Oleh: Makmun
Peneliti Utama Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
Melalui International Partnership for Energy Efficiency Cooperation (IPEEC) negara-negara yang tergabung dalam G8 sepakat menjalankan program efisiensi energy. IPEEC merupakan bentuk kerja sama yang bertindak sebagai forum yang memfasilitasi kegiatan-kegiatan dari negara-negara peserta serta organisasi-organisasi yang terkait guna pencapaian efisiensi energi. IPEEC berkomitmen untuk mendorong penggunaan sumber energi alternatif dan minyak non-konvensional, meningkatkan efisiensi energi, dan diversifikasi jalur pasokan.
Deklarasi IPEEC juga menyatakan bahwa efisiensi energi adalah cara paling cepat, paling ramah lingkungan dan paling efektif dari segi biaya untuk menghadapi masalah ketahanan energi dan perubahan iklim sekaligus menjamin pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan hasil studi yang dilakukan American Council for an Energy Efficient Economy (ACEEE), bahwa efisiensi yang dicapai ekonomi Amerika Serikat pada tahun 2030 bisa menyediakan lapangan pekerjaan sebanyak 800.000 serta memberikan sumbangan terhadap peningkatan gross domestic product negara tersebut.
Sejalan dengan program efisiensi energy, pemerintah Indonesia juga menargetkan efisiensi energi listrik hingga 30 persen. Target utama program efisiensi ini adalah efisiensi energi pada industri. Perusahaan diharapkan turut mendukung program yang dimaksud dengan melakukan penghematan energi di semua lini kegiatannya. Departemen ESDM melalui Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) telah memfasilitasi suatu audit energi untuk memberikan pengawasan penggunaan energi terhadap beberapa perusahaan.
Pilihan target program efisiensi energy pada industri dilatarbelakangi karena dalam sektor-sektor industri tertentu , biaya energi menjadi komponen biaya terbesar. Biaya energi ini dapat berbentuk tagihan listrik dan bahan bakar. Karena merupakan komponen biaya besar, maka setiap pemerintah menaikkan tariff dasar listrik dan bahan bakar minyak, sektor industri lah yang selalu lantang menantang kebijakan pemerintah.
Meski biaya energy merupakan kompenen biaya terbesar, sektor industri nampaknya belum sepenuhnya mendukung program efisiensi energy yang dicanangkan pemerintah. Tidak adanya dukungan ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal, seperti harga energi rendah, karena masih disubsidi pemerintah, tingginya investasi hemat energy, sehingga industry mengalami kesulitan dalam pendanaan, regulasi program efisiensi energy yang belum cukup memberi insentif, institusi belum cukup terbangun, koordinasi lintas sektoral masih lemah, masih kurangnya tenaga ahli (experts), kurangnya disiplin para pengguna energy, dan penguasaan teknologi masih kurang.
Menurut hasil study yang dilakukan oleh PT Energy Management Indonesia (Persero), potential saving konsumsi energy listrik pada industry gelas dapat mencapai 7,59 persen, industry keramik mencapai 6,13 persen, dan industry kimia mencapai 2,56 persen. Sementara itu untuk industry tekstil, baja dan makanan potential saving konsumsi energy listrik tidak begitu signifikan, yakni secara berturut-turut hanya mencapai 1,97 persen, 1,93 persen, dan 0,15 persen.
Jalan Keluar
Salah satu solusi yang sudah banyak diterapkan secara luas di negara-negara maju adalah melalui Program Energi Managemen (PEM). Melaui PEM ini terdapat dua target yang ingin dicapai, yakni: Pertama, mengehemat penggunaan segala jenis energi dengan cara mengurangi/mengilangkan energi terbuang (wasted energy) dan menggunakan energi secara efisien. Kedua, di beberapa industri, mungkin perlu mengganti bahan-bakar yang biasa digunakan untuk pabrik mereka dengan yang lebih murah, misalnya mengganti BBM yang mahal dengan gas yang lebih murah.
Dalam konteks PEM di atas, permasalahannya adalah berkenaan dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh industri. Biaya ini sangat bervariatif, tergantung pada ukuran industri dan persentase penghematan yang dipesan perusahaan. Pada dasarnya ada dua komponen biaya, yaitu biaya konsultan dan biaya penerapan PEM. Biaya konsultan biasanya ada standard tertentu, sementara itu biaya untuk melaksanakan rekomendasi konsultan misalnya, biaya mengganti semua lampu pijar dengan lampu fluorescent (jika ini direkomendasikan konsultan).
Mengingat sulitnya mengharapkan pendanaan program efisiensi energy di atas, pemerintah dapat menfasilitasi dengan cara menanggung biaya PEM. Biaya PEM ini dapat didanai dari hasil efisiensi konsumsi listrik. Lantas bagaimana mekanismenya? Sebagaimana diketahui bahwa listrik untuk industry selama ini masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Untuk itu total biaya PEM per jenis industry dibebankan ke hasil efisiensi dengan cara industry tetap membayar listrik seolah-olah tidak terjadi efsieinsi sampai batas waktu tertentu dimana biaya PEM lunas.
Program efisiensi melalui PEM di atas layak untuk dipertimbangkan, mengingat banyaknya manfaat yang akan di dapat. Dari sisi supply listrik ke depan laju penyediaannya dapat diturunkan mengingat adanya program ini. Bagi pemerintah dalam jangka panjang program efisiensi ini akan menghemat subsidi listrik. Sementara itu program efisiensi energi juga akan berdampak pada lingkungan yakni kualitas udara akan menjadi lebih baik, karena program efisiensi energy ini akan berdampak pada penurunan CO2.
Terdapat satu permasalahannya terkait dengan wacana di atas, yakni berhubungan dengan akutansi pencatatan. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan subsidi sejumlah tertentu kepada PT PLN, namun riilnya tidak semua subsidi tersebut dibayarkan ke PT PLN, karena harus dipotong untuk biaya PEM. Kesulitan dalam akutansi ini dapat berakhir dengan tuduhan korupsi, baik di pihak pemerintah maupun PT PLN. Jalan keluar yang dapat ditempuh adalah harus duduk bersama para stake holder terkait dengan program ini, baik pemerintah, PT PLN, industry, Badan Pemeriksa Keuangan, maupun Komite Pemberantasan Korupsi. Dengan demikian tidak akan praduga yang tidak-tidak dikemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar