mudah untuk dicapai," ungkapnya Minggu (13/11).
Ia menambahkan, sebenarnya perlambatan permintaan yang cukup drastis terjadi di kawasan Eropa, sedangkan permintaan dari China dan India masih cukup normal, artinya sampai saat ini belum ada imbas langsungnya. Tapi, Fadhil mengingatkan, jika Eropa terpukul, maka akan berdampak pada perekonomian di negara lain. "CPO masih cukup normal, tapi akan ada koreksi jika gejolak Eropa semakin tidak terkendali," kata Fadhil.
Seperti diketahui, dalam APBN 2012 pemerintah mematok target pendapatan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 42,933 triliun. Rinciannya, sebanyak Rp 23,73 triliun pendapatan bea masuk dan Rp 19,199 triliun. Jika dibandingkan dengan APBN P 2011 di mana target penerimaan dari perdagangan internasional sebesar Rp 46,94 triliun, maka target penerimaan dari perdagangan tahun depan memang lebih rendah.
Hanya saja, pos penerimaan bea masuk pada APBN 2012 masih lebih tinggi ketimbang APBNP 2011 yang sebesar Rp 21,5 triliun. Sebaliknya, untuk bea keluar justru lebih rendah ketimbang APBNP 2011 yang sebesar Rp 25,439 triliun.
Kinerja ekspor nasional di akhir tahun ini sudah mulai merasakan dampak dari melambatnya perdagangan luar negeri. Buktinya, pada September 2011 nilai ekspor Indonesia tercatat hanya sebesar US$ 17,82 miliar, lebih rendah ketimbang ekspor Agustus yang sebesar US$ 18,81 miliar. Sedangkan impor, pada September 2011 tercatat sebesar US$ 15,10 miliar, masih lebih tinggi ketimbang Agustus 2011 yang sebesar US$ 25,05 miliar.
Direktur Eksekutif INDEF Ahmad Erani Yustika juga bilang target penerimaan dari sektor perdagangan internasional ini kemungkinan tidak tercapai karena pelemahan ekonomi global akan menekan perdagangan internasional. "Kalau besaran tarif bea keluar tidak naik, maka sulit untuk mencapai target, karena sebagian besar penerimaan (perdagangan internasional) berasal dari bea keluar," katanya.
Hanya saja, ia masih yakin penurunan bea keluar ini tidak akan terlalu drastis jika krisis Eropa bisa dilokalisir. Pasalnya, jika krisis Eropa tidak menjalar, maka ekspor ke negara di luar Eropa masih bisa tumbuh, sehingga mengkontribusi pendapatan bea keluar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono mengatakan target penerimaan perdagangan internasional tahun depan memang cukup berat. Alasannya, selain kenaikannya cukup signifikan, ada ancaman penurunan harga komoditas akibat penurunan permintaan. "Padahal selama ini CPO adalah penyumbang terbesar dari pos perdagangan internasional," ungkapnya.
Dalam APBN 2012, pemerintah justru menaikkan target penerimaan bea masuk menjadi Rp 23,73 triliun, dari Rp 21,5 triliun dalam APBNP 2011. Sedangkan untuk bea masuk, pemerintah justru menurunkan targetnya dari Rp 25,44 triliun di APBNP 2011 menjadi hanya Rp 19,199 triliun dalam APBN 2012.
Mengenai ini, Erani mengatakan jika perdagangan dunia melesu, permintaan produk-produk buatan Indonesia melemah, termasuk produk yang bahan bakunya berasal dari impor. "Industri yang kita kembangkan di dalam negeri banyak yang komponennya dari luar negeri, makanya kalau permintaan turun, bisa jadi impornya juga turun," katanya.
Hanya saja, Erani masih meyakini meskipun turun, tapi kemungkinan penerimaan dari perdagangan Internasional tahun depan tidak akan banyak meleset dari target yang dipatok. Ia beralasan, "Pemerintah biasanya mematok target yang konservatif, sehingga sangat mudah dicapai," ungkapnya.
Selain itu, Erani melihat krisis yang terjadi pada saat ini tidak separah tahun 2008 lalu. Menurutnya, meskipun ekonomi Eropa dan Amerika Serikat masih tertekan, tapi ekonomi negara-negara lain masih bisa bertahan. "Jepang juga sudah mulai bangkit, meskipun sempat terpuruk akibat tsunami," jelasnya.
Ke depan, tren perdagangan dunia diperkirakan turun seiring dengan perlambatan permintaan. Alhasil, penerimaan negara dari sektor perdagangan internasional yaitu bea masuk dan bea keluar juga diperkirakan menurun.
Pengamat Ekonomi Fadhil Hasan mengungkapkan, perlambatan ekonomi yang terjadi tahun depan memang akan membuat kinerja ekspor melambat, dan berdampak pada penurunan penerimaan bea keluar. Apalagi, Selama ini penerimaan bea keluar sangat tergantung pada CPO, hampir 90% BK itu dari CPO.
Makanya, "Melihat gejolak ekonomi yang berimbas pada turunnya permintaan, maka target penerimaan negara dari perdagangan internasional tahun depan sepertinya tidak realistis, dan tidak mudah untuk dicapai," ungkapnya Minggu (13/11).
Ia menambahkan, sebenarnya perlambatan permintaan yang cukup drastis terjadi di kawasan Eropa, sedangkan permintaan dari China dan India masih cukup normal, artinya sampai saat ini belum ada imbas langsungnya. Tapi, Fadhil mengingatkan, jika Eropa terpukul, maka akan berdampak pada perekonomian di negara lain. "CPO masih cukup normal, tapi akan ada koreksi jika gejolak Eropa semakin tidak terkendali," kata Fadhil.
Seperti diketahui, dalam APBN 2012 pemerintah mematok target pendapatan pajak perdagangan internasional sebesar Rp 42,933 triliun. Rinciannya, sebanyak Rp 23,73 triliun pendapatan bea masuk dan Rp 19,199 triliun. Jika dibandingkan dengan APBN P 2011 di mana target penerimaan dari perdagangan internasional sebesar Rp 46,94 triliun, maka target penerimaan dari perdagangan tahun depan memang lebih rendah.
Hanya saja, pos penerimaan bea masuk pada APBN 2012 masih lebih tinggi ketimbang APBNP 2011 yang sebesar Rp 21,5 triliun. Sebaliknya, untuk bea keluar justru lebih rendah ketimbang APBNP 2011 yang sebesar Rp 25,439 triliun.
Kinerja ekspor nasional di akhir tahun ini sudah mulai merasakan dampak dari melambatnya perdagangan luar negeri. Buktinya, pada September 2011 nilai ekspor Indonesia tercatat hanya sebesar US$ 17,82 miliar, lebih rendah ketimbang ekspor Agustus yang sebesar US$ 18,81 miliar. Sedangkan impor, pada September 2011 tercatat sebesar US$ 15,10 miliar, masih lebih tinggi ketimbang Agustus 2011 yang sebesar US$ 25,05 miliar.
Direktur Eksekutif INDEF Ahmad Erani Yustika juga bilang target penerimaan dari sektor perdagangan internasional ini kemungkinan tidak tercapai karena pelemahan ekonomi global akan menekan perdagangan internasional. "Kalau besaran tarif bea keluar tidak naik, maka sulit untuk mencapai target, karena sebagian besar penerimaan (perdagangan internasional) berasal dari bea keluar," katanya.
Hanya saja, ia masih yakin penurunan bea keluar ini tidak akan terlalu drastis jika krisis Eropa bisa dilokalisir. Pasalnya, jika krisis Eropa tidak menjalar, maka ekspor ke negara di luar Eropa masih bisa tumbuh, sehingga mengkontribusi pendapatan bea keluar.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Agung Kuswandono mengatakan target penerimaan perdagangan internasional tahun depan memang cukup berat. Alasannya, selain kenaikannya cukup signifikan, ada ancaman penurunan harga komoditas akibat penurunan permintaan. "Padahal selama ini CPO adalah penyumbang terbesar dari pos perdagangan internasional," ungkapnya.
Dalam APBN 2012, pemerintah justru menaikkan target penerimaan bea masuk menjadi Rp 23,73 triliun, dari Rp 21,5 triliun dalam APBNP 2011. Sedangkan untuk bea masuk, pemerintah justru menurunkan targetnya dari Rp 25,44 triliun di APBNP 2011 menjadi hanya Rp 19,199 triliun dalam APBN 2012.
Mengenai ini, Erani mengatakan jika perdagangan dunia melesu, permintaan produk-produk buatan Indonesia melemah, termasuk produk yang bahan bakunya berasal dari impor. "Industri yang kita kembangkan di dalam negeri banyak yang komponennya dari luar negeri, makanya kalau permintaan turun, bisa jadi impornya juga turun," katanya.
Hanya saja, Erani masih meyakini meskipun turun, tapi kemungkinan penerimaan dari perdagangan Internasional tahun depan tidak akan banyak meleset dari target yang dipatok. Ia beralasan, "Pemerintah biasanya mematok target yang konservatif, sehingga sangat mudah dicapai," ungkapnya.
Selain itu, Erani melihat krisis yang terjadi pada saat ini tidak separah tahun 2008 lalu. Menurutnya, meskipun ekonomi Eropa dan Amerika Serikat masih tertekan, tapi ekonomi negara-negara lain masih bisa bertahan. "Jepang juga sudah mulai bangkit, meskipun sempat terpuruk akibat tsunami," jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar