Selasa, 27 September 2011

Efektivitas Sensus Pajak Orang Pribadi

Oleh: Makmun Syadullah
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Sumber: Harian The 1st Times, 27 September 2011
Tulisan ini adalah pendapat pribadi


Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan berencana akan melakukan Sensus Pajak Nasional (SPN) pada akhir September 2011. Adapun obyek sensus pajak adalah kepada orang pribadi dan badan usaha. Menurut Dirjen Pajak, Fuad Rahmany,  SPN ini disamping untuk tujuan pendataan, juga dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada masyarakat, agar lebih memahami mengenai pajak.
Hasil SPN untuk selanjutnya akan dipakai sebagai dasar oleh Direktorat Jendral Pajak untuk melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Sebagaimana diketahui bahwa dalam RAPBN 2012 Direktorat Jendral Pajak mendapat beban untuk mengumpulkan pajak mencapai Rp 1000 triliun. Dengan demikian melalui SPN ini diharapkan akan terjaring wajib pajak yang belum terdaftar dan objek pajak yang belum terpajaki, serta intensifikasi yaitu optimalisasi pemajakan atas objek pajak yang belum sepenuhnya dipajaki.
Terkait dengan rencana SPN timbul perbedatan mana yang akan disensus terlebih dahulu, apakah wajib pajak orang pribadi atau badan usaha terlebih dahulu. Terdapat berbagai kalangan yang menyarankan agar yang disensus adalah wajib pajak pribadi terlebih dahulu, karena untuk badan usaha sudah ada audit, sehingga Direktorat Jendral Pajak dapat menfaatkan hasil audit untuk menghitung potensi penerimaan pajak. Sementara itu pilihan obyek sensus wajib pajak orang pribadi kemungkinan besar akan terkendala oleh Undang-Undang Kerahasiaan Bank. Hal ini sudah disadari sepenuhnya oleh Dirjen Pajak, bahwa aturan kerahasian bank sangat menyulitkan Direktorat Jendral Pajak dalam melakukan sensus.

Tidak Efektif
Terlepas dari perdebatan mana yang akan didahulukan untuk disensus apakah wajib pajak orang pribadi atau badan usaha terlebih dahulu, sebaiknya  Direktorat Jendral Pajak mengevaluasi kembali rencana SPN dengan menyusun metodologi yang baik, sehingga nantinya diharapkan akan menghasilkan output yang maksimal dengan biaya yang relative lebih murah.
Pilihan sensus berimplikasi bahwa seluruh penduduk di wilayah Indonesia akan menjadi obyek pencacahan. Tentunya ini tidak akan efektif dan biaya yang dibutuhkan juga terlalu besar. Dari sisi siapa yang akan menjadi obyek sensus Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya sudah dapat mengekspektasi pada level pendapatan berapa masyarakat yang terkena pajak. Dengan memetakan data penduduk Indonesia berdasarkan tingkat pendapatan, sebenarnya tidak perlu dilakukan SPN. Direktorat Jenderal Pajak  cukup melakukan survey pajak dengan mempersempit obyek pajak atau memilih sampel obyek pajak yang tepat. 
Dalam konteks sampel survey ini, terutama untuk obyek orang pajak pribadi,  sebaiknya dibedakan antara masyarakat yang bekerja pada sector formal dan non formal. Untuk obyek survey yang bekerja pada sektor formal, obyek survey dapat didekati dari upah minimal propinsi (UMP). Apabila pendapatan masyarakat dengan mengacu pada UMP menurut Direktorat Jenderal Pajak sudah wajib bayar pajak, maka sampel survey dapat dipilih dari seluruh masyarakat yang bekerja pada sektor formal. Sebaliknya apabila UMP belum mencukupi untuk menjadi obyek pajak, maka sample dapat dipilih dari pekerja yang berpenghasilan di atas UMP, demikian seterusnya.
Sementara itu untuk masyarakat yang bekerja pada sektor non formal, sampel survey dapat didekati berdasarkan jenis pekerjaannya. Sebagai contoh, untuk masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian, sebelum menentukan sampel, harus ditetapkan terlebih dahulu berapa batasan luasan lahan yang akan memberikan penghasilan bagi pemiliknya setara dengan batasan penghasilan kena pajak. Dengan ditetapkannya luasan lahan tertentu, maka dalam mencari sampel juga akan semakin mudah.
Efektivitas SPN juga akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan sumber daya manusia yang akan melakukan survey. Tidak mungkin SPN ini hanya akan melibatkan pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, tentunya akan direkrut tenaga lepas. Pengalaman selama ini tenaga lepas ini dalam melakukan survey tidak professional. Hal ini dapat dibuktikan dari survey-survey yang dilakukan Badan Pusat Statistik dalam sensus penduduk maupun sensul lainnya. Untuk mendapatkan data yang sifatnya umum saja mereka asal-asalan dalam melakukan survey, apalagi survey pajak yang berkaitan dengan data pendapatan. Dikhawatirkan data yang didapat dari SPN jauh dari akurat. Bahkan yang lebih berbahaya lagi apabila data dikarang-karang oleh petugas survey, karena tidak terbukanya masyarakat dalam memberikan jawaban.

Akhirnya, untuk mendapatkan data potensi penerimaan pajak yang akurat, Direktorat Jenderal Pajak tidak perlu melakukan SPN. Sebagai gantinya disarankan cukup dilakukan survey dengan sampel yang lebih kecil, namun cukup mewakili. Dengan metodologi seperti ini output yang dihasilkan dapat lebih dipertanggungjawabkan. Untuk pemilihan sampel sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik. Sementara itu untuk pelaksanaan survey lapangan, sebaiknya bekerjasama dengan berbagai perguruan tinggi terkemuka di berbagai daerah dan lembaga swadaya masyarakat yang kredibel. Perekrutan tenaga survey lapang asal-asalan hanya akan membuah-buang waktu dan biaya saja, hasilnya kemungkinan sangat jauh dari harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar