Minggu, 31 Juli 2011

Minyak diperkirakan kembali tembus US$100/barel

JAKARTA: Harga minyak diperkirakan dapat kembali menembus level harga US$100 per barel dengan potensi pergerakan di kisaran US$97,5 – US$101,5 per barel.

Hal itu dikatakan Ibrahim, analis PT Harvest International Futures ketika berbincang dengan Bisnis, akhir pekan lalu.

Dia mengatakan harga dapat menembus US$100 per barel seandainya kesepakatan soal plafon utang disetujui oleh kongres AS.

Menurut Ibrahim, kemungkinan tersebut cukup kuat karena masih ada faktor Ramadhan selain krisis utang AS.

“Harga hampir semua jenis komoditas cenderung naik pada periode Ramadan. Selain komoditas bahan pangan, minyak kelapa sawit dan minyak mentah juga dapat naik,” ujarnya kepada Bisnis, akhir pekan lalu.

Selain itu, lanjutnya, masih ada faktor rencana rekonstruksi Jepang, proyek kereta api cepat AS, dan rencana kerjasama persenjataan senilai Rp3,5 triliun antara AS dengan negara Arab Saudi.

“Ini akan menyerap pekerjaan lebih banyak sehingga mengurangi pengangguran. Kesimpulannya ada banyak faktor yang dapat mendorong harga minyak naik menembus US$100 per barel,” katanya.

Wahyu Tribowo Laksono, Kepala Riset PT Real Times Future, mengatakan keputusan pemecahan persoalan utang AS masih misterius hingga saat ini. Negara adidaya tersebut tinggal memiliki waktu yang sangat terbatas menghadapi tenggat waktu gagal bayar (default) pada 2 Agustus.

“Kemarin [Sabtu], ketua senat Demokrat Harry Reid mengatakan Partai Republik dan Demokrat belum mendekati persetujuan untuk menaikkan plafon utang meskipun ketua Republik dapat mengatakan begitu,” ujarnya.

Presiden Barack Obama dari Partai Demokrat meminta kenaikan plafon utang US$1,43 miliar untuk menghindari default, sementara parlemen yang dikuasai oleh Partai Republik cenderung kurang setuju. Mereka setuju dengan kenaikan plafon asalkan pemerintah bersedia melakukan pemangkasan anggaran belanja.

Alotnya negosiasi antara kedua belah pihak di negara dengan perekonomian terbesar dunia tersebut menjadi perhatian pasar sepanjang pekan lalu. Pada periode tersebut dolar AS melemah terhadap sejumlah mata uang rekanan. Harga komoditas minyak naik dan harga emas berkali-kali mencetak rekor harga tertinggi sepanjang masa.

Namun begitu, hasil survei Bloomberg terhadap sejumlah ekonom memroyeksikan harga minyak mentah AS dapat turun pada pekan ini dipicu spekulasi cadangan AS akan meningkat karena permintaan turun di negara terbesar konsumen minyak mentah.

Sebanyak 31 analis atau 41% memperkirakan harga dapat turun. Sebanyak 11 responden atau 34% memperkirakan harga akan naik, dan 8 responden memperkirakan harga hanya akan sedikit berubah. Pada pekan lalu sebanyak 41% analis memperkirakan kenaikan harga dan 41% memperkirakan penurunan harga.

Berdasarkan data laporan Departemen Energi AS pada 27 Juli, pasokan minyak mentah naik 2,3 juta barel menjadi 354 juta barel pada pekan lalu. Total konsumsi bahan bakar turun 0,6% menjadi 18,8 juta barel per hari dalam 4 pekan yang berakhir 22 Juli.

Harga juga diperkirakan akan turun dipicu kekhawatiran AS mungkin akan mengalami gagal bayar utang dan pertumbuhan ekonomi akan lambat.

“Ketidakpastian di dalam pasar dan meningkatnya sinyal tentang keberlangsungan perlambatan ekonomi akan menekan harga minyak lebih rendah,” ujar John Kilduff, partner perusahaan pengelola dana (hedge funds) yang fokus pada energi, Again Capital LLC.

Harga minyak mentah untuk pengiriam September naik US$4,17 atau 4,2% menjadi 95,70 per barel pada pekan lalu di New York Mercantile Exchange. Dibandingkan setahun lalu, harga telah naik 22%.
(faa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar