Minggu, 14 Agustus 2011

Tetap kuat, APBN tak terpeleset minyak

Large_agus_martowardojo-dgJAKARTA: Pemerintah mengklaim kondisi APBN sehat di tengah lonjakan harga minyak dunia, sehingga anggaran pos nonprioritas untuk menutupi pembengkakan subsidi turun menjadi Rp16,9 triliun dari rencana awal Rp20 triliun. Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo menuturkan meskipun tren harga minyak dunia meningkat, rata-rata harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sepanjang 2011 sekitar US$86 per barel, masih di dalam kisaran asumsi APBN 2011.
“Secara umum kami punya APBN [anggaran pendapatan dan belanja negara] sehat,“ ujarnya seusai melantik pejabat eselon II Kemenkeu, kemarin.
Di Istana Negara, seusai mengikuti sidang kabinet, Menkeu mengatakan harga minyak mentah kini di kisaran US$100 per barel, tetapi selama April 2010 hingga Maret 2011 harga rata-rata US$86 per barel, sehingga belum berdampak besar terhadap beban APBN 2011.
Harga kontrak minyak mentah untuk pengiriman April naik menjadi US$103,66 per barel pada perdagangan di New York Mercantile Exchange dan diperdagangkan pada level US$102,84 pada pukul 09:24 waktu London, kemarin.
Sebelumnya, Menkeu mengatakan pemerintah berencana menggunakan hasil penghematan anggaran belanja rutin kementerian/lembaga negara (K/L) atau pemerintah pusat, sebesar Rp20 triliun, sebagai dana siaga untuk menutup pembengkakan subsidi BBM.
Pasalnya, penundaaan pembatasan konsumsi BBM dipastikan meningkatkan beban subsidi sekitar Rp3 triliun hingga Rp6 triliun setahun, sementara pemerintah belum memberikan sinyal akan menaikkan harga BBM di dalam negeri. (Bisnis, 25 Februari)
Lebih jauh, Agus mengatakan belanja negara memang berpotensi meningkat dengan lonjakan harga minyak mentah dunia, tetapi ada potensi kompensasi dari penghematan biaya utang akibat penguatan nilai tukar rupiah.
Dia mengestimasi setiap penguatan Rp100 per dolar AS di atas asumsi Rp9.2150 pada APBN 2011 akan menghemat belanja negara sekitar Rp1,7 triliun. Peningkatan ICP per US$1 akan menambah subsidi Rp800 miliar.
“Jadi manfaat dari kurs menguat dibanding ICP yang meningkat masih memberikan manfaat kepada anggaran. Secara umum anggaran RI baik. Jadi tidak perlu kami melakukan revisi anggaran,“ jelasnya.
Bambang Permadi Sumantri Brodjonegoro, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal, menuturkan sejumlah asumsi makroekonomi yang dipastikan tidak berubah adalah pertumbuhan ekonomi tetap 6,3%, dan suku bunga SBI 3 bulan sebesar 6,5%.
Asumsi nilai tukar akan diperkuat dari Rp9.250 per dolar AS, ICP akan lebih tinggi dari US$80 per barel, dan inflasi masih perlu melihat perkembangan 4 bulan pertama 2011.
Secara terpisah, Harry Azhar Azis, Ketua Komisi XI DPR, kepada Bisnis belum lama ini, mengatakan jika harga rata-rata ICP senilai US$100 per barel sepanjang 2011, maka beban subsidi berpotensi naik Rp23,5 triliun.
Apabila beban defisit membengkak, Harry menilai pemerintah seharusnya tidak hanya memangkas belanja tetapi juga menggenjot penerimaan pajak untuk menambal defisit.
Permasalahan utama saat ini, lanjut dia, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi selalu tertunda dan hanya sebatas wacana. Padahal, sekitar 80% BBM bersubsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat menengah ke atas.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Armida S. Alisjahbana mengatakan pada satu sisi kenaikan harga minyak bisa mendongkrak pendapatan jika saja diiringi dengan peningkatan produksi. Namun, jika dilihat dari sisi impor maka peningkatan tersebut malah akan membebani keuangan negara.
Di sisi lain, anggota komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Meutya Hafid meminta agar pemerintah mengambil sikap tegas dan cepat untuk merespons lonjakan harga minyak yang diperkirakan dapat menyentuh US$130-US$140 per barel “Dengan sikap pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak dan pengunduran jadwal pengaturan BBM bersubsidi, agar secara logika `menambal' bolong APBN yang cukup besar itu,“ ujarnya.
Untuk sektor produktif Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Indonesia Aviliani menilai pemerintah seharusnya bisa mengalihkan sisa dana penghematan itu untuk sektor-sektor produktif, seperti pembangunan infrastruktur, dan tidak ke subsidi listrik maupun BBM.
“Semakin tinggi disparitas harga BBM subsidi dengan harga pasar, akan semakin tinggi terjadinya moral hazard. Banyak BBM bersubsidi RI yang akhirnya dijual ke luar negeri,“ jelasnya.
Menkeu juga menyinggung tantangan produksi (lifting) minyak mencapai target 970.000 barel per hari (bph) pada 2011, a.l. pemberlakuan asas cabotage atas peralatan eksplorasi yang dianggap sama sebagai kapal dan kebocoran pipa gas menuju kilang minyak di Jawa dan Sumatra.
“Sehingga dari Menteri ESDM dan BP Migas, asumsi itu mungkin dapat bergerak antara 945.000 sampai 970.000 bph. Namun, dalam sidang dengan Badan Anggran DPR, Menteri ESDM tetap akan fokus ke (target) 970.000 bph,“ jelasnya.
Merespons mengenai asas cabotage ini, operator pelayaran menilai asas cabotage bukan pemicu utama tidak tercapainya target lifting minyak nasional, apalagi DPR dan pemerintah sepakat untuk mengakomodasi kepentingan kapal offshore kelompok C dengan aturan khusus.
Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan Dewan Pengurus Pusat Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Paulis A. Djohan mengatakan kapal untuk kegiatan pe ngeboran dan eksplorasi akan diatur khusus. diatur khusus.
Dia mengatakan pihak nya tetap meminta agar aturan khusus bagi kapal kelompok C itu tetap mengu tamakan kepentingan nasio nal, yakni bisa tersedia kapal nasional, wajib digunakan oleh pengusaha nasional.
Kapal yang diatur adalah armada jenis survei, baik seismik 3D dan 2D, kapal pengeboran, yakni jenis drill ing ship, semi submerible rig, jack up rig, dan tender assist rig, serta kapal kontruksi lepas pantai, yakni jenis pipe lay barge dan cable laying barge.
Paulis meminta DPR dan DPD dapat mengawal penyu sunan aturan khusus untuk kapal kelompok C agar ke pentingan nasional tetap di kedepankan, meski sulit dilakukan.
Sementara itu, Indonesian Cabotage Advocation Forum (Incafa) mempertanyakan pro ses pembinaan regulator migas terhadap KKKS dalam me menuhi aturan cabotage RI.
Idris Sikumbang, Koordinator Incafo Fakultas Teknik Univer sitas Indonesia, menjelaskan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, operator migas baru mengetahui ada ketentuan cabotage setelah UU No. 17 tahun 2008 tentang Pela yaran terbit. (10/ANGGI OKTA RINDA/TULARJI/IRSAD SATI /LINDA T SILITONGA/ NENENG HARBAWATI) (agust.supriadi@bisnis.co.id/bambang.
jatmiko@bisnis.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar