Rabu, 21 September 2011

Politik Perberasan

Oleh MAKMUN SYADULLAH
Sumber: Kompas, 21 September 2011

Pada 1956, Leon Mears dari Universitas Wisconsin, Amerika Serikat, menulis buku tentang ekonomi beras atas permintaan Bulog. Begitu penting buku ini: pada 1981 ditulis ulang.
Catatan terpenting yang perlu dikemukakan dari buku itu ialah bahwa berdasarkan hasil survei Mears, produksi beras yang dilaporkan Kantor Pusat Statistik, nama dulu untuk Badan Pusat Statistik (BPS) sekarang, lebih rendah sekitar 9,5 persen dari angka aktual dan faktor konversi dari gabah menjadi padi lebih tinggi 5 persen dari yang sesungguhnya. Gabungan koreksi keduanya memberikan hasil akhir data produksi beras yang dilaporkan melampaui estimasi sekitar 8 persen.

Laporan produksi beras yang lebih rendah dari angka aktual mengakibatkan seolah-olah produksi beras di dalam negeri tak cukup memenuhi kebutuhan. Dengan alasan inilah mungkin pemerintah saat itu mengambil kebijakan melakukan impor beras. Buktinya: satu tahun setelah buku Mears terbit, pemerintah mengimpor beras.
Impor beras pada mulanya dilakukan swasta. Sejak tahun 1957 JUBM (Jajasan Urusan Bahan Makanan) mengimpor beras dengan kontrak P ke P, pemerintah ke pemerintah. Perubahan prosedur impor masih menimbulkan banyak masalah, antara lain kualitas beras impor yang rendah dan risiko politik apabila terjadi kelangkaan beras di pasar. Faktanya sekarang ini ketergantungan Indonesia pada impor beras sudah begitu tinggi.
Setiap tahun impor beras cenderung meningkat. Bahkan, sejak 1998 impor beras telah mencapai 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada 1999. Dengan itu, Indonesia menjadi (negara) importir beras terbesar di dunia. Ketergantungan impor beras ini sejatinya tak terlepas dari kebutuhan dalam negeri yang amat besar, harga beras di pasar internasional yang rendah, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, dan adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir.
Dalam konteks impor beras, dua hal yang menjadi pertanyaan. Benarkah perberasan kita sebegitu parah sehingga pemerintah setiap tahun harus impor beras? Mangkuskah kebijakan impor beras terhadap harga beras di dalam negeri? Dua pertanyaan ini amat vital sebab jawaban atas pertanyaan inilah landasan pemerintah ke depan dalam mengambil kebijakan impor beras.
Kebijakan tak mangkus
Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS, dalam empat tahun terakhir (2007-2010) produksi beras nasional meningkat cukup signifikan: dari 34.578.885 ton (2007) menjadi 41.396.272 ton (November 2010). Sementara itu, impor beras pada 2007 mencapai 1.293.980 ton dan pada 2010 turun drastis menjadi 228.000 ton. Dalam kurun tahun 2008-2009, menurut Laporan Operasional Perum Bulog, Indonesia tidak mengimpor beras.
Dari perkembangan produksi dan impor beras di atas, sulit mengambil kesimpulan apakah dalam kurun 2008-2009 Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras hanya karena pemerintah tidak mengimpor beras. Selanjutnya, jika dihubungkan dengan temuan Mears, kita berharap jangan sampai kasus tahun 1957 terulang kembali. Jika memang sudah swasembada beras, mengapa Indonesia masih harus impor beras?
Terlepas dari masalah swasembada beras, data perkembangan harga beras di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara pengimpor beras besar seperti Filipina, Banglades, China, dan Vietnam, harga beras Indonesia adalah yang termahal.
Berdasarkan data pada Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), per Juni 2011 harga beras rata-rata di tingkat eceran di Indonesia 1,04 dollar AS per kilogram. Pada saat yang sama harga di Manila 0,69 dollar AS per kilogram; di Banglades 0,38 dollar AS per kilogram; di China berdasarkan harga rata-rata di 50 kota untuk beras kualitas kedua di tingkat eceran sedikit di bawah Indonesia: 0,83 dollar AS per kilogram; dan di Vietnam hanya 0,41 dollar AS per kilogram.
Sementara itu, harga beras di Thailand sebagai negara asal impor Indonesia ialah 0,44 dollar AS per kilogram.
Masih terkait dengan harga beras: dengan kebijakan tidak impor beras pada 2008, dapat disimpulkan bahwa kebijakan impor beras selama ini tidak mangkus. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta bahwa pada saat pemerintah tak mengimpor beras, harga beras di dalam negeri dapat lebih rendah daripada harga beras di Thailand yang notabene adalah negara pengekspor beras
Berdasarkan data pada FAO, harga beras di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 0,7 dollar AS per kilogram, sementara harga beras di Thailand sempat melambung tinggi: 0,8 dollar AS per kilogram.
Sementara itu, pada 2010 dan 2011, saat pemerintah mengimpor beras, justru harga beras di dalam negeri semakin tinggi melambung. Harga beras di dalam negeri pada 2010 mencapai 1,01 dollar AS per kilogram dan pada 2011 (Juni) naik menjadi 1,09 dollar AS per kilogram. Padahal, harga beras di Thailand pada 2010 sangat murah sekali: 0,45 dollar AS per kilogram dan pada 2011 (Juni) turun menjadi 0,43 dollar AS per kilogram.
Termahal di dunia
Terlalu tingginya disparitas antara harga beras di Thailand sebagai negara asal impor beras Indonesia dan harga beras di dalam negeri menunjukkan kegagalan tujuan kebijakan impor beras. Dengan membandingkan harga beras impor yang lebih murah, semestinya harga beras di dalam negeri akan semakin murah. Namun, faktanya, harga beras di Indonesia justru menjadi yang termahal di dunia.
Keadaan itu mengundang pertanyaan: sebenarnya siapa yang sedang memainkan ”politik perberasan”? Pertanyaan ini lagi-lagi menemukan aktualitasnya dengan fakta bahwa dalam melakukan impor beras pada 2011 ini, Bulog tengah mengajukan pembebasan atas bea masuk impor beras.
Tidak selayaknya impor beras ini dibebaskan dari bea masuk sebab dengan disparitas yang cukup tinggi antara harga beras di Thailand dan Indonesia masih dimungkinkan bahwa harga beras di dalam negeri ditekan lebih rendah lagi. Jangan sampai negara merugi dua kali: kebijakan impor tidak mangkus dan negara berpotensi kehilangan pendapatan negara.
MAKMUN SYADULLAH Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan; Ini Pendapat Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar