JAKARTA: Pemerintah mengklaim kondisi APBN sehat di tengah lonjakan
harga minyak dunia, sehingga anggaran pos nonprioritas untuk menutupi
pembengkakan subsidi turun menjadi Rp16,9 triliun dari rencana awal Rp20
triliun. Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo menuturkan meskipun
tren harga minyak dunia meningkat, rata-rata harga minyak Indonesia
(Indonesia Crude Price/ICP) sepanjang 2011 sekitar US$86 per barel,
masih di dalam kisaran asumsi APBN 2011.
“Secara umum kami punya APBN [anggaran pendapatan dan belanja negara]
sehat,“ ujarnya seusai melantik pejabat eselon II Kemenkeu, kemarin.
Di Istana Negara, seusai mengikuti sidang kabinet, Menkeu mengatakan
harga minyak mentah kini di kisaran US$100 per barel, tetapi selama
April 2010 hingga Maret 2011 harga rata-rata US$86 per barel, sehingga
belum berdampak besar terhadap beban APBN 2011.
Harga kontrak minyak mentah untuk pengiriman April naik menjadi
US$103,66 per barel pada perdagangan di New York Mercantile Exchange dan
diperdagangkan pada level US$102,84 pada pukul 09:24 waktu London,
kemarin.
Sebelumnya, Menkeu mengatakan pemerintah berencana menggunakan hasil
penghematan anggaran belanja rutin kementerian/lembaga negara (K/L) atau
pemerintah pusat, sebesar Rp20 triliun, sebagai dana siaga untuk
menutup pembengkakan subsidi BBM.
Pasalnya, penundaaan pembatasan konsumsi BBM dipastikan meningkatkan
beban subsidi sekitar Rp3 triliun hingga Rp6 triliun setahun, sementara
pemerintah belum memberikan sinyal akan menaikkan harga BBM di dalam
negeri. (Bisnis, 25 Februari)
Lebih jauh, Agus mengatakan belanja negara memang berpotensi meningkat
dengan lonjakan harga minyak mentah dunia, tetapi ada potensi kompensasi
dari penghematan biaya utang akibat penguatan nilai tukar rupiah.
Dia mengestimasi setiap penguatan Rp100 per dolar AS di atas asumsi
Rp9.2150 pada APBN 2011 akan menghemat belanja negara sekitar Rp1,7
triliun. Peningkatan ICP per US$1 akan menambah subsidi Rp800 miliar.
“Jadi manfaat dari kurs menguat dibanding ICP yang meningkat masih
memberikan manfaat kepada anggaran. Secara umum anggaran RI baik. Jadi
tidak perlu kami melakukan revisi anggaran,“ jelasnya.
Bambang Permadi Sumantri Brodjonegoro, Plt Kepala Badan Kebijakan
Fiskal, menuturkan sejumlah asumsi makroekonomi yang dipastikan tidak
berubah adalah pertumbuhan ekonomi tetap 6,3%, dan suku bunga SBI 3
bulan sebesar 6,5%.
Asumsi nilai tukar akan diperkuat dari Rp9.250 per dolar AS, ICP akan
lebih tinggi dari US$80 per barel, dan inflasi masih perlu melihat
perkembangan 4 bulan pertama 2011.
Secara terpisah, Harry Azhar Azis, Ketua Komisi XI DPR, kepada Bisnis
belum lama ini, mengatakan jika harga rata-rata ICP senilai US$100 per
barel sepanjang 2011, maka beban subsidi berpotensi naik Rp23,5 triliun.
Apabila beban defisit membengkak, Harry menilai pemerintah seharusnya
tidak hanya memangkas belanja tetapi juga menggenjot penerimaan pajak
untuk menambal defisit.
Permasalahan utama saat ini, lanjut dia, pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi selalu tertunda dan hanya sebatas wacana. Padahal, sekitar
80% BBM bersubsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida S. Alisjahbana mengatakan pada satu
sisi kenaikan harga minyak bisa mendongkrak pendapatan jika saja
diiringi dengan peningkatan produksi. Namun, jika dilihat dari sisi
impor maka peningkatan tersebut malah akan membebani keuangan negara.
Di sisi lain, anggota komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Meutya Hafid
meminta agar pemerintah mengambil sikap tegas dan cepat untuk merespons
lonjakan harga minyak yang diperkirakan dapat menyentuh US$130-US$140
per barel “Dengan sikap pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar
minyak dan pengunduran jadwal pengaturan BBM bersubsidi, agar secara
logika `menambal' bolong APBN yang cukup besar itu,“ ujarnya.
Untuk sektor produktif Ekonom Institute for Development of Economics
and Finance Indonesia Aviliani menilai pemerintah seharusnya bisa
mengalihkan sisa dana penghematan itu untuk sektor-sektor produktif,
seperti pembangunan infrastruktur, dan tidak ke subsidi listrik maupun
BBM.
“Semakin tinggi disparitas harga BBM subsidi dengan harga pasar, akan
semakin tinggi terjadinya moral hazard. Banyak BBM bersubsidi RI yang
akhirnya dijual ke luar negeri,“ jelasnya.
Menkeu juga menyinggung tantangan produksi (lifting) minyak mencapai
target 970.000 barel per hari (bph) pada 2011, a.l. pemberlakuan asas
cabotage atas peralatan eksplorasi yang dianggap sama sebagai kapal dan
kebocoran pipa gas menuju kilang minyak di Jawa dan Sumatra.
“Sehingga dari Menteri ESDM dan BP Migas, asumsi itu mungkin dapat
bergerak antara 945.000 sampai 970.000 bph. Namun, dalam sidang dengan
Badan Anggran DPR, Menteri ESDM tetap akan fokus ke (target) 970.000
bph,“ jelasnya.
Merespons mengenai asas cabotage ini, operator pelayaran menilai asas
cabotage bukan pemicu utama tidak tercapainya target lifting minyak
nasional, apalagi DPR dan pemerintah sepakat untuk mengakomodasi
kepentingan kapal offshore kelompok C dengan aturan khusus.
Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Indonesian
National Shipowners' Association (INSA) Paulis A. Djohan mengatakan
kapal untuk kegiatan pe ngeboran dan eksplorasi akan diatur khusus.
diatur khusus.
Dia mengatakan pihak nya tetap meminta agar aturan khusus bagi kapal
kelompok C itu tetap mengu tamakan kepentingan nasio nal, yakni bisa
tersedia kapal nasional, wajib digunakan oleh pengusaha nasional.
Kapal yang diatur adalah armada jenis survei, baik seismik 3D dan 2D,
kapal pengeboran, yakni jenis drill ing ship, semi submerible rig, jack
up rig, dan tender assist rig, serta kapal kontruksi lepas pantai, yakni
jenis pipe lay barge dan cable laying barge.
Paulis meminta DPR dan DPD dapat mengawal penyu sunan aturan khusus
untuk kapal kelompok C agar ke pentingan nasional tetap di kedepankan,
meski sulit dilakukan.
Sementara itu, Indonesian Cabotage Advocation Forum (Incafa)
mempertanyakan pro ses pembinaan regulator migas terhadap KKKS dalam me
menuhi aturan cabotage RI.
Idris Sikumbang, Koordinator Incafo Fakultas Teknik Univer sitas
Indonesia, menjelaskan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR,
operator migas baru mengetahui ada ketentuan cabotage setelah UU No. 17
tahun 2008 tentang Pela yaran terbit. (10/ANGGI OKTA RINDA/TULARJI/IRSAD
SATI /LINDA T SILITONGA/ NENENG HARBAWATI)
(agust.supriadi@bisnis.co.id/bambang.
jatmiko@bisnis.co.id)
jatmiko@bisnis.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar